Rabu, 03 Februari 2021

Blues untuk Karna

Ganug Nugroho Adi *
oase.kompas.com
 
(1)
AKU tak juga mengerti ketika sore itu tiba-tiba saja ia menemuiku dan mengaku sebagai ibuku. O, perempuan dengan sepasang mata kelam, siapakah dirimu?
 
“Aku Kunti. Akulah perempuan yang melahirkanmu bertahun lalu. Bukan Rada ibumu. Ia hanya seorang istri kusir kereta yang menemukanmu dari sungai itu.”
 
Aku memandang tubuhnya yang ringkih. O, bahkan namanya pun selalu samar kuhapal. Kunti. Ya, aku ingat sekarang. Dari Baluwarti, lebih dari sepuluh tahun lalu, aku pernah melihatnya berjalan bersama anak-anaknya menembus hutan, menuju pengasingan setelah akhir permainan dadu yang menggetarkan itu. Bukankah ia ibu para Pandawa? Mengapa tiba-tiba ia menyebutku sebagai anakmu?
 
“Karena aku memang ibumu.”
Aku merasakan tubuhku tergetar, melayang. Rada, perempuan yang selama ini kuanggap ibu, suatu dulu memang pernah mengatakan bahwa bertahun lalu ia hanya menemukanku mengapung di arus sungai itu. Tapi Rada tak pernah menemukan jejak siapa ibuku.
 
“Maafkan aku karena telah membuangmu ke sungai itu. Aku telah melahirkanmu dari telingaku sendiri.”
 
Aku musuhmu, wahai perempuan berwajah sayu. Telah kusiapkan seribu anak panah untuk membunuh anak-anakmu dan siapa saja yang membela Pandawa.
 
“Kau tak mengenal darahmu sendiri. Kini aku ceritakan riwayatmu yang sebenarnya, agar kau tak terus-menerus menerima belas kasihan Duryudana. Kau mempunyai aliran darah sendiri. Penuhilah tugasmu sebagai ksatria, membela darah dan keluargamu sendiri.”
 
Keluarga? Kenapa baru ia katakan sekarang. Kenapa semua ia kabarkan setelah kehinaan yang dahsyat itu? Sungguh, aku tak akan pernah bisa menerima segala kehinaan dari para Pandawa. Hanya Duryudono, ya, Duryudono, yang kemudian melakukan tindakan besar. Terpujilah si sulung Kurawa yang hari itu telah menyelamatkan hidupku dengan menghadiahi Awangga, sehingga aku bisa melawan Arjuna. Hm, betapa mahalnya permusuhan sehingga untuk sebuah pertarungan pun harus merelakan sebuah kerajaan. Dan setelah semua kehormatan ini kudapatkan, tiba-tiba perempuan ini memintaku untuk bersekutu.
 
O, Hyang Widhi penguasa jagad, di manakah mereka, ibu dan saudara-saudaraku yang mulia itu, saat aku melawan segala pedih-perih berkepanjangan? Mengapa, mengapa baru sekarang perempuan agung ini datang dan mengakui semua kebenaran saat Kurawa atau Pandawa, ksatria atau sudra, baginya tak lagi ada bedanya?
 
Aku menatap perempuan dengan rambut tergelung itu.
Wahai perempuan agung, benar aku memang seorang ksatria. Tapi bukan karena aku anakmu. Semuanya aku peroleh setelah melewati semua kehinaan. Jika benar kau ibuku, mengapa sampai hati kau renggut kehidupanku pada masa-masa lalu? Mengapa kau tak pernah mencintaiku sebagaimana ibu-ibu yang lain? Bahkan kesetiaanmu pun tak sebanding dengan Rada yang sudra. Sekarang, pada saat kau mencemaskan keselamatan anak-anakmu yang lain, kau datang mencariku.
 
Mungkin benar, aku anakmu. Mungkin benar darahku Pandawa. Tapi anak-anak Destarata yang menghidupkan jiwaku. Katakan, adakah yang lebih hina dari mengkhianati orang yang telah menyelamatkan hidup kita? Sungguh aku tak bisa memuntahkan garam yang telah aku telan.
 
Lupakan, lupakan bahwa aku anakmu. Lagi pula bagaimana bisa kau sebut aku anakmu sedangkan nama kecilku pun bahkan kau tak pernah tahu?
 
“Jika demikian, Karna, tak bisakah kau mengurungkan perang besar ini? Atau setidaknya, tak bisakah kau mundur dari pertempuran esok pagi?”
 
Tidak mungkin! Aku tak bisa memenuhi permintaanmu. Jangankan kau yang baru sekali ini kutemui, aku bahkan menantang Bisma dan Salya karena ragu dengan Baratayuda.
 
Sesungguhnya, wahai perempuan agung, Baratayuda bukan sekadar perang. Sebab bagi siapa saja yang mengangkat senjata di Kuru, inilah satu-satunya cara untuk membayar utang. Tak sesiapapun bisa menghalau Baratayuda. Perang ini memang harus terjadi. Tak soal siapa menang, siapa kalah. Ini bukan semata-mata kemenangan. Sebab bagaimana Pandawa bisa merebut kembali Astina tanpa perang besar ini? Dengan cara apa Drupadi membalas sakit hatinya kepada para Kurawa jika Baratayuda batal dilangsungkan? Dan bukankah engkau sendiri pun menginginkan perang ini demi merebut kembali kehormatanmu sebagai seorang ratu?
 
Wahai, Dewi, hidup ini sesungguhnya hanya berupa perundingan demi perundingan. Kewajiban kita hanya menjalankan kesepakatan-kesepakatan yang pernah kita buat. Tak lebih. Di dpertempuran esok pagi itulah kita akan membayar apa yang seharusnya kita bayar. Kita akan menerima apa yang seharusnya kita terima.
 
Tapi baiklah, barangkali aku bisa berjanji satu hal kepadamu. Ketahuilah, sesungguhnya aku hanya berurusan dengan Arjuna. Aku telah bersumpah untuk membunuhnya. Tapi percayalah, tak akan kulukai anak-anakmu yang lain. Tak perlu kau cemas. Sebab aku atau Arjuna yang mati, kau akan tetap mempunyai lima anak.
 
Perempuan itu menangis. Aku memalingkan wajah. Benarkah ia perempuan yang dulu membuangku ke sungai itu?
 
O, Bengawan Silugangga yang tenang dan dalam, berapa banyak kisah yang telah kausimpan? Wasu Dara, Wasu Druna, Wasu Soma, Wasu Apah, Wasu Anila, Wasu Nala, Wasu Saprahjangga, Wasu Wuragil, dan entah siapa lagi yang pernah mengapung di arusmu?
***
 
(2)
PERTEMPURAN hari ke-15 itu berhenti. Karna, senopati Kurawa, baru saja gugur. Ladang Kuru tiba-tiba hening. Seluruh Kurawa berduka. Para Pandawa khusuk menundukkan kepala. Bahkan Arjuna, ksatria yang baru saja menancapkan ribuan anak panah ke punggungnya, tak kuasa menyembunyikan kesedihan. Di dekatnya, Kresna dan empat Pandawa yang lain terdiam. Kunti, ibu para pandawa itu, tak kuasa menahan air matanya sambil terus meratapi tubuh tak bergerak di hadapannya. Tangisnya begitu menyayat. Betapa hebatnya kedukaan perempuan agung itu. Ia sedang meratapi bayi yang bertahun lalu pernah dibuangnya (?)
 
Mungkin hanya aku, Surtikanti, satu-satunya yang tak menangis, karena memang tak ada yang perlu ditangisi. Karna, suamiku, mati dengan hebat. Ia telah bertempur sebagai layakya seorang ksatria. Laki-laki gagah itu telah memilih jalan yang diyakininya benar.
 
wonten malih kinarya palupi
surya putra Narpati Ngawangga
lan Pandawa tur kadange
len yayah tunggil ibu
suwita mring Sang Kurupati
aneng nagari Ngastina
kinarya gul-agul
manggala golonganing prang
bratayuda ingadegken senapati
ngalaga ing kurawa)1
 
Bagi Karna, hidup memang tak memberinya banyak pilihan. Lahir dengan darah ksatria, tapi tumbuh dalam kasta seorang kusir kereta. Nasib pada akhirnya lebih sering mengenalkannya dengan dendam dan sakit hati. Ditolak Dorna menjadi murid, dicurigai sebagai mata-mata oleh Bergawa, lalu ditertawakan para Pandawa karena kastanya.
 
“Bukan panji ataupun sakit hati yang aku bela, tapi balas jasa yang tak terkira yang ingin kukembalikan,” katanya suatu saat.
 
Karna. Laki-laki beranting emas itu kini telah mati. Jasadnya dibaringkan di balairung Astina, dikeliling wewangian dari seribu macam kembang. Orang-orang menembangkan Megatruh, membaca mantra di antara tipisnya kepulan asap dupa. Pihak-pihak yang berseteru itu kini berkumpul, memberi penghormatan terakhir kepada senopati Kurawa.
 
telah ia tanggalkan baju besi dan anting emas itu
ia memandangku
o, dewi, jagalah suryaatmaja
katakan padanya aku sedang mengembara
 
Ada yang tiba-tiba memerih. Seperti derit pintu malam-malam, dan jerit serangga dari semak-semak gelap, mengendap-endap di jendela lalu menyelinap dalam kenangan tubuh yang gelisah)2
Aku keluar dari kerumunan, memandang jasadnya dari kejauhan.
***
 
(3)
Malam setelah jasad Karna menjadi abu?
 
Hmm, kau ulang lagi muslihat itu. Dan betapa orang-orang telanjur mendewakanmu. Menyembahmu dari pagi hingga pagi lagi. Menjadikanmu berhala karena merasa seolah-olah kau benar-benar mampu memberikan apa saja yang mereka minta. O, betapa malangnya orang-orang itu, karena tak tahu siapa sisi lain dirimu.
 
Ya, ya, mustahil aku lupa akal licikmu itu.
 
“Aku ingin baju besi dan antingmu,” begitu kau meminta kepada Karna dengan wajah menghiba.
 
Licik, karena telah kau samarkan dirimu dalam jubah pengemis. Persis seperti yang dilakukan Rahwana saat menculik Shinta bertahun lalu.
 
“Tuan, kaulah dermawan yang dikirim para dewa dari kayangan untuk menolongku?”
 
Tanpa prasangka, Karna mengambil pisau lalu memotong baju besi dan anting itu, lalu segera menyerahkan kepadamu.
 
O, teganya dirimu! Di balik perilaku santunmu, ternyata kau reguk begitu banyak ilmu angkara dari Rahwana. Tapi aku tak heran, sebab sesungguhnya kaulah biang dari segala kericuhan ini. Bukankah sengaja kau pilih posisi hina sebagai kusir kereta Arjuna dalam Baratayuda agar bias mengendalikan keluguan Pandawa? Apakah bagimu, untuk sebuah kemenangan selalu berlaku segala yang tak halal?
 
Kresna, Kresna. Lihatlah, kau ungkit-ungkit riwayat pahit Kunti dengan menyodorkan Karna yang sebatang kara seolah-olah ia adalah bayi yang telah dibuang ke Silungganngga bertahun lalu. Dan celakanya, Kunti yang bodoh itu begitu saja mempercayai dongengmu.
 
“Apa? Jadi ksatria itukah bayi yang aku hanyutkan di sungai dahulu?”
 
“Ya. Dialah dosa yang pernah kau sembunyikan?”
 
“Aku terpaksa,” Kunthi bergumam. “Bayi itu lahir sebelum aku kawin.”
 
“Dan sekarang ia telah dewasa. Ia tumbuh untuk menghancurkan anak-anakmu. Lakukanlah sesuatu.”
 
“O, apa yang harus aku lakukan, wahai titisan Wisnu?”
 
Lalu kau minta perempuan itu menemui Karna yang konon anaknya. Kau ajarkan perempuan tua itu meminta Karna bersumpah untuk hanya sekali saja melepaskan panah saktinya kearah Arjuna. Amboi, sebuah strategi yang hebat sekaligus licik bukan?
 
Dan semuanya menjadi nyata di ladang kuru. Panah sakti Karna hanya mengenai jamang Arjuna. Maka terbebaslah penengah Pandawa itu dari takdir kematian di tangan Karna.
 
Tapi kau tak berhenti di situ. Kau tak juga puas meski telah berhasil merampas baju besi dan anting-anting yang lahir bersama Karna, dan merasa berjasa karena baru saja menyelamatkan nyawa Arjuna.
 
O, dewa segala dewa, inilah tragedi paling memalukan dalam Baratayuda. Lihatlah, kau masih saja memaksa Arjuna untuk melepaskan panah ke tubuh Karna yang sedang terjebak lumpur bersama kereta dan delapan kuda yang menghelanya. Hm, di manakah jiwa ksatriamu yang diagung-agungkan banyak orang itu? Kenapa tetap saja kau lakukan muslihat itu saat menyaksikan Karna bersusah-payah mengangkat roda keretanya dari lumpur yang membenamkannya?
 
“Cepat! Lepaskan anak panahmu!? kau perintahkan Arjuna yang duduk di sampingmu.”
 
“Tapi?”
 
“Jangan membantah, Dananjaya! Lakukan perintahku! Tidakkah kau lihat musuh besarmu sedang tak berdaya?”
 
Dan gugurlah Karna. Lalu kau menepuk dada. Hm, kenapa kau tak pernah berani berhadap-hadapan dengan Karna secara laki-laki?
 
Lalu datanglah Kunti meratapi kematian anak sulungnya. Tangisny pun seketika menghentikan pertempuran pada hari ke-15 itu.
 
“Telah kau bunuh saudaramu sendiri, Anakku,” ratapnya ke arah Arjuna. “O, jagad dewa, inikah karma itu?”
 
Aku tak habis pikir. Di tengah ratapan ibu Kunti, kau tetap saja berpura-pura bijak.
 
Aku yang membunuhnya. Bukan Arjuna. Aku yang memaksanya melepaskan anak panah tepat pada saatnya. Aku yang menyelamatkan Arjuna dari panah sakti Karna. Sebab jika ia mati, ia tak akan bisa melepaskan anak panah yang sekarang ini menancap di jantung Karna.
Lima Pandawa terdiam. Tapi Kunti terus meratapi anak sulungnya. Lantas perempuan itu menoleh ke arah Kresna.
 
“Tidak. Bukan kau yang membunuhnya!” jeritnya. “Akulah yang telah membunuhnya, bahkan sejak ia masih bayi. Jiwanya telah mati sejak aku membuangnya ke Sulinggangga. Selama ini hanya jasadnya yang hidup. Akulah yang bersalah. Akulah yang berdosa. Para dewa sudah mengirimkan karmanya,” Kunti meratap.
 
Lalu ia menegadahkan wajah ke langit, “Dan kau Surya, puaskah kau menyaksikan semua ini?”
 
Tiba-tiba Kresna tertawa. Semua menoleh ke arahnya.
 
“Kenapa kalian saling merasa bersalah? Inilah perang, tempat yang paling memungkinkan untuk mati. Lepaskan segala perasaan bersalah jika kalian masih menginginkan kemenangan.”
 
“Meski kali ini yang mati di tanganku itu Karna, saudara sendiri?”
 
Kau tatap Arjuna dengan dua alis berkerut. Rahangmu mengeras. Kau seperti tak suka mendengar pertanyaan itu.
 
“Bukankah sejak semula kau pun tahu, Dananjaya, bahwa Kurawa pun saudaramu sendiri? Jika kemarin kau bisa legawa membunuh Bisma, kenapa sekarang harus cemas setelah menghabisi Karna?”
 
Lalu kau berbalik, meninggalkan kerumunan tanpa menoleh lagi.
 
Hmm, ksatria titisan Wisnu. Ingatlah, sepanjang darahku masih mengalir ditubuhku, sepanjang itulah aku, Putri Salya, akan terus memburumu. Akan kutikam jantungmu. Mungkin saat kau sedang tidur. Mungkin saat kau sedang menyetubuhi istri-istrimu.
Akan kutikam kau…
 
Latar Ireng, Januari 2007
Pucangan, Maret 2009
 
1. Syair Dandanggula dalam Serat Tripama, karya KGPA Mangkunagara IV, ditulis antara tahun 1860-1870. Tembang ini bercerita tentang Adipati Karna.
2. Bait terakhir sajak Sebuah Radio, Kumatikan, fragmen ke-24, Dorothea Rosa Herliany.
*) email: sayaganug@yahoo http://sastra-indonesia.com/2009/05/blues-untuk-karna/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita