Senin, 01 Februari 2021

Kuburan Teater Afrizal Malna

Fahrudin Nasrulloh *
Jawa Pos, 20 Jan 2013
 
Ada yang tak selesaikah setelah kita menonton teater? Mungkin masih ada bara kecil di puntung rokok yang diludeskan ke asbak dan itu berkelip-kelip sebentar lalu mati, serupa itukah yang mengendap pada diri penonton seusai pertunjukan teater? Kita akan menghadapi Afrizal dengan banyak ketakterdugaan. Ia datang dari dunia pecah belah. Dari dunia puisi-puisinya yang konon disangka gelap. Dari biografi puisi yang tak berhenti mencari rumah bahasanya. Namun teater terus dibuat, dipanggungkan, dan di sanalah bahasa dan peristiwa dalam pertunjukan teater bertemu.
 
Maka catatan peristiwa pertunjukan teater menjadi penting di sini, di mana tak banyak pelakon teater tergerak mencatatnya. Buku Afrizal Malna Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata adalah bagaimana ia melihat dengan “mata lain” sebuah pertunjukan teater yang telah ditontonnya selama kurang lebih 12 tahun. Sebagai seniman teater yang pernah terlibat di Teater Sae, ia juga adalah penyair yang sudah dikenal luas dalam dunia sastra Indonesia. Afrizal dengan catatan tajamnya dengan berbagai perspektif sosiologis maupun antropologis, dan oleh sebab itu pembaca, sebagai “teater ketiga”, tidak semata melihatnya sebagai hasil reportase, namun lebih dari bagaimana kita diajak memasuki cara Afrizal menonton teater yang kemudian disebutnya sebagai “teater kedua”.
 
Barangkali Afrizal dengan “mata lain”-nya itu ingin menyatakan kembali akan hal sederhana: apakah sebenarnya “menonton teater” itu? Saya tidak tahu pasti, saya hanya berpikir bahwa menonton teater itu pengalaman pribadi penonton, ketika hal-ihwal kehidupan dipadatkan menjadi sebuah cerita yang secara estetik oleh pekerja teater dilakonkan di atas panggung. Teks kehidupan itu coba direpresentasi walau itu tak lebih cuma “fiksi”. Bagaimana kita menonton yang “fiksi” dan kenapa dicatat. Perkara sepele ini bisa saja didasarkan pada kegelisahan Afrizal: “kenapa manusia memerlukan bayangannya sendiri, membuat imajinasi dan cerita.” Sama dengan yang dialami St. Sunardi yang merasa hidup seperti fiksi bila terlalu lama tidak menonton wayang. Saya bukan penggemar wayang, tapi apa yang dirasa Sunardi nyaris mirip dengan apa yang saya rasakan ketika saya menonton pertunjukan kesenian tradisional ludruk. Saya lebih menemukan “sesuatu” justru tatkala menonton persiapan orang-orang ludruk (sebagai seniman yang menggeluti ludruk berpuluh-puluh tahun) di krobongan dan sesekali waktu terlibat perbincangan juga gojegan dengan mereka tentang banyak hal dan terkadang pada momen tertentu saya dengan santai kebal-kebul ngrokok dalam desir angin malam memandang dan mendengarkan obrolan mereka, ketimbang menonton akting mereka di panggung yang sebagian besar saya telah hapal ceritanya. Bagi saya, ruang sosial di “krobongan” itu menyibakkan oase tersendiri sebagai pintu tembus dari “teater keseharian”. Lakon di panggung produk fiksi dari perasan realitas yang bocor atau malah sebaliknya, realitas kini lebih fiksi dari dunia fiksi yang kita kenal dalam sastra maupun lainnya. Sebagai hiburan kelas jelata, ludruk ya tujuannya menghibur. Sebagai kontemplasi, kritik, dan pasemon, ludruk menghadirkan “suara lain”. Sementara teater adalah internalisasi di mana tubuh massa mengalami personalisasi massif yang demikian ketat, seperti disebut Afrizal: “tubuh yang dibuat tegang, vokal yang dibuat keras, berat dan mengedan, pandangan mata yang dibuat tajam: seluruh kesibukan untuk membungkus personalitas mereka…menciptakan image teater sebagai disiplin seni yang keras, menakutkan, seram dan kumuh.”
 
Saya rasa cara pandangannya punya kelokan sendiri. Menempatkan tubuh, bahasa, dan intelektualitas sebagai “yang bercerita” di balik kepungan industrialisasi. Ada yang selalu berubah, menjadi mengusik, ketika kesenian mampet di ruang publik, jadi tokek di negeri ini, dan jalan berkesenian dianggap ruang sunyi yang tak memberikan perubahan. Dari sanalah Afrizal tak henti bertanya, apakah kita benar-benar mengenali diri kita, dalam interaksi yang kita buat lagi dan lagi melalui teater (kesenian) seolah ada ruang dan waktu yang belum kita susuri. Kita akan berbincang dengan jarak tertentu dengan Afrizal, lewat buku, kongkow sambil ngopi, yang boleh jadi tidak menyisakan apapun selain poster yang diplester di dinding, atau kita bisa tersenyum renyah dengannya seraya ndagel ala Markeso: “Mole Cak So?” (Pulang Cak So?), lantas Markeso menyahut, “Iyo, ole sak ghodokan!” (Iya, dapat satu godokan!). Nah, bagaimana pula apresiasi kita saat menonton nisan Markeso yang ditulisi Cak Bawong SN dengan kalimat saur-manuk (tanya-jawab) itu? Apakah itu teater juga dalam dimensi ruang “mistik keseharian” Heideggerian misalnya?
 
Apakah kita punya cara berpikir yang sama antara menonton teater tradisional seperti ludruk dengan teater modern sebagaimana yang ditulis dalam buku Afrizal itu? Atau dengan tontonan yang lebih artifisial dalam industri televisi seperti sinetron, Opera van Java, dan reality show lainnya? Pernyataan Afrizal: apakah sebenarnya “menonton teater” itu, memang membetot perhatian kita pada beragam bentuk seni pertunjukan hingga ke ranah industri media lainnya.
 
Sosok Afrizal yang juga sebagai penyair memiliki “mata lain” saat ia menatap “sesuatu”. Ia menyebut pertunjukan teater yang ia tonton dan yang kemudian ditulisnya dalam buku 400-an halaman itu sebagai “kuburan teater”: peristiwa teater, orang-orang di dalamnya, waktu yang berubah, jejak-jejak yang perlahan lenyap, ruang sosial yang membentuknya, semua berubah. Masa lalu itu mati, dan menemukan “kubur”nya saat dituliskan. Kini “kuburan teater” itu ada di tengah-tengah kita. “Kuburan” yang mungkin tak lebih dari lahan parkir dalam sejarah teater di Indonesia, yang suatu saat bisa tergusur dan kita tak tahu lagi ke mana si tukang parkir itu pergi.
 
Tentu saja banyak pertunjukan teater dan hal-ihwal di dalamnya yang luput dari pengamatan Afrizal, mungkin di kota-kota kecil di Indonesia yang belum dikunjunginya. Barangkali yang tak tercatat itu menjadi “kuburan fiksi” bagi Afrizal. Sejarah pementasan teater di tanah air dari tahun ke tahun tampaknya muskil tercatat lengkap, jika pun itu dimungkinkan, misalnya lewat suatu lembaga yang dibentuk untuk itu atau dari etos militansi tiap pekerja teater, tentu persoalan selanjutnya mampukah daya menulis dengan kejelian tertentu dapat mengongkosinya.
 
Perjalanan Afrizal mengamati teater hanyalah contoh kecil, jadi jejak yang bisa kapan saja kita ziarahi “kuburan teater” itu, sebagai hazanah, untuk menatap masa depan. Dan “kuburan fiksi” juga ada di tiap nafas kita, tubuh kita, pola pikir kita, kesenian kita, sejarah bangsa kita, ketika kita tak berbuat apa-apa. Mungkin teater bagi orang-orang tertentu seperti tikus-tikus berisik di malam selepas magrib, lebih aneh dan mengganggu ketimbang teater politik Indonesia saat ini.
***
 
*) Fahrudin Nasrulloh, lahir 16 Agustus 1976 di Jombang. Alumnus Pesantren Denanyar Jombang (1995), pesantren Salafiyyah Al-Muhsin Nglaren Yogyakarta (2005), dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002) Fakultas Syari’ah, jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum. Bekerja sebagai editor freelance dan bergiat di komunitas Lembah Pring Jombang, Tim Pelestarian dan Perlindungan Seni-Budaya Jombang, Jurnal Kebudayaan Banyumili Mojokerto, dan Majavanjava Cinema Club. Menulis sejumlah buku, puisi, cerpen dan esai di beberapa media. Beberapa karyanya masuk dalam Syekh Bejirum dan Rajah Anjing (Jurnal Cerpen Indonesia, Yayasan AKAR: 2006); Loktong (antologi cerpen: CWI, Jakarta, 2006); Ratusan Mata di Mana-mana (Jurnal Cerpen Indonesia, 2008); Jogja 5,9 Skala Richter (antologi puisi: Bentang, 2006); Tongue in Your Ear (esai sastra: Festival Kesenian Yogyakarta ke-19, FKY Pressplus, 2007); Kumpulan Cerpen Khas Ranesi (PT. Grasindo, Jakarta, 2007); Regenerasi Panggung Muda Cerpen Indonesia (Jurnal Cerpen Indonesia, Yayasan AKAR Indonesia: 2009); kumpulan cerpen Perayaan Kematian Liu Sie (Yayasan TIKAR, Yogyakarta: 2009); kumpulan cerpen Jalan Menikung ke Bukit Timah (Temu Sastrawan Indonesia II, Pangkalpinang: 2009); kumpulan cerpen Ujung Laut Pulau Marwah (Temu Sastrawan Indonesia III, Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Tajungpinang, 2010); kumpulan cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto: 2010); Pesta Penyair: Antologi Puisi Jawa Timur (DKJT dan Pemprov Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur: 2009). Syaikh Branjang Abang (Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2007), Geger Kiai (Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2009); kumpulan esai Jejak Langkah dan Pikiran Insan Jombang (Disporabudpar Jombang: 2010). Kumpulan cerpennya yang telah terbit Syekh Bejirum dan Rajah Anjing (Pustaka Pujangga, Lamongan, 2011). http://sastra-indonesia.com/2021/02/kuburan-teater-afrizal-malna/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita