Judul : Dongeng Anjing
Api
Penulis : Sindu Putra
Tebal : viii + 121
halaman
Penerbit : Arti Foundation
Peresensi: Wayan Sunarta
Bali Post, 14 Des 2008
BUKU “Dongeng Anjing Api”
ini memuat 100 sajak pilihan Sindu Putra yang terbagi menjadi dua bagian —
Periode Bali (1994-2000) dan Periode Lombok (2001-2007). Lima puluh sajak dalam
Periode Bali dikerjakan Sindu di Bali saat dia belum menikah. Sedangkan 50
sajak Periode Lombok dikerjakan Sindu ketika dia sudah menikah dan menetap di
Lombok. Menurut Sindu, pembagian ini didasari oleh waktu, tempat dan
situasi-kondisi.
Membaca sajak-sajak
Sindu, orang akan bertemu dengan sejumlah kata yang secara umum dianggap kurang
bernilai puisi. Namun penyair kelahiran Sanur, 31 Juli 1968 ini dengan leluasa
dan tanpa beban menggunakan kata-kata itu. Tidak mudah memang memasukkan
kata-kata berbau modern ke dalam puisi sebab memerlukan pergulatan batin dalam
memilih kata dan keterampilan berbahasa tingkat tinggi. Artinya, penyair sudah
tidak ada persoalan lagi dengan bahasa dan cara ungkap.
Sajak-sajak penyair yang
bernama lengkap Ida Bagus Sindu Putra ini menjelajahi berbagai kemungkinan kata
dan metafora. Sindu termasuk penyair yang terus gelisah untuk beternak sajak
dalam dirinya, membiakkan anak-anak sajak dengan berbagai rupanya. Selalu saja
terdapat kejutan-kejutan metafora yang dibangun dari keliaran imajinasi dan
penjelajahannya terhadap kata.
Tema-tema yang digarap
Sindu juga sangat luas dan beragam, seperti masalah dan kritik
ekologi/lingkungan, kritik sosial, kritik budaya, ketuhanan, kehilangan,
percintaan, pencarian jati diri, folklore, mitologi, perubahan akibat
modernisasi. Terkadang dalam sebuah sajak Sindu, orang menemukan lebih dari
satu pokok persoalan, atau sebuah tema yang membias ke berbagai arah layaknya
cahaya yang ditembakkan ke dalam prisma. Misalnya persoalan ekologi campur aduk
dengan mitologi dan perubahan akibat modernisasi.
Persoalan lingkungan
(ekologi), misalnya, terangkai dalam baris-baris sajak “Tempat Pengalengan
Ikan” (hal.53): ke dalam akuarium kayu ini/ perahu alumuniumku berlabuh/
melewati pesta sungkawa/ bunga-bunga jahe yang tumbuh/ dalam rumah kaca/
membelit lubang telinga. Kengerian akan kehancuran alam semakin jelas terlihat
pada baris berikutnya: hujan asam tumbuh dalam televisi/ menekuk punggungku/
warna garis api dan lekuk ozon/ di garis edar satelit bumi/ menganga/ mulut kakus
menerima setubuh semesta/ kucium bau tubuhmu. bau platina…
Sindu cukup rajin
menggarap sajak bertema kritik lingkungan yang seringkali dikaitkan dengan
persoalan modernisasi. Kalau ditelisik lebih jauh, persoalan ekologi muncul
hampir di sebagian besar sajak Sindu, menjelma metafora dan berkelindan dengan
berbagai persoalan lainnya. Kegamangannya menghadapi modernisasi yang merambah
Bali, misalnya terlukis pada sajak “Tanah Lot” (hal.56): dengan upacara air
mata/ aku migrasi dari pulau diri// dengan perahu beku/ karam dalam diri/ aku
berlayar/ melewati monumen keabadian/ kondominium lilin setinggi pohon karet.
Cerita Rakyat
Folklore atau cerita
rakyat juga menjadi perhatian Sindu. Sebuah cerita rakyat Bali yang terlupakan,
Men Brayut, diangkat oleh Sindu menjadi sajak yang menarik dan sarat renungan
sosial. Perhatikanlah petikan baris pembuka sajak “Ibu Kita Men Brayut”
(hal.64): ibu kita men Brayut ibu sejati/ dari payudaramu ibu yatim piatu
menyusu/ jadilah aku salah satu anakmu… Judul sajak ini diparodikan dari lagu
Ibu Kita Kartini.
Sindu cukup piawai
mengolah dongeng ke dalam sajaknya. Bahkan tampak kecenderungan sajak-sajak
Sindu adalah mendongeng, dengan berbagai imajinasi liar dari negeri antah
berantah bercampur aduk dengan serakan kata-kata dan metafora dari dunia
modern. Misalnya, dalam sajak “Ritus Tantri” (hal.72), Sindu mengaitkan atau
memparodikan dongeng Tantri dengan raja penderita insomnia dan impotensi,
bahkan raja yang paranoid.
Dalam sajak “Dongeng Kini
Manusia Bali”, Sindu malah memelesetkan namanya menjadi artupudnis (kebalikan
sinduputra), seakan nama tokoh dari mitologi Yunani kuno. Perhatikan pembuka
baris sajak ini: di puncak bukit akropolis/ dengan lumut edelweis/ tatah
namaku: artupudnis. Kalau membaca keseluruhan sajak ini, agaknya susah
menemukan kaitan antara judul dan isinya.
Sajak-sajak Sindu
bukanlah akhir dari zaman liris yang menurut Nirwan Dewanto telah hancur,
menjadi puing dan telah berada di ambang senjakala. Justru sajak-sajak Sindu
memperkaya lirisme dengan berbagai variannya. Sindu mampu memadukan, mengaduk
dan meramu kata-kata dari berbagai bidang ilmu sehingga sajak-sajaknya terkesan
unik dan mengagetkan bagi banyak kalangan yang masih tertib dengan lirisme.
Idiom-idiom dokter hewan,
dunia peternakan, pertanian, modernisasi, merasuk ke dalam sajak-sajaknya.
Orang sering heran, bagaimana bisa Sindu dengan berani mencantumkan kata-kata
yang secara umum tidak puitis ke dalam sajaknya. Seperti kata televisi,
kondominium, impotensi, dan lain sebagianya. Namun justru di sinilah kehebatan
Sindu yang tidak terlalu silau dengan kata-kata, idiom-idiom, metafora-metafora
yang secara umum disepakati bernilai sastra dan mampu membangun kerangka kuat
sebuah sajak.
Sebagai penyair, Sindu
tidak hanya asyik dengan dunia batinnya sendiri. Ia mengamati, merasakan,
berempati, bersimpati pada berbagai kejadian, dan dengan cermat menuangkan ke
dalam sajak-sajaknya. Hanya saja, terkadang Sindu terlalu hanyut dengan
kegelapan dan keruwetan metafora sehingga beberapa sajaknya menjadi keruh.
Karena salah satu tantangan penyair adalah justru menggapai kejernihan dalam
pergulatannya dengan puisi.
Kata-kata atau
metafora-metafora yang dibangun Sindu seringkali berbenturan atau berjumpalitan
dalam sajak-sajaknya. Mungkin, bagi Sindu, menulis puisi bukan untuk menjadi
penyair (“Menulis Puisi”, hal.58). Mungkin, Sindu hanya ingin bermain, seperti
ucapnya dalam bait sajak “Aku Bermain” (hal.48): Melenguh menjadi sapi/
melolong sebagai serigala// mengenakan topeng kertas/ menjadi burung orok-orok.
Kelebihan Sindu sebagai
penyair adalah kemampuannya untuk berenang dan bermain dalam samudera kata-kata
dan imajinasi liar, sehingga melahirkan sajak-sajak yang terkesan unik. Kalau
perjuangan penyair adalah menemukan metafora yang segar, maka Sindu sudah
melakukannya.
***
http://sastra-indonesia.com/2009/03/tema-beragam-penuh-kejutan-metafora/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar