Aku mendengar suara
jerit hewan yang terluka.
Ada orang memanah rembulan.
Ada anak burung terjatuh dari sarangnya.
Orang-orang harus dibangunkan.
Kesaksian harus diberikan.
Agar kehidupan bisa terjaga.
Yogya, 1974, Rendra.
Dengan sangat sengaja, saya mengawali tulisan ini dengan mengutip sajak Almarhum Rendra yang juga direlease Iwan Fals dalam tembang yang indah dan menggetarkan hati setiap manusia, setiap mereka yang merasa masih menjadi manusia. Sajak Kesaksian ini membawa setiap kita pada perenungan akan hakekat dari tanggung jawab manusia ketika dia berpijak di bumi milik Tuhan dan mengaku sebagai seorang manusia.
“Aku mendengar suara” begitu Rendra mengungkapkan perasaannya sebagai seorang penyair yang memiliki ketajaman pendengaran jiwa, hatinya terbuka menyaksikan ketimpangan sosial yang ada di sekitarnya. Hati nurani sebagai seorang sastrawan (baca juga: penyair) terbuka ketika dia melihat persoalan yang menimpa manusia yang lain. Seorang sastrawan kemudian menggunakan daya kreatifitasnya untuk mengungkapkan kembali penderitaan manusia lain yang telah dia rasakan sebagai penderitaannya sendiri. Karya sastra sebagai cerminan sosial zamannya, begitu teori sosiologi mengungkapkan hubungan-hubungan yang ada.
Pada akhirnya, pembicaraan semacam ini akan kembali pada persoalan klasik yang terus saja bergulir di dalam hati sanubari seorang sastrawan, seniman, dan mereka yang mengerjakan seni sebagai panggilan kehidupan mereka. Menghadapi persoalan yang kompleks, kehidupan yang carut marut, bentrok status sosial yang terjadi semakin nyata, seharusnya membuat kalangan pekerja seni semakin mantap untuk memposisikan dirinya. Dia berada di garis bawah dengan keyakinan bahwa seni untuk rakyat atau berada di belakang anggan dan hasratnya sendiri dan berpegang bahwa seni adalah untuk seni.
Pilihan tetap berada di tangan setiap individu kreator seni, baik sebagai seorang penyair yang terus bertegur sapa dengan ketidak-adilan sosial, penderitaan rakyat dan kemudian dia menyuarakannya. Jalan seni sebagai langkah dan media penyaksian seorang seniman atas ketidak-adilan sosial terkadang menemui hambatan dari dalam, seperti yang diungkapkan Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong:
Aku bertanya,
Tetapi pertanyaanku
Membentur jidat penyair-penyair salon,
Yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
Sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya,
Dan delapan juta kanak-kanan tanpa pendidikan
Termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
(Rendra, Potret Pembangunan dalam Puisi, 1993: 34)
Sebait Sajak Sebatang Lisong di atas sebagai penggambaran atas bagaimana seseorang yang menempuh seni sebagai jalan bakti pada kemanusiaan, mendapatkan kendala, bahwa masih banyak seniman yang tidak mau ikut perduli dengan keadaan realitas-sosial yang sebenarnya. Seniman-seniman itu memegang teguh konsep seni untuk seni.
Seorang seniman (dalam hal ini adalah penyair) yang perduli dengan lingkungannya, semangat untuk berinteraksi dengan kehidupan sosialnya terlihat nyata di dalam karya-karyanya. Seperti halnya yang diungkapkan Linus Suryadi, bahwa:
PENYAIR
Dia serahkan irama hidup antar desa dan kotanya
Selama menyeberangi arus deras sungai ke hilir
Selama jiwa di dalamnya membuka isyarat rahasia
Bahwa penyair berdiri dan bersaksi di pinggir.
(Linus Suryadi, Rumah Panggung, 1988)
Seniman (yang dalam hal ini masih saja seorang penyair) melakukan kontemplasi atas dunia kehidupannya. Menjadikan tulisan dan karya-karyanya sebagai langkah untuk melakukan proses penyaksian, kalau menurut Rendra dalam sajak Kesaksiannya, bahwa: “Orang-orang harus dibangunkan, kesaksian harus diberikan”. Melalui hal ini, secara tidak langsung menyatakan kalau melalui karya-karyanya seorang seniman hendaknya mengabarkan kebenaran, membela mereka yang lemah dan tertindas, sehingga seni untuk rakyat yang mana membela kepentingan rakyat.
Atau, Seperti yang Pramoedya Ananta Toer (Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Rakyat) pernah katakan bahwa, “Bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusiaan, yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa”.
***
Bantul. Studio Semangat Desa Sejahtera Fictionbooks, 27 Juni 2010 http://sastra-indonesia.com/2010/06/penyair-dan-kesaksian/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar