Minggu, 17 Januari 2021

JIBRIL YANG KESEPIAN

Taufiq Wr. Hidayat *
 
Ketika senja. Langit jingga. Batu-batu di atas sungai itu, hitam dan teguh. Pohon-pohon jati. Dan udara yang sejuk. Hujan. Dan harum daunan. Perlahan Jibril melayang-layang. Kemudian hinggap pada sebongkah batu besar, seperti seekor burung kesepian. Tatapan matanya tajam. Menyimpan kedalaman yang tak terjelaskan. Di dalam tatapan matanya itu, perjalanan panjang berabad-abad membayang. Perihal susahnya membawa wahyu Tuhan untuk diturunkan kepada para utusan. Tapi ia selalu tersenyum, berjalan penuh pengabdian. Dan selalu bersedih melihat dunia.
 
Jibril seringkali menjenguk orang-orang berdosa. Orang-orang yang menyakiti dirinya sendiri. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, lantaran bukan tugasnya menyadarkan manusia. Ia hanya membawa wahyu, menyampaikan pada para utusan Tuhan, yakni manusia-manusia agung yang telah dipilih-Nya menemui orang-orang berdosa. Semua berjalan sebagaimana mestinya, berabad-abad lamanya tugas itu ia laksanakan dengan sepenuh hati, hati-hati, sepenuh tanggungjawab, dan sangat teliti. Jibril tak pernah sekalipun mengeluh. Keluhan baginya adalah aib.
 
Kini Jibril yang berusia berabad-abad, berhenti pada atap sebuah hotel berbintang. Langit malam. Dari ketinggian atap hotel yang menikam langit itu, Jibril dapat mengamati lampu-lampu kota yang berkedip-kedip dan berserakan di bawah sana. Layar-layar android menyala. Jibril tidak menyimpan wahyu Tuhan dalam memori android. Ia mengingat seluruh wahyu Tuhan yang pernah Tuhan suruhkan padanya agar disampaikan pada Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa, dan nabi-nabi lain sampai Nabi Muhammad. Semua wahyu yang telah menjadi kitab-kitab suci itu, filenya tetap tersimpan begitu rapi dalam ingatan Jibril sampai pada titik-komanya, berabad-abad lamanya. Tak setitik pun wahyu Tuhan tertinggal. Semua diingat dengan tepat oleh Jibril tanpa flasdisk, tanpa penyimpan data pada android. Kadang-kadang kepala Jibril merasa pusing ketika wahyu-wahyu itu tiba-tiba muncul mengepung ingatannya. Tetapi malam itu, di atas puncak atap sebuah hotel berbintang, Jibril terdiam. Sayapnya memeluk tubuhnya agar terlindung dari dingin yang mencukil tulang belulang.
 
Kesunyian selalu menggoda dan memesona, bisik Jibril. Kesunyian menciptakan telaga biru yang tak seorang pun tahu pasti kedalamannya. Batu-batu besar berlumut. Dan tatapan yang berkabut. Jibril mendesah. Ia selalu bersedih dan khawatir menyaksikan dunia. Dan dari ketinggian di puncak atap sebuah hotel berbintang itu, Jibril tak sekali pun mendengarkan wahyu Tuhan diucapkan manusia. Memang benar. Jibril hanya mendengar banyak agamawan mengucapkan wahyu Tuhan, tapi yang sampai ke telinga Jibril hanyalah hasutan. Bunyi hakiki wahyu Tuhan sudah punah pada dunia, desah Jibril. Apa yang diucapkan manusia melalui mulutnya, bukanlah wahyu Tuhan, melainkan bunyi dari suatu bahasa manusia yang tak sedikit pun membawakan dan menghidupkan maksud Tuhan pada kemanusiaan. Lantaran hati dan perilaku manusia tak pernah turut menghidupkannya. Yang terdengar hanya bunyi-bunyi ramai mengganggu ketenangan, begitu ramai begitu ribut mengotori udara dan menjebol dada. Di dalam dada Jibril, wahyu Tuhan tak pernah tertulis. Namun Jibril bisa membacanya dengan sempurna tanpa huruf dan suara.
 
Kadang kesunyian membuat seseorang rapuh. Tetapi barangsiapa yang tabah dalam sunyi, dialah orang yang terberkati, kata orang asing yang datang dalam senja pada ingatan Jibril. Seseorang itulah utusan Tuhan yang pernah Jibril temui saat menyampaikan wahyu Tuhan padanya. Orang asing itu rambutnya terurai basah, sekujur tubuhnya menyimpan jejak derita yang begitu panjang begitu kelam, dan sikap hidup yang wajar dan sederhana. Ia menyelinap, menghilang di tikungan kota, tatkala mendung pelan-pelan meliputi udara. Ia menemui kesunyian dengan melintasi ramai demi ramai dalam sejarah. Ia bukan manusia yang selalu hidup di dalam kemapanan, melainkan ia terlahir dari rahim penderitaan yang tak terjelaskan.
 
"Jangan-jangan orang asing itu si tukang kayu dari dusun di pedalaman jauh dan tak dikenali," bisik seseorang yang matanya menyimpan awan.
 
Lalu hujan.
 
Tak segala hujan menceritakan awan. Hujan juga membawa cerita tak terduga tentang hati yang terjebak dalam dinding cor-coran yang kokoh. Dingin. Dan sendiri. Harapan masih saja melintas. Tapi siapa lagi yang akan menangis? Siapa lagi yang akan tertawa? Siapa lagi yang teriris? Hujan datang. Muskil ingatan dan orang-orang yang ditelan pertanyaan. Digerakkan sesuatu yang tak pernah ia ketahui dan pahami. Tergeletak di lorong zaman yang tak dapat diuraikan.
 
Kini di matanya, ia melihat ada yang berjalan di dalam hujan. Sendirian. Seperti melangkah menemui kenangan. Belantara kota. Dan ayat-ayat Tuhan yang tak lagi terdengar di udara. Selain ramai dan ribut, selain perseteruan dan kebanggaan-kebanggaan.
***
 
Malam itu hujan. Seseorang yang kelaparan berteduh di sebuah gardu tepi jalan. Sepi. Langit gelap. Diam-diam seorang anak kecil mendekatinya dengan tubuh yang basah.
 
"Kenalkan! Saya Jibril, utusan Tuhan," katanya tanpa mengulurkan tangan. Dia menatap tajam seperti mata yang berharap. Seseorang terperanjat. Dan merasa lucu.
 
"Wah.. Mari, Jibril, berteduhlah dari hujan," kata orang itu gugup.
 
"Tidak. Cahaya tidak terpengaruh hujan. Aku adalah Jibril, aku ini cahaya, tidak perlu berteduh dari hujan dan kedinginan," jawab Jibril tenang. Matanya bagai kilat yang menembus langit.
 
"Tapi, Jibril. Maaf sebelumnya, saya harus memanggil Anda dengan sebutan apa? Apakah harus kupanggil Tuan Jibril, Pak Jibril, Pak De Jibril, atau Mbah Jibril? Atau cukup Jibril saja?" tanya orang di gardu yang kedinginan dan kelaparan itu menyimpan kelucuan.
 
"Hahaha.. Aku Jibril utusan Tuhan. Tugasku memberikan wahyu kepada seseorang yang telah dikehendaki penyuruhku yang maha agung, melalui yang paling rahasia dalam diri seorang manusia," kata Jibril tertawa. Tubuhnya adalah tubuh anak-anak yang basah kehujanan, bertelanjang dada. Matanya tajam seperti dendam.
 
"Tuan Utusan Allah, Tuan Jibril, apakah engkau akan memberikan wahyu Allah kepadaku?"
 
Jibril tak menjawab. Tiba-tiba kilat menjilat-jilat di langit. Anak kecil yang mengaku Jibril, atau Jibril yang dalam penyamaran sebagai anak kecil, menatap langit. Lalu dengan riang dan ringan, ia berlari mengejar kilat di langit, lenyap di balik awan. Di ketinggian yang tak terjelaskan, Jibril bahagia dapat menyapa manusia yang bukan utusan Tuhan. Hatinya berdebar-debar. Ia telah menyapa manusia terlantar yang kelaparan dan kedinginan, tanpa rumah, tanpa nama, tanpa siapa-siapa, tanpa negara. Baru pertama kali Jibril merasakan nikmatnya menyapa manusia yang bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Manusia yang hidup tanpa pengakuan, tak memerlukan pujian, tak membutuhkan panggung, tak ingin dikenali, tapi hanya membutuhkan makan dan ingin hidup sewajar-wajarnya. Nikmat menyapa manusia yang tak dikenali dunia, manusia yang ingin selalu lenyap dari dunia itu, lezatnya melebihi dosa, seindah cinta. Jibril tersipu, ia seakan telah berhasil menipu Tuhan secara diam-diam, melanggar tugasnya dengan menemui manusia yang bukan utusan-Nya. Manusia yang dilupakan sejarah, tanpa keributan, tanpa keramaian. Manusia yang hanya hidup menerima kenyataan yang tak terpecahkan, yang Tuhan karuniakan padanya tanpa ia minta.
 
Tembokrejo, 2021
 

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/01/jibril-yang-kesepian/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita