Koh Young Hun *
Kompas, 26 Jan 2008
TIGA puluh tahun yang lalu, saya mendengar dari profesor
saya di ruang kelas bahwa Indonesia merupakan negara yang berpotensi tinggi,
karena sumber daya alam dan manusianya begitu kaya. Tiga puluh tahun sudah
lewat, dan saya sudah menjadi profesor. Saya masih juga mengatakan kepada
murid-murid saya bahwa Indonesia negara besar dan berpotensi tinggi dengan
alasan yang sama.
Tanggal 19 Desember 2007, rakyat Korea (Korsel) memilih
presiden baru, yaitu Lee Myung-bak (biasa disebut MB) yang akan memulai lima
tahun masa jabatannya pada 25 Februari mendatang. MB berjanji bahwa dalam masa
jabatannya Korea akan lebih maju dengan wawasan 7-4-7, yang berisikan bahwa 7
persen pertumbuhan ekonomi per tahun, 40.000 dollar AS pendapatan per kapita,
dan negara ke-7 terbesar dari segi ekonominya (sekarang ke-11 terbesar). Pada
hemat saya, Indonesia juga bisa, karena negara ini punya kemampuan.
Ciri utama yang mewarnai negara berkembang, dan merupakan
musuh utama yang harus kita kalahkan, ialah kebodohan dan kemalasan yang
keduanya adalah cikal bakal yang melahirkan kemiskinan. Karena itu, siapa yang
lebih dahulu mampu menghilangkan dua sifat buruk itu, maka dialah yang akan
dengan cepat dapat meraih kemajuan dan kemakmuran bangsanya.
Dalam teori pembangunan, sebagaimana ditulis Steven J
Rosen dalam bukunya, The Logic of International Relation, dikenal dua aliran
pendapat tentang sebab-sebab keterbelakangan negara-negara berkembang, di mana
kedua aliran pendapat itu secara prinsip sangat berbeda satu dengan yang lain.
Dalam hal ini, Indonesia dan Korea memiliki pandangan yang sama, yakni menganut
paham tradisional; menganggap bahwa proses pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
di sebagian besar negara terhambat akibat rendahnya tingkat produktivitas yang
berhubungan erat dengan tingginya kemubaziran dan ketidakefisiensian sosial.
Aliran ini berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan mutlak disebabkan
faktor-faktor internal. Istilah Jawa-nya karena salahe dewe.
Adapun aliran yang lain, ialah aliran radikal, memandang
kemiskinan dan keterbelakangan suatu negara (terutama negara ketiga) disebabkan
oleh kondisi internasional, yakni adanya eksploitasi negara-negara maju
terhadap negara-negara berkembang. Namun, dalam hal ini saya beranggapan bahwa
teori ini cenderung selalu mencari kambing hitam. Pepatah Melayu-nya, karena
awak tak bisa menari, lantai pula yang disalahkan.
Etos Korea
Kita semua tahu bahwa Korea dalam kurun waktu relatif
singkat telah menjelma menjadi masyarakat modern, yaitu masyarakat yang telah
mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada kehidupan agraris.
Kemajuan Korea ini telah membuat banyak orang berdecak,
terpukau seperti melihat keajaiban sebuah mukjizat. Para pakar bertanya-tanya,
resep apa gerangan yang telah membuat bangsa yang terubah menjadi negara dan bangsa
yang makmur? Sejak awal tahun 1970-an pihak Pemerintah Korea dalam rangka
semangat pembangunan nasional telah berusaha membentuk tipe manusia Korea yang
memiliki empat kualitas. Pertama, ”sikap rajin bekerja”. Lebih menghargai
bekerja secara tuntas betapa pun kecilnya pekerjaan itu, tinimbang pidato yang
muluk-muluk tetapi tiada pelaksanaannya.
Kedua, ”sikap hemat”, yang tumbuh sebagai buah dari sikap
rajin bekerja tadi. Ketiga, ”sikap self-help”, yang didefinisikan sebagai
berusaha mengenali diri sendiri dengan perspektif yang lebih baik, lebih jujur,
dan lebih tepat; berusaha mengembangkan sifat mandiri dan rasa percaya diri.
Keempat, kooperasi atau kerja sama, cara untuk mencapai tujuan secara efektif
dan rasional, dan mempersatukan individu serta masyarakatnya.
Inilah picu laras yang memacu jiwa kerja bangsa Korea.
Bila kita perhatikan, keempat butir nilai itu sesungguhnya adalah nilai luhur
bangsa Indonesia. ”Rajin pangkal pandai…” dan ”sedikit bicara banyak kerja”
adalah pepatah yang telah mengakar dalam budaya Indonesia.
Adapun nilai self-help, mandiri, sudah lama melekat dalam
nilai religi sebagian besar masyarakat Indonesia, karena Tuhan Yang Maha Esa
dalam Al Quran menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib
sesuatu bangsa, kecuali bangsa itu mengubah nasibnya sendiri. Sedangkan setiap
usaha mengubah nasib, baik itu membuahkan hasil ataupun tidak, Islam telah
memberinya nilai tambah; digolongkan pada perbuatan ibadah. Sementara sifat
yang terakhir, kooperasi, adalah sendi-sendi budaya Indonesia yang amat
menonjol. Kooperasi atau gotong royong tetap dipelihara dan dilestarikan.
Burung garuda
Sebagai penutup, saya ingin sedikit mendongeng tentang
seekor anak burung garuda yang tertangkap dan dipelihara oleh seorang pemburu. Dari
hari ke hari dia hanya bermain di halaman rumah; bersama-sama ayam kampung.
Lalu pada suatu hari lewatlah seorang ahli unggas. Sang zoologist itu terkejut.
”Ah!” pikir sang ahli unggas itu terheran-heran. ”Sungguh
mengherankan burung garuda itu!” ujarnya kepada pemburu.
”Dia bukan burung garuda lagi. Nenek moyangnya mungkin
garuda, tetapi dia kini tidak lebih dari ayam-ayam sayur!” balas sang pemburu
mantap.
”Tidak! Menurutku dia burung garuda, dan memang burung
garuda!” bantah si ahli unggas itu.
Burung garuda ditangkap, lalu diapungkan ke atas udara.
Garuda mengepak, lalu terjatuh.
”Betul, kan?” ujar si pemburu. ”Dia bukan garuda lagi!”
Kembali si ahli unggas itu menangkap garuda, dan
mengapungkannya lagi. Kembali garuda mengepak, lalu turun kembali. Si pemburu
kembali mencemooh dan semakin yakin garuda telah berubah menjadi ayam.
Dengan penuh penasaran si ahli unggas memegang burung
itu, lalu dengan lembut membelai punggungnya, seraya dengan tegas membisikkan:
”Garuda, dalam tubuhmu mengalir darah garuda yang perkasa. Kepakkanlah sayapmu,
terbanglah membubung tinggi, lihatlah alam raya yang luas yang amat indah.
Terbanglah! Membubunglah!” Burung dilepas, dia mengepak. Semula tampak kaku,
kemudian tambah mantap, akhirnya garuda melesat membubung tinggi, karena dia
memang garuda.
Nah, barangkali cerita ini ada persamaannya dengan bangsa
Indonesia. Bukti kejayaan masa lampau telah membuat mata dunia takjub.
Borobudur satu bukti karya perkasa. Kini camkanlah bahwa Anda sekalian mampu,
Anda punya kemampuan. Korea saja bisa, apalagi Indonesia.
***
*) Koh Young Hun, Profesor di Program Studi
Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar