Jumat, 11 Desember 2020

Bayangan Jihad dalam Catur Melayu

UU Hamidy *
riaupos.com
 
Jihad dewasa ini hampir dipandang sebagai hantu, sebab diberi topeng teroris. Padahal jihad adalah keberanian membela yang benar. Kalau tak ada keberanian membela yang benar, kita tak akan pernah kuat dan punya harga diri.
 
Tetapi sebaliknya dipandang enteng, sehingga diperalat dan dipermainkan. Ketakutan membela yang benar menimbulkan para pengecut yang kerdil, pembual yang pongah, koruptor yang culas, pengambil muka yang munafik, politisi yang licik, pemilik modal yang serakah, alat negara yang khianat dan penguasa yang zalim.
 
Manusia yang kebudayaan hampir tak terpisahkan. Manusia dan budaya berada dalam keadaan balas-membalas. Kebudayaan dipakai sebagai pola tingkahlaku. Kebudayaan juga dipakai sebagai dasar nilai, padahal ini tidak memadai. Karena itulah kebudayaan juga memberikan gambaran alam pikiran, sehingga pada muaranya menggambarkan pula masyarakatnya.
 
Berkenaan dengan itu cukup menarik memperhatikan catur Melayu yang juga telah berkelindan dengan dunia Melayu di Riau. Catur Melayu ini disebut juga catur perang. Ada yang menamakan main (catur) rimau, sebab anak catur membunuh dengan cara melompati lawannya, bagaikan harimau. Tapi disebut juga main laut, karena permainan ini sering dimainkan di bibir pantai dengan mempergunakan benda yang ada di pinggir laut. Di Jawa disebut juga main dam. Tapi main dam agak berbeda dengan catur Melayu, meskipun papan caturnya hampir sama.
 
Gambar papan catur Melayu ini merujuk pada catur perang di Rantau Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi. Papan catur terbagi dua, masing-masing punya rimba dan padang. Padang merupakan wilayah peperangan dan rimba menjadi wilayah pertahanan. Tempat strategis dalam permainan (pertempuran) ada tiga. Pertama, tapak lapan, berada di tengah papan catur. Inilah daerah yang tidak bertuan (kosong) yang menjadi pusat pertempuran. Kedua, kepak (sayap) dapat menjadi arah serangan sebelah kiri dan kanan. Yang ketiga, cekik, yakni tempat sempit menuju rimba (daerah pertahanan).
 
Ada beda yang mendasar antara catur Malayu dengan catur internasional. Catur internasional yang satu pihak punya 16 anak catur punya 2 kelompok. Kelompok pertama ialah 8 bidak di barisan depan, yang harus maju terus, tidak boleh mundur. Kedua, 8 pembesar di belakang, boleh maju dan mundur. Ini berarti semua serdadu (bidak) harus bersedia bekorban, sedangkan para pembesar dapat bergerak pada beberapa arah untuk menyelamatkan dirinya. Serdadu (bidak) dalam peperangan ternyata punya 3 tujuan. Pertama, untuk menjaga para pembesar, terutama raja. Yang kedua, untuk mendapat kenaikan pangkat, Ketika bidak berhasil mencapai batas terakhir daerah lawan, dia akan naik pangkat jadi pembesar, kecuali menjadi raja. Ketiga, kalau bisa membunuh raja lawan.
 
Sementara itu dalam catur internasional nilai pengabdian terhadap manusia (raja) amat kentara. Pertempuran boleh dikatakan hanya untuk melindungi sang raja. Sebab apabila raja mati, maka peperangan jadi usai serta mengaku kalah, meskipun masih ?hidup? sejumlah serdadu dan pembesar lainnya. Karena itu serangan untuk membunuh raja pihak lawan, yang sebenarnya menjadi tujuan utama ternyata hanya jadi tujuan kedua, karena hanya dapat berlaku jika pihak raja kita tidak terancam. Jadi, sebenarnya peperangan dilakukan hanya sebatas kepentingan dunia yang sempit. Tidak atas dasar pandangan hidup dengan makna yang abadi.
 
Papan catur Melayu pertama-tama menggambarkan medan kehidupan. Ada dua medan yang penting, yakni padang dan rimba. Padang adalah wilayah, tempat mencari kebutuhan hidup. Di sinilah dibuat perkampungan, kebun dan ladang. Rimba adalah hutan-tanah penyangga kehidupan. Tidak boleh dijadikan ladang dan kebun, tetapi harus terpelihara dengan lestari untuk kebutuhan hidup bersama dalam arti luas.
 
Tanda-tanda tempat strategis pada papan catur Melayu juga memberikan makna kehidupan. Tapak lapan adalah nama lain untuk 8 macam mata pencaharian (tradisional) puak Melayu, yaitu beladang, berkebun, beternak, baniro, berdagang bertukang, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan. Kepak atau sayap mempunyai saran bahwa kita harus punya tenaga (fisik dan ruhani) untuk mengolah 8 macam pencaharian tersebut. Sedangkan cekik berarti, pengambilan hasil-hasil hutan harus diawasi dengan keras, sehingga tidak mudah orang masuk merusak hutan tersebut.
 
Selanjutnya dengan merujuk kepada catur perang di Rantau Kuantan, anak catur tiap pihak terdiri dari 16 buah. Dari jumlah itu, 11 anak catur berada di padang dan 7 lagi berada di rimba. Yang berada di padang adalah para serdadu yang akan langsung bertempur, sedangkan yang berada di rimba bagaikan para pembesar yang akan menjadi kekuatan pertahanan terakhir. Tidak ada beda status sosial anak catur Melayu, seperti anak catur internasional. Yang ada hanya sekadar beda tempat (peranan) yaitu di rimba dan padang, buat sementara sebelum pertempuran berlangsung sampai usai.
 
Peperangan dimulai dengan langkah pertama kepada tapak lapan. Semua anak catur depat bergerak ke muka dan ke samping. Tidak boleh mundur. Tidak ada hak istimewa dalam pertempuran. Jika tidak dapat membunuh lawan, dia dapat bertahan atau menghindar agar tidak dibunuh. Yang terbaik ialah dapat membunuh lawan tanpa rIsiko. Tapi itu sulit. Yang sering terjadi, kawan gugur satu, tapi dapat dibalas dengan membunuh lawan 2 sampai 3 orang sekaligus. Jika seorang serdadu sampai batas akhir daerah lawan, dia dapat hak bergerak mundur, untuk kembali menyerang lawan. Kemenangan akan mudah dicapai jika dapat menguasai tempat strategis yakni tapak lapan, kepak dan cekik. Jadi, dalam catur Melayu ada geografi bumi yang menjadi medan perang, tidak seperti catur feodal internasional yang tidak mengenal bumi dalam medan perangnya.
 
Permainan catur Melayu cukup jelas membayangkan jihad, dalam arti berperang adalah untuk menegakkan yang benar, yang dalam dunia Melayu yang islami bermakna tegaknya kalimah Laila hainlallah di muka bumi. Membela kebenaran tak boleh mundur. Kalau mundur yang bathil akan berjaya melakukan kerusakan. Karena itu dalam catur Melayu berperang bukanlah untuk mengabdi atau membela seorang manusia seperti raja, atau untuk mendapatkan kenaikan pangkat (jabatan). Peperangan semata-mata hanyalah untuk membela dan menegakkan kebenaran. Itulah sebabnya para serdadu telah berani maju ke medan tempur, karena benar.
 
Dalam pertempuran, prajurit dan pembesar tak terbedakan lagi. Mereka punya tekad yang sama: membela yang benar dan mencegah yang bathil. Bertempur habis-habisan serta tidak boleh gentar apalagi mundur. Kekalahan atau perang berakhir bukanlah oleh tewasnya sang raja, tapi gugurnya syuhada yang terakhir. Jika menang, kebenaran akan tegak sedang kebathilan akan hancur. Jika kalah, atau terbunuh, adalah kematian dalam kemuliaan membela yang benar, yakni syahid fi sabilillah.
***

*) Kritikus dan pengajar sastra senior. Telah menulis banyak buku tentang telaah sastra dan budaya. Tinggal di Pekanbaru. http://sastra-indonesia.com/2010/09/bayangan-jihad-dalam-catur-melayu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita