Rabu, 06 Januari 2021

Tema Beragam, Penuh Kejutan Metafora

Judul : Dongeng Anjing Api
Penulis : Sindu Putra
Tebal : viii + 121 halaman
Penerbit : Arti Foundation
Peresensi: Wayan Sunarta
Bali Post, 14 Des 2008
 
BUKU “Dongeng Anjing Api” ini memuat 100 sajak pilihan Sindu Putra yang terbagi menjadi dua bagian — Periode Bali (1994-2000) dan Periode Lombok (2001-2007). Lima puluh sajak dalam Periode Bali dikerjakan Sindu di Bali saat dia belum menikah. Sedangkan 50 sajak Periode Lombok dikerjakan Sindu ketika dia sudah menikah dan menetap di Lombok. Menurut Sindu, pembagian ini didasari oleh waktu, tempat dan situasi-kondisi.
 
Membaca sajak-sajak Sindu, orang akan bertemu dengan sejumlah kata yang secara umum dianggap kurang bernilai puisi. Namun penyair kelahiran Sanur, 31 Juli 1968 ini dengan leluasa dan tanpa beban menggunakan kata-kata itu. Tidak mudah memang memasukkan kata-kata berbau modern ke dalam puisi sebab memerlukan pergulatan batin dalam memilih kata dan keterampilan berbahasa tingkat tinggi. Artinya, penyair sudah tidak ada persoalan lagi dengan bahasa dan cara ungkap.
 
Sajak-sajak penyair yang bernama lengkap Ida Bagus Sindu Putra ini menjelajahi berbagai kemungkinan kata dan metafora. Sindu termasuk penyair yang terus gelisah untuk beternak sajak dalam dirinya, membiakkan anak-anak sajak dengan berbagai rupanya. Selalu saja terdapat kejutan-kejutan metafora yang dibangun dari keliaran imajinasi dan penjelajahannya terhadap kata.
 
Tema-tema yang digarap Sindu juga sangat luas dan beragam, seperti masalah dan kritik ekologi/lingkungan, kritik sosial, kritik budaya, ketuhanan, kehilangan, percintaan, pencarian jati diri, folklore, mitologi, perubahan akibat modernisasi. Terkadang dalam sebuah sajak Sindu, orang menemukan lebih dari satu pokok persoalan, atau sebuah tema yang membias ke berbagai arah layaknya cahaya yang ditembakkan ke dalam prisma. Misalnya persoalan ekologi campur aduk dengan mitologi dan perubahan akibat modernisasi.
 
Persoalan lingkungan (ekologi), misalnya, terangkai dalam baris-baris sajak “Tempat Pengalengan Ikan” (hal.53): ke dalam akuarium kayu ini/ perahu alumuniumku berlabuh/ melewati pesta sungkawa/ bunga-bunga jahe yang tumbuh/ dalam rumah kaca/ membelit lubang telinga. Kengerian akan kehancuran alam semakin jelas terlihat pada baris berikutnya: hujan asam tumbuh dalam televisi/ menekuk punggungku/ warna garis api dan lekuk ozon/ di garis edar satelit bumi/ menganga/ mulut kakus menerima setubuh semesta/ kucium bau tubuhmu. bau platina…
 
Sindu cukup rajin menggarap sajak bertema kritik lingkungan yang seringkali dikaitkan dengan persoalan modernisasi. Kalau ditelisik lebih jauh, persoalan ekologi muncul hampir di sebagian besar sajak Sindu, menjelma metafora dan berkelindan dengan berbagai persoalan lainnya. Kegamangannya menghadapi modernisasi yang merambah Bali, misalnya terlukis pada sajak “Tanah Lot” (hal.56): dengan upacara air mata/ aku migrasi dari pulau diri// dengan perahu beku/ karam dalam diri/ aku berlayar/ melewati monumen keabadian/ kondominium lilin setinggi pohon karet.
 
Cerita Rakyat
 
Folklore atau cerita rakyat juga menjadi perhatian Sindu. Sebuah cerita rakyat Bali yang terlupakan, Men Brayut, diangkat oleh Sindu menjadi sajak yang menarik dan sarat renungan sosial. Perhatikanlah petikan baris pembuka sajak “Ibu Kita Men Brayut” (hal.64): ibu kita men Brayut ibu sejati/ dari payudaramu ibu yatim piatu menyusu/ jadilah aku salah satu anakmu… Judul sajak ini diparodikan dari lagu Ibu Kita Kartini.
 
Sindu cukup piawai mengolah dongeng ke dalam sajaknya. Bahkan tampak kecenderungan sajak-sajak Sindu adalah mendongeng, dengan berbagai imajinasi liar dari negeri antah berantah bercampur aduk dengan serakan kata-kata dan metafora dari dunia modern. Misalnya, dalam sajak “Ritus Tantri” (hal.72), Sindu mengaitkan atau memparodikan dongeng Tantri dengan raja penderita insomnia dan impotensi, bahkan raja yang paranoid.
 
Dalam sajak “Dongeng Kini Manusia Bali”, Sindu malah memelesetkan namanya menjadi artupudnis (kebalikan sinduputra), seakan nama tokoh dari mitologi Yunani kuno. Perhatikan pembuka baris sajak ini: di puncak bukit akropolis/ dengan lumut edelweis/ tatah namaku: artupudnis. Kalau membaca keseluruhan sajak ini, agaknya susah menemukan kaitan antara judul dan isinya.
 
Sajak-sajak Sindu bukanlah akhir dari zaman liris yang menurut Nirwan Dewanto telah hancur, menjadi puing dan telah berada di ambang senjakala. Justru sajak-sajak Sindu memperkaya lirisme dengan berbagai variannya. Sindu mampu memadukan, mengaduk dan meramu kata-kata dari berbagai bidang ilmu sehingga sajak-sajaknya terkesan unik dan mengagetkan bagi banyak kalangan yang masih tertib dengan lirisme.
 
Idiom-idiom dokter hewan, dunia peternakan, pertanian, modernisasi, merasuk ke dalam sajak-sajaknya. Orang sering heran, bagaimana bisa Sindu dengan berani mencantumkan kata-kata yang secara umum tidak puitis ke dalam sajaknya. Seperti kata televisi, kondominium, impotensi, dan lain sebagianya. Namun justru di sinilah kehebatan Sindu yang tidak terlalu silau dengan kata-kata, idiom-idiom, metafora-metafora yang secara umum disepakati bernilai sastra dan mampu membangun kerangka kuat sebuah sajak.
 
Sebagai penyair, Sindu tidak hanya asyik dengan dunia batinnya sendiri. Ia mengamati, merasakan, berempati, bersimpati pada berbagai kejadian, dan dengan cermat menuangkan ke dalam sajak-sajaknya. Hanya saja, terkadang Sindu terlalu hanyut dengan kegelapan dan keruwetan metafora sehingga beberapa sajaknya menjadi keruh. Karena salah satu tantangan penyair adalah justru menggapai kejernihan dalam pergulatannya dengan puisi.
 
Kata-kata atau metafora-metafora yang dibangun Sindu seringkali berbenturan atau berjumpalitan dalam sajak-sajaknya. Mungkin, bagi Sindu, menulis puisi bukan untuk menjadi penyair (“Menulis Puisi”, hal.58). Mungkin, Sindu hanya ingin bermain, seperti ucapnya dalam bait sajak “Aku Bermain” (hal.48): Melenguh menjadi sapi/ melolong sebagai serigala// mengenakan topeng kertas/ menjadi burung orok-orok.
 
Kelebihan Sindu sebagai penyair adalah kemampuannya untuk berenang dan bermain dalam samudera kata-kata dan imajinasi liar, sehingga melahirkan sajak-sajak yang terkesan unik. Kalau perjuangan penyair adalah menemukan metafora yang segar, maka Sindu sudah melakukannya.
***
 
http://sastra-indonesia.com/2009/03/tema-beragam-penuh-kejutan-metafora/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita