Kamis, 25 Februari 2021

Problematik Sastra Buruh

S Yoga
suarakarya-online.com
 
Pada tanggal 30 April dan 1 Mei lalu — dalam rangka memperingati Hari Buruh — telah diadakan Festival Sastra Buruh di Blitar. Berkait dengan itu penggiat sastra dan budaya Bagus Putu Parto sangat sibuk. Sebagai pembicara, ditampilkan Beni Setia, Bonari Nabonenar dan Kuswinarto. Beberapa pengarang buruh (migran) yang hadir di antaranya Saiful Bakri (Mojokerto), Arsusi, Endang Pratiwi dan Etik Juwita (Blitar), Lik Kismawati (Sidoarjo), Denok Rokhmatika dan Rini Widyawati (Malang), Eni Kusuma (Banyuwangi), Jumari Hs dan Yudhi MS (Kudus), Maria Bo Niok (Wonosobo) dan Safitri Budiarti (Cilacap). Rata-rata dari mereka pernah bekerja di Hong Kong, sebagai buruh, tentu saja.
 
Sedangkan beberapa buku yang sempat dihasilkan oleh para buruh (migran) di antaranya, Catatan Harian Seorang Pramuwisma (Rini Widyawati), Penari Naga Kecil (Tarini Sorrita), Majikanku Empu Sendok (Denok K Rokhmatika), Nyanyian Imigran (Lik Kismawati,dkk), Perempuan Negeri Beton (Wina Karnie), Hong Kong Namaku Peri Cinta (Wina Karnie,dkk).
 
Defenisi sastra buruh pun bisa diperdebatkan panjang lebar. Apakah yang dimaksud sastra buruh adalah karya sastra yang ditulis ketika ia menjadi buruh. Bagaimana kalau ia sudah tidak jadi buruh namun menulis sastra buruh, dan hal ini banyak dilakukan oleh mereka. Atau bahkan seorang yang tidak pernah jadi buruh namun konsen terhadap nasib buruh. Misal puisi Dongeng Marsinah-nya Sapardi Djoko Darmono, yang begitu indah dan tak mengurangi ironi atau tragedi kemanusiaan seorang buruh arloji. Dan beberapa pengarang lain yang suka menulis perihal nasib buruh.
 
Bahkan sastra (bertema) buruh di luar negeri banyak digerakkan oleh para pengarang yang bukan buruh, misal Anton Chekov yang terkenal dengan cerpennya Matinya Seorang Buruh Kecil. Emile Zola dengan novel Germinal yang mengisahkan kehidupan para pekerja pabrik dan ketertindasan struktur oleh para borjuis di Eropa.
 
Maxim Gorki yang kebetulan semenjak usia 12 tahun juga bekerja menjadi buruh apa saja, terkenal dengan sastra realisme sosialnya, yang banyak menyoroti kehidupan buruh pabrik, Tales of Italy, yang di Indonesia diterjemahkan menjadi Pemogokan. Charles Dickens yang terkenal dengan novel Oliver Twist, yang mengangkat tema pekerja (buruh) anak. Karya-karya mereka ini menjadi klasik karena memang ceritanya menyentuh tanpa harus menggurui. Sastra tidak secara langsung menjadi alat perjuangan buruh, namun kesan yang ada dalam kisah itu mampu membangkitkan persoalan kemanusiaan akan kondisi kaum buruh.
 
Sedangkan sastra buruh kita yang kebetulan ditulis oleh buruh (kalau hal ini memang yang disepakati akan definisi sastra buruh). Secara umum masih menampakkan “propaganda” atau alat perjuangan langsung. Agar dibaca oleh para pejabat atau instansi terkait berkaitan dengan perburuhan. Sehingga didapatkan dari hasil membaca ini sikap yang bijaksana oleh para pejabat. Kalau memang itu tujuan utama, kenapa tidak demonstrasi atau pembangkangan sosial. Yang efekivitasnya segera dapat terlihat. Bahkan oleh hal-hal yang berbau demonstrasi saja para pejabat tidak tergerak hatinya akan perbaikan nasib buruh. Boro-boro diminta membaca karya sastra buruh agar hatinya terketuk.
 
Di sinilah persoalan utama yang harus kita cari akar persoalan sastra buruh yang sebenarnya. Sehingga capaian artistik yang dapat berumur panjang, langgeng menjadi sesuatu yang wajar untuk dijadikan pilihan. Tidak reaktif dan implusif.
 
Kita tahu meski genre sastra itu bermacam-macam jenisnya, namun standar karya sastra dari dulu hingga sekarang akan itu-itu saja. Bahkan Budi Darma dengan nada yang sinis pernah menyatakan Tidak diperlukan Sastra Madya, di mana estetika sastra adalah hal utama dari sebuah karya sastra apa pun macam bentuknya.
 
Perihal sastra buruh sendiri sebenarnya tidak terlepas dari seorang penyair yang hingga kini tidak diketahui keberadaannya, yakni Wiji Tukul (Solo), salah satu kumpulan puisinya yang terkenal adalah Mencari Tanah Lapang. Ia seorang buruh yang konsisten, berani dan jujur dalam puisi-puisinya, meski pun dia juga menyadari bahwa puisi buatnya adalah sebagai alat perjuangan bagi nasib buruh. Namun ia tidak begitu saja mau diperbudak oleh kata-kata yang telanjang. Dalam puisi-puisinya masih sangat terlihat irama, rima, ritme, ironi dan metafora yang mengena. Saya kira ialah yang mula-mula memperkenalkan sastra buruh dengan pembacaan puisi di pabrik-pabrik, kampus, kampung dan keluar masuk kota dan desa di tahun 1990-an.
 
Pada tahun 1995-an, di Tangerang pun muncul Wowok Hesti Prabowo (yang kemudian dinobatkan sebagai Presiden Penyair Buruh) dengan Roda-Roda Budaya, Institut Puisi Tangerang, Budaya Buruh Tangerang dan Teater Buruh, yang sengaja ia bentuk. Dengan komunitas-komunitas yang menyebar, diharapkan persoalan buruh dapat terekam lewat karya sastra dan teater, selain pemberdayaan buruh dalam setiap diskusi-diskusinya. Komunitas ini kemudian menerbitkan kumpulan puisi Rumah Retak, Trotoar dan Buruh Menggugat. Dari jaringan sastra buruh yang dikembangkan Wowok ini rupanya menyebar ke wilayah-wilayah di luar Tangerang.
 
Di Kudus pun muncul nama Jumari Hs dan Yudhi MS (pabrik Djarum), yang estetika puisi-puisinya cukup baik. Dari generasi ini selain nama-nama tersebut masih ada beberapa nama yang karya-karyanya cukup disegani di jagad sastra, misal Dingul Rilesta, Aris Kurniawan, Husnul Khuluqi, Mahdiduri. Bahkan Husnul Khuluqi meski hingga kini masih menjadi buruh, puisi-puisinya menjadi kekayaan tersendiri dalam khazanah sastra Indonesia. Puisinya tidak hanya menyuarakan nasib buruh namun memiliki estetika sastra yang baik.
 
Sedangkan gegap-gempita sastra buruh migran yang mulai tumbuh pada tahun 2000-an, adalah generasi sastra buruh internet. Karena dari mereka banyak yang berkomunikasi dan menyebarkan karya-karyanya atau berdiskusi lewat internet, sebelum kemudian dibukukan. Generasi sastra buruh migran inilah yang sekarang mendapat tempat dalam isu berbagai ketimpangan pada buruh migran yang kian hari kian marak. Salah seorang penggerak dari sastra buruh migran adalah Bonari Nabonenar.
 
Namun demikian melihat dari karya sastra yang dihasilkan, umumnya masih pada persoalan-persoalan besar, sehingga cenderung memperalat bahasa untuk sebuah pesan yang ingin mereka perjuangkan. Mereka umumnya menulis prosa, karena banyak dihuni oleh penulis-penulis wanita. Kadang kita melihat estetikanya dengan karya-karya yang dibuat bukan buruh migran, hasilnya sama saja, hanya temanya yang mefokus ke persoalan perburuhan.
 
Tentu saja kita berharap, dikemudian hari, akan muncul penulis-penulis yang tidak hanya mengejar pesan namun kesan yang mendalam akan kisah-kisah kecil yang menarik, tragik dan ironi. Sehingga kita bisa mendapatkan penulis-penulis bertema buruh sekuat Emile Zola, Maxim Gorki, Charles Dickens dan Anton Chekov yang penuh satir, dengan realisme sosial yang tidak hanya menyenangkan saja maupun sekedar sebagai alat propaganda.
 
Memang susah untuk mencari landasan filosofis dari gerakan sastra buruh, ketika capaian artistiknya (bentuk) masih sama dengan karya sastra lainnya, kecuali pada perbedaan temanya saja. Karena itu sastra buruh migran cenderung menjadi sebuah gerakan. Dan bila kita cermati dari orang-orang yang terlibat di dalam sastra buruh migran ini.
 
Kita bisa mendapatkan nama-nama yang sama ketika mencuat gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) di tahun 1990-an. Yang dengan garang menentang pemusatan sastra (karya, penulis dan redaktur) yang hanya berputar-putar di Jakarta. Ketika itu ada nama-nama Kusprihyanto Namma, Beno Siang Pamungkas, Bonari Nabobenar, Bagus Putu Parto dan Beni Setia. Namun karena capaian karya sastranya tidak berbeda dengan karya yang ditentangnya maka ia hanya merupakan gerakan sastra atau setrategi politik sastra. Dan apakah sastra buruh (migran) juga hanya bermain-main dalam politik sastra saja, biarlah waktu yang menjawab.
***
 
*) Penulis, seorang penyair tinggal di Situbondo.

http://sastra-indonesia.com/2009/03/problematik-sastra-buruh/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita