Selasa, 29 Desember 2020

MISHIMA

Goenawan Mohamad
 
Setengah abad yang lalu, dengan sebilah pedang pendek Yukio Mishima menusuk perutnya sendiri dan merobek ususnya. Ritual bunuh diri ini dirampungkan Morita Masakatsu: anak buahnya yang setia itu mengayunkan pedang samurai panjang ke leher Mishima — agar kematian datang cepat dan rasa sakit tak berkepanjangan.
 
Tapi gagal. Pedang itu beberapa kali hanya menghantam bahu.
 
Melihat ini, temannya yang berdiri di sampingnya, bertindak. Ia pemain kendo yang mahir. Ia berhasil: pedangnya menebas keras dan tepat. Kepala Mishima lepas.
 
Masakatsu menyusul bunuh diri dan seperti Mishima, panutannya, ia siap lehernya dipenggal.
 
Dua butir kepala yang menggelinding. Lantai yang bergelimang darah. Adegan yang ganjil dan mengerikan, seperti mimpi buruk… Semua itu terjadi pada 25 November 1970 yang sejuk, di ruang komandan pasukan tentara di markas Ichigaya, bagian timur Tokyo. Dan sang komandan, Jenderal Kanetoshi Mashita, tak bisa berbuat apa-apa.
 
Beberapa puluh menit sebelumnya, ia tak menduga Mishima — sastrawan termashur, dengan prosa yang mengagumkan dalam 24 novel, salah satu calon pemenang Nobel dari Jepang—akan bunuh diri secara dramatik ketika masuk ke kamarnya. Ia disertai empat pemuda berseragam; mereka taruna Tatenokai, milisia “Perhimpunan Perisai” yang didirikan Mishima. Tak disangka-sangka, mereka ringkus tuan rumah, mereka ikat Jenderal Mashita di kursi dan mereka sumbat mulutnya. Lalu mereka paksa ia mengumpulkan seluruh pasukan untuk mendengarkan Mishima berpidato…
 
Berdiri di tepi tembok tinggi yang mengelilingi lapangan barak, dengan kepala diikat bandana yang dihiasi kata-kata dari sejarah samurai, Mishima menyerukan kudeta. Ia ingin mengubah Jepang. Pengarang besar ini  mengulang kecamannya yang terkenal terhadap Jepang modern: negeri lembek, komersial, mengingkari tradisi gagah yang dikukuhkan kasta samurai dan pemujaan kepada Kaisar.
 
Sejarah, bagi Mishima, harus dibalikkan arahnya.
 
Pidato itu tak selesai. Di antara para prajurit ada yang berteriak, “Orang gila!”
 
Mishima berhenti bicara dan kembali ke ruang Jendral Mashita — dan bunuh diri. Jepang dan dunia terkejut. Mishima melakukan seppuku, ritual para samurai berabad-abad yang lalu, untuk sesuatu yang nonsens. Kenapa?
 
Ia tak gila. Bunuh dirinya yang mengerikan itu sudah ia rancang sejak setahun sebelumnya — dan ia sadar akan sia-sia. Jepang yang sudah jadi bagian dunia modern, dan menikmatinya,  mustahil akan kembali ke kehidupan lama yang diidamkan Mishima. Pekik peperangan itu tak efektif, dan ia tahu itu. Tapi, “efektifitas bukanlah minat kita”, ia pernah menyatakan itu dalam sebuah manifesto empat tahun sebelumnya.
 
Mishima menyamakan milisinya dengan pilot kamikaze Jepang dalam Perang Dunia II: patriot yang bersedia tewas menabrakkan pesawatnya ke kapal-kapal Amerika. Tapi ia lupa, pasukan bunuh diri itu mati dengan harapan akan jadi alat yang efektif buat melumpuhkan armada Amerika di Pasifik. Sedangkan sebenarnya bagi Mishima harapan dan perhitungan untuk mencapai satu hasil bukan tanda tindakan heroik. Tindakan heroik: kehancuran tanpa pengharapan.
 
Itu juga yang membedakannya dari para pembajak yang menabrakkan dua pesawat ke Twin Tower kota New York pada 2001. Al Qaedah memuliakan aksi “Sebelas September” itu sebagai laku gagah berani melawan kezaliman Amerika. Tapi dalam asas heroisme Mishima, bunuh diri mereka tak semurni seppuku. Para pembajak itu membunuh ratusan orang yang sedang dalam keadaan tak berperang — berharap masuk surga.
 
Mishima tak hendak membunuh orang lain. Ketika seorang prajurit mencoba mencegahnya meringkus Jenderal Mashita, ia hanya melukainya di punggung. Prajurit itu kemudian bercerita, andai Mishima mau, saat itu ia dengan mudah akan bisa menghabisi nyawanya.
Tapi tak ada kegairahan membunuh, tak ada juga janji keindahan di akhirat. Mishima hanya mempercayai momen indah kematian — saat yang murni, yang cuma sekali, yang membuat ajal memukau dengan rasa menjulang. Seperti orgasme, seperti puisi. “Kemurnian yang sempurna bukan mustahil, jika hidupmu kau ubah jadi puisi yang ditulis dengan percikan darah”, tulisnya dalam novel Honba (“Kuda-kuda Lepas”).
 
Darah — elemen jasmani yang tampaknya tak bisa dilepaskan Mishima dari imaji kematian sebagai keindahan. Jika ada yang menakjubkan saat nyawa terlepas, itu bukanlah karena roh membebaskan diri dari sisi fisik manusia, tempat darah mengalir. Mishima, yang membentuk badannya jadi otot-otot yang rapi diraut, tak melihat manusia sebagai “otak” yang dijunjung tubuh.
 
Ia mengecam desakan kehidupan modern yang — dengan rasionalitas sebagai andalan — kian asing dari peran jasmani, bagian non-rasional manusia. Dalam kehidupan modern, tulis Mishima, otot dianggap sama dengan bahasa Yunani kuno: tak banyak gunanya lagi. Ia memang belum mengalami zaman digital, ketika peran fisik tak diperlukan dalam kerja dan percakapan.. Meski demikian, Mishima, seperti banyak pemikir dan seniman lain, risau atas berkuasanya rasionalisme tatkala “akal” meremehkan “okol” dan manusia entah di mana.
 
Hari ini ia mungkin akan bunuh diri berkali-kali. Ia berhadapan dengan sesuatu yang begitu menjanjikan, tapi begitu jauh dari yang jasmani: kecerdasan yang dahsyat, kehidupan dan kematian yang tanpa darah, artificial intelligence. Saya tak mau mengikuti Mishima, tapi saya tetap mendengar detak jantungnya yang cemas.
 

14 Des 2020 http://sastra-indonesia.com/2020/12/mishima/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita