Sosiawan Leak
Anak kalkunku raib seekor minggu lalu, meski malam sebelumnya didekap induknya di dalam kandang, di dalam deras hujan. Dulu sang kakak yang berwarna serupa (blirik coklat), kutemu terkapar sedepa dari kandang dengan tanda luka diseret paksa lewat sela jerujinya. Entah oleh siapa.
Pagi ini sebelum kutemukan tulang-tulang kalkun anakan, 2 kutuk kuning yang menetas (bersama 7 lainnya) 8 hari lalu, terjepit di dasar kandang, rongga antara alas dan tanah. Ditunggui induk hitam yang gundah.
Lantai kandang yang tak rapat malih rupa peluang pemangsa mengincar cakar-cakar mungil di atasnya. Hingga seekor terluka parah, hilang satu kaki dan dada bedah, seekor lagi tinggal gembung sepertiga dengan kepala terpisah. Sadis memang! Tapi itulah hukum alam. Siapa lengah, bakal jadi korban yang digdaya.
Demi terlacak sejumlah lubang di pagar pembatas yang setiapnya meninggalkan keratan, ditambah liang bundar di tanah tahulah aku biang keroknya adalah tikus kampung yang banal.
Kebanalan di kandangku memang kerap terjadi. Tapi lazimnya tak sebrutal ini. Pernah anak entok yang meremaja lemas direncak rombongan angsa saat lepas dari pengawasan induknya. Seekor lagi diperdaya jago merah yang ganas dan trengginas. Sekali patuk dikompliti terjangan taji, semaputlah sang minthi. Walau bernasib lumayan, keduanya mati perlahan usai beberapa kali unjal ambegan ngos-ngosan.
Jauh hari, cuma lele yang kupahami bernaluri kanibal, bahkan antar sesamanya asal kelewat lapar. Itulah kenapa di kolam terpal, benih kuseleksi sesuai ukuran sebelum ditebar. Yang besar kupindah ke kolam nila. Meski besarnya sama, aku tetap ragu si lele tak kumat melumat rombongan ikan yang berbeda.
Tapi biarlah. Terpenting sudah kuikhtiarkan keseimbangan, selain tak ada waktu mengeduk kolam baru.
Begitulah hidup berasas kebinatangan. Kuyakin semua itu atas izin Tuhan. Jadi tak bakal ada dosa dan pahala, sebagaimana tak ada surga pun neraka. Amoral, nir etika, nonsense agama. Semua hanya soal naluri mempertahankan diri sefitrah Gusti.
Tentang unggas, yang kupahami kadang memang saling berkonfrontasi sekadar mempertahankan diri. Bukan untuk memangsa alih-alih menghabisi sesama. Terbukti yang di kala siang bersaing memburu pakan serta mempertahankan area, saat malam tidur berdekatan berbagi kehangatan, membangun rasa aman mencegah serangan dari luar.
Tapi untuk sang tikus, menurut tetanggaku tak boleh dibiarkan begitu. Apalagi usai berkali-kali kubenahi kandang dan pagar umbaran.
"Harus kau racun sampai binasa! Agar berhenti teror kejam itu!" seru tetanggaku yang eksentrik dan lucu.
Sambil ngopi bareng kawanan semut yang riang dengan gula sejumput, kulihat mata ibu kalkun dan induk ayam nanar mencari anak-anaknya. Sesekali mereka memanggil dalam nada duka. Terbayang olehku mulut tikus pemangsa yang berlumuran darah sambil tersenyum semringah. Sebagaimana tikus kantor berpesta dengan gairah atau pelesiran ke manca usai mengembat uang negara sembari ber-hihi haha...
Tapi, pantaskah tikus kampung yang cuma melakoni fitrah dibinasakan, sementara tikus kantor yang terpelajar dihukum ringan?
Terlebih mereka menggila di masa pandemi korona. Sebagai manusia kelewat tak beradab. Di kala bencana alam bertebaran senusantara, di tengah statistik penularan covid tembus sejuta (versi epidemolog 3 juta), seenak udel menggarong bantuan rakyat yang sekarat, tanpa mengindahkan perikemanusiaan.
Ironisnya, beda dengan tikus di kandang, mereka melancarkan aksinya bukan untuk bertahan dari gempuran kehidupan, tapi sekadar melunaskan obsesinya yang kampungan. Demi mengoleksi sepatu, tas, jam tangan, jas, mobil, simpanan, dan kebutuhan sepele lainnya dengan standard mewah! Hasrat yang sungguh murahan, cemen, dan rendah! Lebih rendah dari naluri tikus got yang yang tak pernah sekolah!
Keterangan:
gembung= badan
minthi= anak entok
unjal ambegan= bernapas satu-satu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar