Keindahan yang selalu berdampingan
dengan kebahagiaan dan kesedihan.
(Derana, Hal 212)
SENGAJA saya mengutip kalimat ini persis dari ruang dalam novel Derana karya Sunaryata Soemarjo, sebagai semacam penahbisan keberadaan dirinya sendiri. Atau boleh dikata sebagai ikhtiar saya memperlihatkan semacam pra-kritik atas karya yang sebagai novel dari sisi kritik sudah barangtentu meneguhkan kompleksitas diri—keragaman suara, arak-arakkan pelbagai bahasa, wacana, sesuatu yang menyoal realitas, bisa dalam parodi, gugatan, dan bahkan permainan.
Dalam kritik yang sederhana, novel ini bisa dinubuatkan sesuatu karya yang mengetengahkan cinta, penderitaan dan Tuhan. Adapun tokoh yang paling kompleks diceritakan—dan oleh sebab itu bisa dikatakan sebagai tokoh utama—adalah Asih. Dalam kosakata eksistensi (keberadaan dan keadaannya) kompleksitas dalam hal ini mengandung pengertian penderitaannya atau kecemasannya.
Dikisahkan, Asih memilik masa kecil yang menyedihkan, tanpa orang tua laki laki. Hari-hari dilaluinya hanya bersama ibunya yang hanya mampu menyekolahkannya sampai lulus SMP. Selanjutnya agar bisa melanjutkan sekolahnya Asih diasuhkan pada saudara jauh ibunya--seorang yang berbaik hati mau membiayai sekolah Asih lanjut sampai lulus Akademi Kebidanan. Saudara yang baik hati mau membiayainya sampai lulus menjadi bidan dan mendapatkan pekerjaan hingga seperti sekarang itu adalah orang tua Prono.
Orang tua Prono senang dan sayang kepada Asih yang rajin dan tahu diri. Ketika ada pekerjaan di sawah saat tanam atau saat panen rambutan, maupun panen padi tanpa segan-segan Asih ikut bekerja bersama-sama orang disana turun ke sawah. (Hal.67)
Sepanjang waktu tinggal di orangtua angkatnya itulah Asih bergaul, bercanda dengan Prono. Selisih usia mereka tidak terlalu jauh. Prono memang sering usil. Hampir setiap hari selalu ada saja ulah untuk menggodanya. Hati Asih sering jengkel.. Di antara canda dan rasa jengkelnya terhadap Prono, terselip juga rasa senang yang tumbuh di hati Asih. Kadang ia merindukan ketika sampai sore Prono belum kelihatan pulang. (Hal 16)
Menurut ibunya Asih, dahulu sekitar 20 tahun lalu, bapaknya pamit mencari pekerjaan di Kalimantan. “Semenjak itu sama sekali bapakmu tidak pernah kirim berita. Ibu tidak tahu bagaimana keadaannya, di mana alamatnya. Bahkan sampai saat ini ibu hanya berharap semoga bapakmu sehat dan dalam keadaan baik-baik.” (Hal.78)
Begitulah, 20 tahun selepas kepergiaan bapaknya usai di PHK dari pabrik gula itu, Ibunda Asih membuka rahasia bahwa Asih sebenarnya memiliki saudara kembar yang dipisahkan saat sama-sama berusia 3 tahun. Dia adalah Asri. Asih memiliki tahi lalat di pipi kiri, sementara Asri, tidak.
Seperti Asih yang dipungut orang Tua Prono, Asri diadopsi saudara sepupu dari ayahnya tak berketurunan.
***
ASIH adalah wakil dari penjelasan bagaimana ia memahami—melakoni nikmat penderitaannya sebagai “manusia” yang terlempar ke dunianya. Sebagai “manusia” yang melakoni hidup di dunia, Asih tak sendiri dalam keterlemparannya. Prono harus menghikmati penderitaan karena ibunya lebih memiliki prasangka baik padanya bila punya masa depan dengan Arini--perempuan teman kuliahnya yang juga berprasangka; Dimata Arini, Prono sepertinya punya kepribadian mantab, dan selalu bertindak matang. Itulah menurut pengamatan Arini. Lama-lama nama itu seperti virus yang menggerogoti hatinya. Akhirnya ia terserang dan jatuh sakit pada kekaguman yang semakin hari semakin parah. Keparahan itu menimbulkan efek rindu (Hal.3).
Kompleksitas novel ini padu dengan prasangka lain dari tokoh Arini yang sialnya; benar. Yang sekaligus membatalkan optimisme dari prasangka orang tua Prono. Sebuah prasangka yang bersumber dari peristiwa pernikahannya dengan Prono…
Kemudian terbayang lagi sikap Asih waktu menyalaminya saat diatas pelaminan. Meskipun Prono sudah memberikan pendapatnya agar yang dilihatnya tentang Asih diabaikan saja, Arini masih sulit menurutinya. Bahkan menduga Asih masih menyimpan rasa citanya kepada Prono, suaminya. (Hal.124.)
Prono mengangguk, lalu menerangkan, Asih masih saudara sepupu meski agak jauh. Ada perasaan yang tidak mengenakkan hati Arini. Jangan-jangan Prono sudah dijodohkan dengan Asih. (Hal.10)
Puncak dari prasangka Arini yaitu; Gunjang-ganjing rumah tangga Prono sulit diperbaiki lagi. Arini sudah terlanjur kecewa dan sakit. Ia merasa sudah diabaikan keberadaannya. Satu-satunya jalan ia harus berpisah. Pagi itu juga Arini berpamitan pindah kembali ke rumah orang tuanya lagi. (Hal.171)
Arini merintis rumah tangga baru dengan menikahi seorang bule dari Jerman tenaga konsultan di perusahaan tempat ia bekerja. Ia jauh lebih ganteng, gagah dan simpatik apabila dibandingkan dengan Prono.(Hal.202)
Sejumlah sasmita penderitaan Asih yang dalam kehidupan sehari-hari seringkali demikian peliknya dikisahkan secara cukup memikat oleh pengarang antara lain;
Asih sendiri pada awalnya merasa sangat senang bisa bertemu saudaranya yang sudah lama tidak bertemu, dan sekarang bertemu adik kandungnya dalam keadaan saling mencintai dengan pemuda bernama Andik, yang dulu pernah berkali-kali menyatakan cintanya pada dirinya. Hati siapa yag tidak merasa sedih mengalami suasana seperti itu. (Hal. 210)
Penderitaan dan kecemasan Asih mengalami bobot berlebih justru saat disadari olehnya melalui pencerahan pikiran dan ucapan Win, sahabatnya. Inilah salah satu momen Asih membuka diri bahwa dalam dirinya ada sejumlah bagian yang ada saat berbeda keadaan/jalan, pada saat lainnya dibutuhkan penyatuan/kebersamaan.
Ucapan Win tadi ketika bertemu di Puskesmas masih terngiang. Kadang kala ia merasa sulit menyatukan antara perasaan dan pemikirannya. Ketika perasaannya mengatakan ia senang terhadap Andik, tetapi bibirnya selalu menolaknya. Antara kata hati dan ucapannya jadi berlawanan. Mana yang benar. Sebenarnya ia merasakan kangen pada Andik, tetapi ia tidak ingin bahwa kangennya itu hanya untuk melarikan hatinya yang kosong setelah di tinggalkan Prono. (Hal. 137).
Dengan kata lain, ketidakinginan Asih melarikan ‘suasana hati’ yang sebenarnya dari Prono ke Andik, menjadi wajar dalam kehidupan sehari-hari ketika kelak Asih lantas melarikannya pada Jalan Tuhan. Hanya saja dengan demikian masa depan ‘Dunia Asih’ menjadi buntu—sebagaimana cerita novel ini juga tak berlanjut.
Dalam Derana, “ketabahan atas penderitaan” pada Asih juga dihadapkan dengan syarat bebet, bobot, bibit orang tua angkatnya yang khas kehidupan sehari-hari meski sama-sama atas nama rencana masa depan. Selain juga Asih musti berhadapan dengan kecemasan Prono, sebagaimana kutipan ini; mana mungkin gadis sehalus Asih mengatakan cintanya. Itupun belum tentu memberi jawaban segera, meskipun Prono menyampaikannya. Lain dengan Arini. Gadis cantik ini lebih terbuka. Arini terus terang pernah menyatakan sayangnya pada Prono. Akhirnya Prono menyatakan dirinya memilih Arini, meskipun dengan pertimbangan yang amat dangkal.(Hal. 39)
Pada titik ini saya kira menarik sekali ikhtiar pengarang yang membandingkan “dunia manusia” dengan posisi fungsi mobil.
“Mesin mobil itu ternyata rumit ya Mas.”
“Iya. Mereka saling bekerja sama dan saling mendukung. Salah satu ada yang macet yang lain ikut terganggu. Sementara kita hanya tahu bahwa yang namanya mobil tahu beres dan berjalan.”
“Tapi masih rumit mesin manusia kan Mas?”
“Iya, bukan hanya mesin saja tapi yang lebih rumit jiwanya ha ha ha.” (Hal.132)
Pada titik yang lain, menarik pula andai kita ajukan pertanyaan perihal falsafah hidup yang dihidupkan dan ‘konon’ ditolak dalam novel ini. Perihal hiburan misalnya. Jika segala hidup adalah penderitaan, kecemasan, tanpa tahu tujuan akhir, dan betapa kebahagiaan dalam novel ini absurd adanya, lantas hidup, juga plot cerita ini sesungguhnya hiburankah? Atau sekadar perlu hiburan di dalamnya? Ataukah hiburan, kejenakaan, romantisme, bahkan kesia-siaan absurditas sebetulnya sekadar alat?
Tentu jawabannya bisa berbeda, meski sama-sama sepakat hidup memang harus diteruskan dan berorientasi pada masa depan---yang tak berarti utopia, messiah. Untuk itu di masa kekinian dalam novel ini, saya suka dengan cara pengarang menampilkan semacam hiburan, juga romantika.
“Aku membayangkan dirimu seperti sapi.Telanjang.”
“Pikiranmu kotor. Kamu tahu? Penggembala dengan sapinya kan tidak pernah berpisah. Kenapa kamu pikirkan yang lain.”
“Benar kan mas? Mana ada sapi pakai baju. Di Indiapun sapi yang dianggap sebagai dewa, setahu saya juga tidak pernah pakai baju.”
“Sebaiknya kamu nanti belajar menjahit baju untuk sapi,” (Hal.6)
“Aduh Mas, tolong ini masih ada yang menggigit di punggungku. Cepat Mas, ambil dia.” Arini menghentak-hentakkan kakinya sambil menyodorkan punggungnya ke arah Prono.
“Di mana?”
“Di dalam sini. Cepatlah Mas.”
“Cepat bagaimana.”
“Ayolah mas cepat masukkan tanganmu ke punggung, ambil semut itu. Tanganku gak bisa njangkau.” Arini menyodorkan punggungnya sambil merendahkan badannya.(Hal.13).
Semenjak ia menonton wayang di rumah Pak Kades tadi malam; lalu ban kendaraannya bocor; dan kata Andik barusan melihat pocong, rasanya mulai akrab di hatinya. Rasanya ingin setiap saat bisa mengobrol dan bersenda gurau dengan Andik. Untuk membuat mereka semakin akrab, Asih meminta agar Andik memanggilnya biasa saja, tanpa memanggil dengan kata “Bu” pada dirinya.
“Lalu aku harus memanggil bagaimana.”
“Tidak usah pakai Bu,panggil saja Mbak Asih.”
“Iya, Bu Asih, eh Mbak Asih.” (Hal.62)
***
KEHIDUPAN sehari-hari yang menjadi ‘dunia pengarang’ dari sastrawan Jawa yang pada 2019, novelnya Tembang Raras ing Tepis Ratri mendapat penghargaan Hadiah Sastera Jawa Rancage 2019 dari Yayasan Kebudayaan Rancage, dan Anugerah Sutasoma sebagai karya sastra daerah terbaik 2019 dari Balai Bahasa Jawa Timur ini, dalam novel Derana ini, bisa untuk menyerap teks kekinian. Hal ini terlihat, bagaimana pengarang yang pensiunan tenaga kesehatan ini melakukan riset di sebuah desa. Desa Tlemang termasuk luas tetapi populasi penduduknya kecil. Jarak antar dusun agak jauh terpisahkan oleh hutan dan sawah. Kepemilikan ternak cukup tinggi, tetapi kebanyakan kandang belum terpisah dari rumah. Demikian pula dengan kepemilikan jamban keluarga masih sedikit sekali belum ada seperempat dari jumlah rumah. Inilah latar permasalahan baru yang harus dihadapi tokoh novelnya dalam menciptakan kebiasaan dan lingkungan masyarakat yang lebih baik dan sehat.
Dalam kehidupan biasa sehari-hari orang awam sering menyebut hikmat lakon hidup tokoh-tokoh ini sering disebut Cinta Segitiga. Cinta segitiga antara Asih, Arini, Prono di satu sisi dan antara Asih, Andik dan Asri di sisi lain.
Tentu saja, betapapun sebagai suatu cinta segitiga yang inhern dengan penderitaan/kecemasannya, sudah termasuk di dalamnya; keindahan, keasyikan, kebahagiaan, romantika, hiburan. Entah, apakah tepat dalam kosa kata inhern, namun demikian yang terang tak bisa saling dipertentangkan antara pelbagai situasi/peristiwa yang membawa dampak pelbagai suasana jiwa yang berbeda pula tersebut. Boleh jadi ini serupa dengan kosa kata ‘suasana hati’ dari Martin Heidegger.
Memang novel ini tak bermaksud berfilsafat. Bahkan pengarang menuntut tokohnya manakala masuk filsafat: “Ah, dik Andik jangan berfalsafah. Saya mohon dik Andik jangan tergesa-gesa. Lebih baik kita bersahabat saja. Aku anggap dik Andik sebagai adikku.” (Hal.72)
Sebuah novel yang sekadar menampilkan bagaimana cinta, penderitaan dan Tuhan, menampakkan dirinya. Atau tepatnya bagaimana ketiganya menampakkan diri bagi tokoh-tokoh maupun pengarangnya. Ikhtiar untuk ketiga hal itu menampakkan diri tak lain untuk dalam rangka memahami hidup, baik dalam pengertian memahami dalam arti melakoni-menghayati-menghikmati, maupun menimbang nilai. Oleh sebab, suka atau tidak suka, sesederhana apapun cara pengarang menarasikan cerita dalam novel ini, Kita bisa saya mengatakan bahwa; bahagia itu rumit. Bahagia hanya bisa ditempuh bersama penderitaan dan kecemasan. Orang yg berkata 'bahagia itu sederhana' atau 'jangan lupa bahagia' sesungguhnya dirinya telah lupa-- termasuk lupa atas kebahagiaannya. Maka sebenarnya kesederhanaan sekaligus kerumitan pengarang telah memberi nilai—barangkali semacam ajaran. Sekurang-kurangnya sebagaimana tersebut dalam kredonya, pengarang memutuskan judul DERANA, atas pertimbangan artinya sabar, tabah, sesuaikan dengan apa yang dialami Asih sebagai tokoh utama (Hal. x). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia lema itu tampaknya membonceng pengertian eksistensial dengan; tahan dan tabah menderita sesuatu (tidak lekas patah hati, putus asa, dan sebagainya).
Semisal, jikapun memantaskan diri sebagai ajaran; hakikat bahwa keadaan, keberadaan, dengan kata lain eksistensi adalah kesendirian, sebagaimana kutipan ini; Angannya melayang menjauh, seakan pergi ke suasana lain. Ia berjalan sendiri pada sebuah padang penuh ilalang. Kiri kanan terdapat pohon-pohon jati yang kering meranggas tak berdaun. Asih terus berjalan, tangannya menyibak-nyibakkan daun-daun dan bunga ilalang. Langkahnya terhenti ketika terdengar sebuah nyanyian. Bunga-bunganya berhamburan terlepas tertiup angin. Tiba-tiba dari arah depan bermunculan orang-orang yang pernah ia kenali wajahnya. (Hal.215)
Semuanya melempar senyum yang tidak di mengerti oleh Asih. Dan mereka kemudian pergi satu persatu lalu menghilang di antara ilalang, entah kemana. Asih berusaha mencari dan mendekati.(Hal.215)
***
Meski demikian, sukses dari Sunaryata Soemardjo adalah beliau nyaris tak menghadirkan itu. Nyaris sempurna sekadar bercerita perihal bagaimana tokoh-tokoh yang diceritakannya menjalani cerita tanpa perlu sengaja diceritakan dengan gamblang maksud dan tujuannya. Bukankah dalam kosa kata eksistensialis, mereka-mereka ini hidup tanpa tujuan?
Tersebab itulah Sunarnyata Soemardjo memilih semua tokoh-tokohnya adalah tokoh yang menderita, cemas dan mengalir tanpa tujuan yang jelas. Sampai di sini, saya angkat topi pada pengarang yang tak melibatkan Tuhan sepenuhnya dalam novel ini. Atau beruntung sekali, pengarang baik dalam narasi maupun melalui tokoh-tokohnya (sepertinya hal inipun tak seberapa penting) hanya menyebut sebanyak 5 kali kata Tuhan. Sebagian besar kata itu untuk menggambarkan suasana hati tokoh yang paling komplek penderitaannya secara normal dalam kehidupan sehari-hari; Asih. Terlebih, ada semacam penegasan yang saya kira amat gamblang untuk menjawab mengapa Tuhan disebut di akhir-akhir novelnya, hampir bersamaan dengan bagaimana pengarang melalui tokohnya menghikmati semesta rembulan.
Bayangan bulan yang semakin terang dan semakin terang menyinari sekujur badan Asih. Sinar itu seakan menembus badan Asih. Semakin terang dan semakin bening seperti kaca. Dada Asih terasa berat dan sesak seakan di penuhi beban. Dari sana keluarlah bergumpal-gumpal rasa sedih, nelangsa, gundah dan sakit. Asih tidak kuasa menahannya, kemudian ia berteriak, menjerit keras-keras lalu jatuh terduduk lunglai tersimpuh di bibir jurang. Ia menangis sejadi-jadinya. Kedua telapak tangannya menopang dagu. (Hal.216)
Kelihatannya ini adalah ending dari suatu cerita yang khas dekonstruktif. Perhatiannya pada perempuan serta makna yang tak bisa dibulatkan keputusannya.[]
Ngimbang, 30 Januari 2021
*) Penulis adalah pemerhati sastra. http://sastra-indonesia.com/2021/01/cinta-penderitaan-dan-tuhan-dalam-novel-derana/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar