Senin, 25 Januari 2021

GADIS KEBAYA UNGU

Rakai Lukman *
 
Jajaran reklame di jalan utama kota, spanduk dan kibar umbul-umbul diterpa angin barat seperti dadaku saat memandangnya duduk di bangku halte yang kusam. Gadis bermata elok, tubuhnya ramping dibalut kebaya. Pemandangan yang susah kutemui pada kota-kota metropolis di pulau Jawa. Ia mengalihkan perhatianku saat menikmati foto wajah selebriti jelita bersanding iklan seluler merk terbaru, yang kunikmati dengan mengulum bibir sendiri, berfantasi layaknya cumbu rayu jarak jauh. Ya, karena mumpung akal masih sehat, aku tidak memanjat papan setinggi lima meter itu dan menjilatinya lalu kalayak kota akan berbondong-bondong menyaksikan orang gila berkostum office boy, celana necis, berjas hitam, bersepatu dan berdasi.
 
Gadis itu sering menatap ke bawah seperti tersipu malu, gerak-gerik matanya sering mengarah ke kanan. Kesiur angin berdebu menerpa pipinya yang rona, tak mampu menghapus pandangku. Ada ketakutan kecil di hati, berpuas dengan melihatnya dari jarak kurang lebih sepuluh meter, itu pun di seberang jalan. Anehnya siang ini jalanan sepi, kemana mereka yang biasa lalu lalang di jalanan utama, penghubung antar desa-desa sebelah timur kota. Matahari begitu menyengat, untungnya saya di bawah pohon besar, satu-satunya di jalan utama yang berjarak radius 30 km. Gadis itu beratap seng, tapi tak terlihat peluh dan keringatnya. Udara sejuk dan sesekali angin membelai rambutnya, semakin mempesona dan mengetar jantungku.
 
Berita yang kudengar dan kutonton di radio dan televisi, berdasarkan ramalan cuaca badan meteorologi dan geofisika, akan terjadi hujan meteor dan badai besar. Tapi saya tak ambil peduli, ini saat menunaikan hasrat sepuas-puasnya, menyaksikan kekasih kesayangan di papan reklame itu, adalah keinginan yang kupendam dua bulan sejak iklan itu dipasang. Perempuan dengan belahan dada dan pantat bahenol di papan reklame itu seolah lenyap dari benakku begitu saja. Bahkan melesat pula nafsu bercinta dengannya. Gadis  itu benar-benar menyelamatkan saya dari kegilaan. Apalagi tidak tampak ketegangan pada wajah gadis kebaya ungu itu, Ia semakin membius kesadaranku. Saya dan dia seolah dipertemukan oleh isu yang belum tentu kebenarannya.
 
Saya hanya pelayan warung makan, karena malu dengan orang sekampung tiap berangkat ke kota saya berseragam layak eksekutif muda. Maklum lulusan perguruan tinggi yang mitosnya kuliah di situ akan menjadi pengusaha atau birokrat bermobil mewah dan mempunyai istri cantik dan bermake up layaknya pergi ke acara-acara kalangan ekslusif, wajarlah bila sarjana muda dari kalangan petani sepertinya saya tidak ada peluang kerja yang diidam-idamkan banyak orang seperti PNS atau investator. Maklum tidak ada modal, mau melamar jadi PNS tidak diterima, meski uji kelayakan intelektual sudah mumpuni tapi kurang syarat utama, yakni uang sepuluh juta. Ingin jadi investor, mimpi siang bolong ni ye!
 
Gadis kebaya ungu tiba-tiba melempar senyum manis padaku, meski setipis korden jendela ruang tamu rumah ibuku. Seolah memanggil saya untuk menjabat tangannya yang kuning langsat dan halus itu. Tidak terasa sudah sejam saya berdiri di bawah pohon beringin yang konon berusia puluhan tahun, batangnya bersarung kain batik, akar-akar kecilnya bergantungan seperti hujan tak henti-henti, akar induknya menjadi penopang altar persembahan, saya melihat ada dupa kemenyan dan sesaji, berupa sembako dan buah-buahan. Saya jadi teringat masa kuliah, bersama kawan-kawan saya sehabis subuh selalu mengambilnya, karena kalau malam ramai pengunjung dan wisatawan, ada yang minta kaya, kedudukan tinggi dan sampai-sampai ada yang minta menang judi lewat SMS yang marak tersiar di televisi dan radio. Tiap pemohon membaca mantra-mantra kuno  sesuai tujuannya. Mereka menggunakan bahasa kawi (Jawa kuno) tak satu pun kata yang saya kenal.
 
Pohon beringin itu adalah sisa-sisa aliran kepercayaan tua penghuni asli pulau Jawa, animisme-dinamisme, konon di bawah pohon itu juga Aji Saka dimakamkan, berdasarkan mitologi pribumi Jawa beliau yang babad alas pulau Jawa, yang konon jalmo moro jalmo mati. Pohon itu satu-satunya situs yang terpaksa dilindungi keberadaannya oleh pemerintah, karena kepercayaan masyarakarat terlampau mengakar. Adapun pohon yang lain berganti tiang listrik dan telpon, juga trotoar jalan seperti pematang sawah yang dibabat habis rumputnya oleh kemarau panjang berupa tata dan keindahan kota, berganti paving dan pot bunga.
 
Ah, Pohon beringin tua dan gadis kebaya ungu, kalian berdua benar-benar membuai saya siang ini. Beringin tua biarlah sekian saja riwayatmu. Gadis kebaya ungu sungguh saya tak bisa mengindahkanmu, begitu terserap, tersita, terpana, tak terasa waktu bergulir  tambah satu jam. Dia tak pernah berdiri, duduk berpose laksana putri keraton. Sesekali ia menatapku dengan sorot mata yang teduh. Tetapi ia seperti melihat saya alien di seberang jalan atau sebaliknya ia mahluk asing berwajah rupawan, bukan seperti yang digambarkan NASA, bahwa aliensi itu buruk muka. Kebayanya yang ungu dan sanggul rambut bertusuk konde seperti ornamen tiga dimensi, sungguh sejuk hati meski sekedar memandangnya.
 
Mendung putih bagai kapas yang berhambur di angkasa, cerah matahari memoles sampai kilau, bagi penikmat alam tentu begitu indahnya hari ini. Tapi kemana kalayak yang biasanya meramaikan kota dengan gerakan yang bergegas menyelesaikan target hidup. Ya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang beraneka warna, yang semuanya telah campur aduk, berebut minta didahulukan. Barangkali mereka sudah menjadi budak iklan dengan pasukan andalannya sederetan papan reklame dan tayangan iklan televisi yang meminta untuk ditimang dan dibelai mesra, seperti perempuan cantik dan molek, yang ingin dijadikan pendamping sampai tersisa hanya jasad kaku tak berharga. Hari ini bukan karena itu, sebuah ketakutan menghantam dada dan menhancurkan kegigihan mereka. Kalian tahu kemana mereka sembunyi, pada dasarnya ketakutan sudah tertanam dalam batin mereka seperti kematian.
 
Hai gadis kebaya ungu, sebenarnya saya ingin berbagi kegundahanku tentang kesaksian akan kenyataan, tapi sebagai lelaki saya telah dididik televisi menjadi lelaki perayu dan tukang bual, tapi mesin penggeraknya seketika macet karenamu menyisihkan karakter kebanggaan alias playboy, bahwa saya setiap minggu sekali ganti pacar, ya mumpung masih muda dan modal tampang lumayan. Setidaknya perempuan akan tertunduk oleh kecanggihanku mengolah kata dan mengajaknya berwisata gaya eropa coy.
 
Adapun saya hanya terpaku, tersipu-sipu. Beruntung saat ini kota sepi, yang sesekali kesiur angin menyepuh wajah dan seragam office boyku, mampu menurunkan temperamen saya dari tegangan tinggi sebagai lelaki yang jatuh hati. Kau di halte dan saya di seberang jalan seperti sebuah pementasan dua aktor yang tersusun rapi skenarionya, bercerita tentang lelaki culun nan lugu bertemu gadis cantik yang cukup puas memandangnya dari jauh. Jari-jari saya bergerak-gerak seperti menari dan keringat dingin menyumbat pori-poriku sejak pertama menatap wajah ayu gadis kebaya ungu. Sebagai tanda kegelisahan lelaki yang tertusuk busur asmara. Kaki saya bergetar-getar, juga kesemutan, adakah kau lihat kegundahan ini melalui ekspresi senyum tipismu, oh gadis kebaya ungu?, ujar hati kecilku.
 
Awan-awan putih mulai mengumpal, menyerbu matahari. Sinarnya tertutup dan langit pun mendung. Awan menghitam mulai berarak semakin ramai menutup biru langit. Saya melawatkan pandang ke atas, pekatnya tak seperti biasa. Tekanan udara  semakin memberat daun beringin bergoyang-goyang ke arah timur seperti ingin meninggalkan rantingnya yang elastis. Gerimis kiriman juga mulai turun, tapi daun beringin terlalu rapat hanya setetes dua tetes menimpa wajah dan rambut, mungkin juga jas hitam yang selalu  saya seterika tiap pukul lima pagi, meski tidak pernah dicuci sejak beli di toko barang bekas.
 
Langit siang ini benar-benar gulita seperti malam. Awan-awan itu bersatu menjelma bentuk kubah. Meski jarak pandangku terhambat gedung-gedung bertingkat, juga swalayan di belakang halte berkarat itu. Namun tak sedikitpun ketakukan merayapi tulang sumsumku. Begitu juga gadis kebaya ungu, tiba-tiba ia beranjak dari kursi halte, berdiri dan melepas sanggulnya, rambut terurai, yang kukira tusuk konde ternyata lontar seperti yang saya jumpai di situs purbakala. Saya melihat jelas saat ia membukanya. Mulutnya mulai komat-kamit seperti merapal mantra. Suaranya lembut, lirih tapi telinga saya yang agak tuli bisa mendengarnya karena terlalu sering pakai headseat, mungkin sebab kota ini begitu sunyi dan angin menghantar suara kali ini sangat nyaring.
 
Kemudian ia menari bagai sinden seperti yang ada di kenanganku ketika menyaksikan pertunjukan wayang saat kecil dulu. Tiba-tiba Gerombolan awan di langit mendatangi gadis itu. Dengan melesat cepat menyelimuti tubuhnya, lalu berpusar pelahan makin lama semakin cepat. Ia menghampiriku, dia menjabat tanganku, aneh saya hanya membatu. Karena bisikan halusnya “Mari kekasihku, kita tinggalkan fana”. Lalu kami berpusar membentuk angin puting beliung, membabat gedung-gedung, papan-papan reklame, umbul-umbul, menghaburkan paving serta debu-debu.
 
Dalam pusaran kencang angin gadis kebaya ungu berujar “Saya adalah Dewi Sri yang murka sebab sawah tak lagi tumbuh padi, tapi rumah, gudang dan gedung” bibirku masih kaku tak mampu mengimbangnya.  Ungkapan dia yang kedua “Kau, titisan kekasihku”. Sedang pohon beringin ini kami bawah berpusingan, anehnya masih utuh bahkan daun-daunnya tak satupun luruh. Dalam perjalanan kami mulai meninggal kota dan berangkat menuju kerajaan para dewa, kami disambut hangat oleh Bathara Wisnu, di gerbang istana langit terukir “Dasar segala bencana adalah tangan serakah manusia”. Dan kami pun menjadi sepasang mempelai yang tertunda kerinduannya beribu-ribu tahun sebelum manusia mengenal dongeng dan legenda. Sedangkan pohon beringin itu menghias taman para dewa dan malaikat.
 
Kota telah porak-poranda, hujan meteor hanya rekaan BMG saja. Langit cerah penduduk kota besoknya berhambur, kembali berwisata dengan bencana, bantuan berhamburan dari kota-kota dan desa-desa, bahkan antar pulau dan negara. Berdasarkan laporan badan survey, korban berjumlah ribuan manusia, binatang piaraan dan kerugian kota mencapai triliyunan rupiah. Itu sudah biasa, manipulasi data adalah kegemaran penduduk negeri ini, juga kotaku.
 
Sebulan kemudian gedung-gedung semakin menjulang ke langit, tak ada lagi taman kota, bahkan tempat ibadah menjadi kios-kios dan jendelanya penuh panflet dan poster, bahkan ada yang jualan sandal dan sepatu di mimbar. Saya dan gadis kebaya ungu hanya senyum-senyum, Manusia semakin menggila. Kami hanya tunggu aba-aba, memberi peringatan kedua pada manusia, tentu semakin dasyat, yang tak bisa diperhitungkan oleh prakiraan apapun, kecuali sang Pencipta.
 
Papringan, Februari 2009 Yogyakarta.
 
*) Rakai Lukman ialah nama pena Lukmanul Hakim, kelahiran Gresik 1983. Ikut berkecimpung di dunia kesenian semenjak SMA, berlanjut di Yogyakarta, lantas pulang ke kampung halaman. Di tanah kelahiran, masih ikut nimbrung di perhelatan alam estetika. Sempat nongkrong di Sanggar Jepit, Teater Eska, Roemah Poetika, Teater Havara, KOTASEGER (Komunitas Teater Sekolah Gresik), Gresik Teater, DKG (Dewan Kesenian Gresik), Lesbumi PCNU Gresik, dan Sanggar Pasir. Menjadi Guru SB di SMK Ihyaul Ulum, dan Guru BI di SMK al-Ihlas. Antalogi tunggal “Banjir Bantaran Bengawan.” Antalogi bersama, Kitab Puisi I Sanggar Jepit (2007), Burung Gagak dan Kupu-kupu (2012), dan Seratus Penyair Nusantara, Festival Puisi Bangkalan II, 2017. Juga terlibat riset dalam program pendampingan teater DKJT 2018, dan pengkajian sejarah lokal Desa Canga’an, Ujung Pangkah, Gresik 2019. Kini sedang mempersiapkan antalogi kedua, “Curhatan Bengawan” 2020. http://sastra-indonesia.com/2019/12/gadis-kebaya-ungu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita