Selasa, 26 Januari 2021

SANG FREE TIKUS

Sabrank Suparno *
 
Sepanjang lorong –lorong gelap. Lajur ruang sempit, berhias sisi dinding tekstur artefak alami. Selalu dan selalu tak terbatas waktu. Kapan saja selalu dapat berubah corak dan warna. Tiap kali hanyutan air menderas. Lekuk guratan lumpur dan helaian sampah tampilkan artistik tersendiri. Ribuan langkah kaki kecil berderap lalu-lalang. Bertapak-tapak dirampungkannya silih berganti berseliweran. Sesekali melintas di temaram cahaya. Cahya yang terbias menerpa dari cela dan lubang jendela dan genteng kaca. Seolah lampu berderet tertata. Tubuh mungil bertelantingan pulang pergi. Sembari terobos aroma khas suatu tempat.
 
Bau multikompleks sebagai menu hidangan utama setiap dengusan. Bau dari remukan lumpur kompos berdaur bakteri pengurai setiap sel menanaknya. Gugusan hangat karbohidrat menjadi mesin hairdryer pengapian bulu di saat usai berguyur atau sekalian berjebur. Di sinilah alam ketersendirian. Sebuah tempat yang luput dari siklus rambahan peradaban. Luangan sisi lain dimana pentas mainstream berlangsung. Sisi lain…yahh sisi lain. Bilik dimana acting tak pernah dihitung. Sepasang mata kecil berkelebatan. Tajam menatap meski ribuan lainnya tak kuasa. Mulut saling sapa.Meski perkelahian kadang juga syarat utama.
 
“Apakah kita ada dalam kamus mereka? Gumam antar penghuni lorong. Tentu bukan kamus sekedar nama. Tapi pengenalan jauh ke wilayah. Bibir moncong, gigi lancip sebagai sarana predator pengancur, sebelum dieksport dari perut dan limbah anus keluar kota. Yang kemudian juga dihisap sebagai putaw melayang-layang penyegar badan.
 
Gazebo balai persegi empat hall balai room. Di bilik ini mereka melepas rindu. Sesekali saja. Larut hingga usia. Tak pernah berkesudahan saat cinta kering menyeruak. Mereka ngerumpi egaliter sampai kerontang dahaga menyeruak. Dunia yang lekat sinar matahari dan bias sinar rembulan menyebutnya “bak control”. Sebuah petak kecil yang didesain perancangnya sebagai bagian hidup mereka. Meski tak pernah menyertakan rumus para tikus sebagai angka. Gazebo bak kotrol adalah tampat pertemuan para tikus dari berbagai wilayah.
***
 
Nampak terlentang sedang menyelaisaikan lelah seekor tikus sawah. Mata kecil merah tebarkan pandangan keberbagai arah. Fikirannya jauuuh mengembara melebihi hayalannya. ”Kok saudara saudari, rekan, rekanita, tak kunjung gemuk juga?” Lempar tanya si tikus Sawah ke kawanan sekitarnya. Pertanyaan tipis begitu saja. Sejenak setelah ia menarik pandangan hidup berdasarkan dirinya. Yang kesehariannya hanya keluar masuk, nyungsep, dan ngumpet di kisaran sawah, yang notabenenya miskin kendala.
 
“Bukankah negeri ini penggalan surga!” Tambah tikus Kanak-kanak yang mentransfer cerita gurunya kala sekolah. ”Benar..! lahan curian kita memang kian luas. Sebab semua area marak dengan saham monopoli dan obligasi, Dan tidak satu celah titik ruangpun yang tak menjadi pasar. Semua tempat sudah menjadi pasar. “Tapi bukan bangsa tikus sajakan, yang mengais makanan dan menjarah? Para kucing juga berpesta dan menjarah. Nah! bagaimana bisa leluasa! Wong dalam agenda kucing berpesta, tikus selalu jadi hidangan utama” Jelentreh beberapa tikus Kota dengan cirikhas gaya bahasa yang lebih banyak mengenyam wawasan. Sesekali kerutkan dahi manakala ingat raungan kucing coklat mengejar-kejar mereka. “Mas Kota..! tidak juga harus begitu!, meskipun yang kerap terjadi memang seperti itu. Anda sebut kita mencuri, tapi kita tidak dibekali ilmu tentang mencuri. Bukankah kita hanya mencari sesuap nasi. Masalahnya, jika semua tempat dijadikan pasar! lha, mereka pasti menghitung transaksi. Di penyelenggaraan pasar inilah kita dihitung untung dan rugi”. Sela tikus Pantai yang mulai mengenalkan sistematik prediksi. Berarti kita harus siap di kebas, dilibas, dan diculas”. Lontar kesimpulan tikus Pantai, sosok tikus yang piawai mengantongi kata-kata. Susah ditebak memang, arah argumentai tegas tikus pantai ini. Apakah saran sekedar antisipasi, ataukah memang seperti itu jalan liku yang harus ditempuh. Justru bersilat dengan tendang, buang, tebas, libas, inilah yang menjadikan tikus pantai semakin lihai berlekuk tekuk napaki jakan. Jalan yang selalu dihadang komplotan kucing bertampang geram berdiri ngangkang. Main serobot, main garang. Di pojok dinding, di atas gabus, tampak santai si tikus Gunung. Mulutnya komat-kamit menghabiskan makanan yang menyumpal. Setelah menyimak berbagai persoalan, ia mulai urun rembuk. Tikus Gunung merasakan ada beberapa hal yang di alami bangsanya. Yakni kegelisahan yang bertumpu pada seputar jatah makanan. Jatah tikus yang melimpah ruah berangsur mengurang gara-gara diembat ulah si kucing. ”Bukankah kita perlu suatu sistem untuk mengimbangi pergeseran suatu masa?”. Ide rembuk tikus gunung. ”Maksud Gunung...?”...”Arar kita tetap eksis dan omzet terus bertambah”, timpal debat tikus sawah. Tikus Lembah menyela perdebatan kecil itu. ”Masalahnya bukan lawan atau musuh, tapi diri kita ini sudah tampil sebagai lawan atau musuh”. Sebelum yang lain minta penjelasan, tikus Lembah segera jelaskan opini. ”Keserakahan membuat kita kekurangan. Bukankah kecukupan berbading sederajat dengan kaya dalam kekurangan”, tutur tikus lembah berlaga sufi. Semua terdiam sejenak. Seolah menyematkan teori hidup ala tikus Lembah.
***
 
Beberapa detik kemudian suasana ruangan gaduh. Beberapa tikus jantan jahili pantat tikus betina yang sedang lewat. Seolah semua sedang berfikir ulang. Ada ganjalan gejala baru. Dimana semua sedang berdialog berbagai analisa di satu sisi, tapi di sisi lain tikus betina tetap saja bunting. Bagi tikus betina tidak pernah ada zaman yang berubah. Kini dan dulu serupa jua. Musim bunga tubuhnya tak henti diziarahi pejantan berdalih luapan cinta.Musim genting, betina dilampiasi pejantan pusing.
***
 
Ada gejolak yang sejak awal terpendam. Gejolak yang dikuakkan serentetan tikus Muda. Jiwanya menyala-nyala. Merahnya memerah. Manakala bangsanya disentil dari ada menjadi tiada. Apalagi jika dirancang penyelenggaraan besar-besaran suatu setting pemusnahan. ”Aku makan phospit saja.!” Seru tikus Muda. Takpelak seketika semua mata mbelalak padanya. ”Dilemas tubuhku, aku akan mengeliat di depan kucing. Dengan tarian gemasnya, tentu tubuhku dipamah-pamah. Daan..! matiku adalah mampusnya”, lantang suara tikus muda.Tak heran lagi jika yang berkobar pengorbanannya adalah kawanan tikus Muda. Semangatnya terpanggil sebagai tulang punggung sejarah.
 
Sosok tikus Desa berkumis panjang menghampiri si Muda. Dielus rambutnya. Diusap kepalanya. Dan ditebas-tebas pundaknya. Kemudian si Kumis gelar telapaknya. Jari-jarinya digerakkan. ”Coba kita hitung..! Keberanianmu bernilai sembilan“, kucing desa memilah jari kelingkingnya dengan tarikan telunjuk tangan kanan. ”Kedua..demi kematian kucing kau sendiri tewas. Disatu sisi kau seolah diutus menyelamatkan bangsamu, di sisi lain Tuhan seolah menakdirkanmu untuk menjadi penyeimbang ekosistim yang berputar. Artinya; wujud hidupmu ini juga bertugas menyelamatkan kehidupan luas. Jadi kalau kau bunuh diri demi kematian si kucing, sama artinya kau melakukan kewajiban sekaligus meninggalkannya. Pelik lagi jika kemudian si kucing marah. Dia tuding setiap tikus adalah pembunuh berdarah dingin. Sikucing yang tidak akur dengan anjing saja, tiba-tiba jalin konspirasi besar-besaran untuk tumpas tuntas setiap tikus. Bila perlu sang Harimau juga dilibatkan. Runyamkan...!, nyawa kucing satu berbanding tikus seribu. Coba hitung.!”, taktis tikus Desa ajari pemahaman pada tikus Muda. Tak berselang lama bak pucuk dicincang ulampun tiba. Angin segar terngiang hingar bingar semilir di telinga tikus Muda. Koarnya yang hampir pupus, tersulut lagi oleh tikus umuran sebaya. Yakni si tikus Kampus. “Kita demo saja..! kerahkan berbanjar-banjar demonstan. Bentangkan spanduk. Kita protes sikap si kucing, biar mereka mengerti, kita juga punya harga diri. Apakah setiap nyawa kalian dahulu pesan sebagai tikus? Lantas apa kepentingan kucing menista-nista. Kenapa kucing ditakdir sebagai kucing, dan bukannya cacing”. Berontak tikus kampus sembari lontarkan joke-joke radikal. “Lho.! bukannya kalian sudah berkali-kali demo! tapi apa hasilnya? Kampus mengerti ilmu demo..gak? Siapa yang kalian demo? Kucing siap didemo..atau malah demam alergi demo! Beribu-ribu kalian mampuspun tidak akan berpengaruh. Kepala dan dada kucing kelambu kok..! Saya kawatir di antara kalian ada yang cuma diberi kepala ikan. Sedangkan sekali damo kalian diberi enam puluh gogol ikan tongkol”. ”Sssst..! dibelantara sana, si Anjing siapkan keranjang truk. Tuk angkut siapa saja yang siap perang”, bisik tikus rimba syarat dengan muatan politisnya.Bentuk tidaklah semudah terka. Sedang wajah selalau tampak dalam sketsa. Mencermati hari kemaren membuat kepala Rimba membubung asap jingga. Asap yang mengepul dari serakan garis lajur.
***
 
“Heemm...dunia ini mengecil seukuran kalkulator. Pagi yang belum tiba, sudah diterka dalam angka”, tambah sinis si Rimba tersungging di bibir. Irama siluet gemercik air, terus saja iringi percakapan mereka. Lintasi guritan kecil yang membelah ruang rapat menjadi dua sisi .Aliran air khas dengan keruhnya. Aliran yang diusung dari pintu tikungan got kota. Tiba-tiba suara mereka senyap, dan pandangan mereka terlempar ke kejauhan. Samar-samar tampak si tkus Tua beranjak singgah. Dengan nyaman tikus Tua menopang sebuah sampan putih kecil seukuran badannya. Terhanyut lembut bersama sehelai daun. Kecemasan mereka memuncak. Jantung terpacu berdetak setelah mereka menyaksikan dada si Tua bersimbah darah. Bercak darah segar menggenangi sampan. Kesenyapan itu menyisahkan tanya. Dugaan dan terka muncul dari tiap kepala. Bekas tikaman kucing ataukah sebetan tajam gigi si anjing. Tak biasanya memang. Sungguh tak biasa. Tak pelak apa yang terjadi…? Tiga tikus betina yang sejak tadi asyik ngerumpi di pojok ruang terkencing-kencing. ”Ahh.. dasar tikus betina”. Gumam satu di antara mereka. Lumayan juga. Adegan kecil si betina ini mampu menyedot separuh kategangan para muda. Sambil cekikian mata tikus muda melirik. ”Whaaa..”serentak takjub terbuka dari tiap mulut seisi ruangan. Suara pelampiasan lega. Ternyata yang mereka bayangkan tak separah keadaan. Tapi malah tak berjurusan. Sampan yang dilabuhi si Tua itu hanyalah sebatang lunak softek manusia wanita yang terapung. Softek yang baru saja dibuang wanita penghuni WC kost padat pemukiman kota. Sampan softek terus melaju ke ujung got. Sampai ahirnya tertambat di muara. Tinggal tikus tua berenang ketepian menyibak arus sambil terapung. Sampailah si Tua di antara kerumunan kawannya yang sudah basah keringat debat. Guratan wajahnya tampak lelah. Tidak ada yang tau persis dari mana asalnya. Separoh purnama memang si Tua tak tampak menyapa kawannya. Perbincangan terhenti sejenak, manakala tikus Tua bagikan oleh-oleh kisah. Pendaran file otak seluruh isi ruangan pudar. Buih amarah yang tadinya meletup berangsur redup. “Kemana saja pak tua selama ini engkau singgahi kembara?” sapa tikus pantai udarkan kerinduan berlaga puitif.
 
Dengan kalem khas suara tua yang serak basah berkisah. “Saya hanya bergerak berdasarkan perintah apa yang sudah didata. Apa yang Gusti ratu suruh, berjalanlah aku kesitu”. Mimk-mimik kisah selanjutnya menggeleter bersama tarian bibir, lumatan lidah dan desah. Beberapa hari ini pak Tua mendapat jobe untuk menjarah makanan di wilayah negeri barat daya. Perintah sang Ratu bukanlah sikap ‘gebyah uyah’. Tapi sudah diriset berdasarkan rumus theologi. Tikus tua ini kerap kali mendatangi wilayah tertentu. Punpula kadang ke negeri seberang nan jauh. Daerah yang dirambah si Tua ini berkaitan erat dangan pemilik suatu benda atau sawah yang sombong, congkak, dan tidak mau bersedekah. Bahkan yang menjadi incaran si tikus Tua ini adalah para manusia yang lupa pada tuhannya. Lupa dan tenggelam terlibat cinta serius dengan kemilikannya, daripada tuhannya yang telah memberi. Manusia yang kepincut godaan bayangan. Seolah-olah hartanyalah yang menyukseskan perjalanan hidupnya. Tikus Tua ini sosok pemimpin. Sementara pasukannya berjumlah limabelas ribuan untuk satu kali operasi meludeskan harta benda.
 
Pernah suatu malam tikus Tua ini berubah menjadi manusia. Ia menstransfer dirinya, dari sel sel atom padatan tikus, menjelma persis jadi padatan atom dan prilaku manusia. Dengan laga pejalan jauuh dan bertampang pengemis Pak Tua berdiri di pinggir jalan suatu kampung. Kampung yang beberapa minggu ini penghuninya siang malam sibuk bertempur. Bukan melawan penjajah atau musuh, melainkan berjuang membasmi hama tikus yang melanda sawah, ladang, dan gudang mereka. Tanaman warga seluruh kampung pada periode yang hampir gagal panen. Sebab hanya sepertiga saja yang tersisa. Lainnya ludes sudah. Warga benar-benar kelabakan dan kehabisan cara menghadapi serbuan tikus. Dari pembubuhan racun pada makanan, pelacakan pasukan anjing, sampai penyengatan srum aliran listrik. Tapi aneh, jumlahnya jutru makin bertambah dan membabi buta. Kejanggalan pun terjadi. Keherananpun tak urung lagi. Ada beberapa pamilik tanaman yang baik hati, tidak sombong, suka bersedekah, tanamannya justru masih utuh. Memang..! Tikus seolah bergerak berdasarkan data dan perintah.
 
Tak seperti hari-hari biasanya. Gerimis sore itu bekukan debu. Jalanan terasa lengang. Tampak dari jauh sepasang mata kucing raksasa sedang melintas. Lambat laun semakin dekat. Yang tadinya seperti kucing raksasa ternyata truk bermuatan kosong. Pak tua lambaikan tangan sebagai tanda isarat nunut menumpang. Supirpun berhenti. Mereka tawar menawar kesepakatan, pas dan tancap gas. Pak tua minta berhenti dipertengahan sawah. Dengan ramah bungkukkan badan pak Tua ucapkan terimakasih. Mereka bercakap akrab beberapa menit. Tanpa disadari pak supir, di bak belakang turun dan berhamburan keluar ribuan tikus anak buah pak Tua.
***
 
Tiga hari berlalu sudah. Di kedai kopi warung nyentrik bu Darmani yang berlokasi di pojok kampung dekat rel kereta. Pak supir larutkan pagi bersama secangkir kopi. Berita tersiar kondang di halaman surat kabar. Kolom-kolomnya mengulas papar tentang serangan hama tikus. Ada sebaris kata bertitik koma dan berahir dengan tanda petik. ”Serbuan hama tikus redah di kampung A, dan kini merajalela di kampung B, dan entah kapan lagi berganti kekampung C. Bulukudu pak supir berdiri. Hanya dia yang tau. Sungguh hanya dia yang tau melebihi koran harian pagi.
***
 
Secara umum pola kehidupan tikus Tua memang tak berhubungan dengan penyerobotan jatah makanan. Kalau tikus yang lain risih dengan ulah para kucing, tikus Tua ini malah sebaliknya. Dia pemegang maskot pembalakan liar jatah kucing.
 
Mencermati perihal lakon yang dijalani tikus Tua ini, tikus lembah kembali pertegas kata-katanya. ”Kita perlu bangga dijadikan makhluk seunik tikus. Tidak ada lho, mahkluk yang sanggup ditakdir menjadi tikus. Kita ini tidak merusak dunia atau merugikan siapa-siapa. Malahan kita penyelamatnya. Sebab kita yang menyerap harta mereka jatah untuk sakit dan kecelakaan. ”ooo..maksut lembah ..seharusnya siapapun menanyai dulu harta yang hendak menghampirinya. Wahai harta...! kau datang mau apa? Selamatkan atau porak-porandakan. Kalau selamatkan silahkan masuk, kalau hancurkan silahkan pergi meskipun banyak.”, tandas tikus Sawah sambil berekspresi irama tulunjuk tuding.
 
Melihat alur pembicaraan kian melebar ke berbagai wilayah pegetahuan, tikus rimbapun segera rekabisme semua pendapat. Dipilahlah satu persatu. Ada topik yang diangkat, ada pula yang diendapkan. Ada yang dipakai, ada pula yang di buang. Kesimpulan ditarik kembali ke garis awal, dimana semua thethek mbengek yang berkaitan dengan tikus, pasti dikendalai kucing. Dari lajur kesimpulan inilah minimal para tikus menemukan rumusan. Kendati rumus itu tidaklah mampu bagi para tikus untuk ngangkangi kucing, setidaknya ditemukan cara agar para tikus biar bergerak dengan selamat dan aman.
 
Dibukalah pendapat dari tikusin yang hadir. Ide bermunculan dari moncong para tikus. Ditengah gaduh celometan, muncullah tikus kebun. Sejak tadi dia ada, tapi tak tampak. Kebun menyimak setiap peristiwa dari rongga lubang. Setelah de`h`em, “emg..emg.”, barulah ia bicara. “saudaraku para tikus yang moncong-moncong. Bagaimana kalau kita ikat saja kalung kelintingan di leher kucing! Agar kucing ketakutan dengan suara gemerincing yang terus mengikutinya. Dan ahirnya lari tunggang langgang jauh sejauh jauhnya, dan tidak kembali lagi ke negeri ini” ujar siasat tikus kebun. Semua terdiam sejenak..! Dua menit kemudian barulah serempak, ”setujuuu... setujuu... setujuu...”. Diulanglah kalimat itu berkali-kali. Itulah kejeniusan tikus kebun. Selalu tampil sebuah anding sebuah cerita. Pernah suatu hari ia mengutarakan perihal alasannya kenapa ia tinggal di kebun. Dia ingin selalu menempati pekarangan belakang rumah. Dia berharap jika suatu saat nanti halaman depan rumah sudah digulung sejarah, ia masih mempunyai tempat singgah. “Tapi siapa yang mengalungkannya di leher kucing?” Tindih tanya tikus Kebun. Merekapun diam dan hanya ada bahasa saling memandang. Pandang punya pandang ahirnya semua matapun tertuju pada si tikus Muda. Berat memang tugas ini. Bisa saja sekali beraksi, sudah itu mati di tikam. Terlihat tikus Muda berkali-kali menelan ludah. Meski tidak gemetar tetapi keberaniannya seperti ditatar. Keringat dingin mulai mengucur. Nyalinya tak gegap lagi seperti semula. Setelah beberapa detik lalu wajah kekasihnya datang melintas. “Begini saja..!”, tikus gunung saut suasana. “Kita adakan sayembara. Bagi tikus yang berkalung kelintingan, akan mendapat jatah free ham tikus sepuas puasnya.” Tepuk tangan riuh gemuruh bergema penuhi ruangan, applous kegembiraan hargai ide jenius tikus kebun.
 
Pada lorong yang sama beberapa ratus meter dari tempat mereka rapat ada bebrapa manusia yang sedang bekerja. Mereka bekerja menggali lumpur got. Pekerja itu dibawah naungan pamkot seksi pematusan kota. Untuk mempermudah pekerjaannya, para penggali lumpur ini membikin beberapa tampungan dari karung yang diisi tanah. Mengingat pekerjaannya selesai, dibukalah tampungan air yang sudah membanjir. “Bruoooll” Airpun meluncur deras. Badai lorong terjadi. Air yang kencang segera saput genangi bak control. Tempat para tikus rapatpun terlibas. Para tikus kocar-kacir berlarian semburat selamatkan diri. Ada juga yang terseret arus sampai kemuara, dan tak pernah kembali. Anding rapat yang porak poranda tersebut” kelanjutannya via sms saja!” teriak antara mereka.”
***

*) Sabrank Suparno, petani, pencetak bata, cerpenis, kolomnis dan pemerhati budaya. Aktif di Komunitas Padhang mBulan dan bergiat di Lincak Sastra Dowong. Beralamat di Dowong, Desa Plosokerep, Sumobito, Jombang, Jawa Timur. http://sastra-indonesia.com/2010/05/sang-free-tikus/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita