Minggu, 16 Agustus 2020

Senja Kala Ruang Sastra di Media?

Ni Made Purnama Sari

Kompas, 14 Mei 2016

Sejak akhir abad ke-19, hadirnya ruang-ruang sastra di media massa cetak Indonesia telah membuka kemungkinan interaksi yang unik antara penulis dan pembaca. Hubungan keduanya bukan hanya sekadar berkreasi dan mengapresiasi, namun lebih jauh terbukti meregenerasi pengarang, yang muncul justru dari pengalaman mencermati karya-karya yang dimuat pada koran atau majalah. Kecenderungan ini pun mentradisi yang—sebagaimana kita tahu—turut membentuk pergaulan kreatif dan karakter kesusastraan di negeri ini.

Maka, ketika arus perubahan digital mulai mengepung, kita lantas mencemaskan, setidak-tidaknya oleh publik sastra Indonesia, apakah mungkin suatu tradisi susastra ini, yang memang telah melahirkan sederetan nama-nama cerpenis, novelis, kritikus, serta penyair ternama kita, akan tetap bertahan?

Berikutnya berlanjut pada pertanyaan: mungkinkah ruang-ruang digital, termasuk sosial media di dalamnya, dengan segala kebebasan dan keterbukaan berekspresinya, mampu merekahkan tulisan-tulisan sastrawi yang bernas dan berkualitas sebagaimana selalu dijaga para redaktur media massa yang secara hati-hati mengkurasi pemuatan karya para pengarang?

Diskusi “Senjakala Ruang Sastra di Media” yang digelar di Gedung OLVEH, Jakarta (28/04) membedah masalah-masalah tersebut. Keempat pembicara, antara lain Agus Noor (sastrawan), Djenar Maesa Ayu (novelis), Putu Fajar Arcana (redaktur budaya Kompas, sastrawan) dan Triyanto Triwikromo (cerpenis dan penyair yang juga redaktur pelaksana Harian Suara Merdeka), dalam argumentasinya masing-masing sepakat bahwa ruang sastra di media telah berpengaruh signifikan bagi bersemainya budaya bersastra di Indonesia.

Sastra Koran vs Laman Digital?

Tatkala peran media massa sebagai ruang berkarya sekaligus “patron” susastra terancam oleh tutupnya halaman prosa, puisi maupun esai-kritik, sebagian dari khalayak kita rupanya masih ragu-ragu memandang dunia digital sebagai wadah baru penciptaan. Alam sosial media dan internet dipandang terlalu memberikan “kemerdekaan”, di mana seseorang dapat dengan mudah memuatkan cerita ataupun puisinya dalam aneka motivasi—meliputi di antaranya apa yang oleh Triyanto disebut sebagai sastra-selfie, yakni sastra cenderung asyik-asyik sendiri.

Triyanto mencermati bahwa seolah ada dikotomi antara media cetak dan digital. Pemuatan karya cetak dipandang mencerminkan kualitas sementara postingan di sosial media, blog, atau situs media online hanyalah sebagai media berekspresi—yang nyaris tanpa kurasi. Dia menegaskan, perubahan menuju zaman digital tidaklah terelakkan. Pengarang, tambahnya selaras dengan pendapat Djenar, harus berani masuk ke dalam dunia baru ini seraya secara kreatif memanfaatkan kemungkinan intertekstualitas tak tepermanai.

Pandangan Triyanto bukannya tanpa alasan. Berbeda dengan laman internet, frekuensi pemuatan karya di ruang sastra media massa memang terbatas. Terbit seminggu sekali dengan maksimal 52 edisi dalam setahun menimbulkan kompetisi tingkat tinggi. Tulisan yang berhasil lolos tak ayal dianggap sebagai kelas tersendiri, yang oleh Agus Noor dinilai sebagai semacam legitimasi kehadiran seseorang sebagai sastrawan—kendati Putu Fajar Arcana kemudian mengingatkan, bahwa keberadaan ruang sastra di sebagian besar surat kabar setiap hari Minggu awalnya adalah memberikan nuansa berbeda dari pemberitaan koran yang menyampaikan fakta-fakta setiap harinya.

Ruang sastra di koran mulai dianggap serius justru akibat kian redupnya majalah-majalah yang memuat sastra dan budaya, sebut saja Poedjangga Baroe, Budaya, Prosa, termasuk Horison. “Apalagi ketika Kompas menerbitkan buku Cerpen Pilihan Kompas tahun 1992, sastra koran tidak bisa lagi dianggap sepele. Pertumbuhan dan perkembangan sastra dilihat dari koran-koran,” tambah Putu Fajar Arcana.

Bila penulis berebut laman pemuatan, maka ruang-ruang sastra di media belakangan berkompetisi dengan berita, atau bahkan promosi iklan. Kepentingan finansial acap menjadi pertimbangan atas pengurangan halaman sastra, sebagaimana pengalaman Triyanto dalam mengelola Harian Suara Merdeka. Dari yang semula bertujuan memberikan selingan mingguan, halaman sastra kemudian terancam ditiadakan lantaran tidak signifikan membuahkan iklan—yang membuat beberapa koran terpaksa bernegoisasi mengubah waktu terbit bagi kolom puisi maupun prosa. Lainnya bahkan harus menutup halaman sastranya, atau berhenti melanjutkan terbitan medianya sebagaimana yang terjadi pada Sinar Harapan belum lama kemarin.

Menyaksikan semua ini, senjakala ruang sastra di media massa sungguhkah memang seakan suatu keniscayaan: tradisi kepengarangan yang tergerus akibat perubahan di segala lini?

Masalah Sastra

Ekspresi dan apresiasi atas kebahasaan, khususnya kesusastraan di media massa, belumlah panjang umurnya dan itu pun terjadi dalam konteks yang seolah patah-tumbuh hilang-berganti: dari satu surat kabar ke koran lain, dari sebuah majalah ke terbitan berikutnya. Keberadaan ruang-ruang sastra selama ini tidak berjalan berkesinambungan atau secara kontinyu lagi konsisten memberikan ruang sastra demi menghargai capaian karya penulis-penulis kita, yang selama bertahun-tahun terus bersetia berkarya.

Baik Triyanto maupun Fajar Arcana sama-sama menegaskan bahwa kelangsungan ruang-ruang sastra di media sangat bergantung pada sosok-sosok sastrawan pengampunya, yang secara ideologis menumbuhkan semangat bersastra kepada lapis penerusnya atas nama kesadaran literasi. “Ruang sastra hampir tidak pernah menjadi keputusan sistemik dari sebuah penerbitan umum,” ujar Fajar Arcana.

Peran utama ruang sastra di media dalam melestarikan budaya literasi memang tidak terbantahkan. Kehadirannya tetap perlu dipertahankan bukan semata atas pertimbangan kesejarahan ataupun tradisi interaksi penulis dan pembaca, melainkan lebih sebagai daya dukung sekaligus perjuangan bahwa sastra masih dipandang penting maknanya.

Dalam dunia kini yang menawarkan kemudahan secara segera, ringkas dan hampir serba ‘instan’, seyogyanya media massa tetap tampil sebagai lembaga yang benar-benar menghargai intensitas kebahasaan dalam aneka wujud pengungkapannya, termasuk di dalamnya susastra. Apalagi kiranya semangat dan hakikat idealisme susastra dengan esensi media massa tidaklah berseberangan, sebagaimana pendapat Adinegoro sang pionir jurnalistik, bahwa berita merupakan pernyataan antarmanusia yang dikabarkan seluas-luasnya demi aneka tujuan penting bagi masyarakat. Keduanya terbukti dapat saling menyempurnakan, seperti yang dicerminkan dalam penganugerahan Nobel Sastra 2015 kepada penulis perempuan Svetlana Alexievich atas karya-karyanya yang menuturkan kenyataan penuh empati, paduan antara jurnalisme dan sastrawi.

Selanjutnya, persoalan senjakala ruang-ruang sastra di media massa jangan hanya berhenti menjadi permasalahan publik sastra semata. Sebab tentulah kita sama memahami, bahwa upaya memuliakan bahasa melalui susastra sejalan pula dengan niatan kita dalam merawat nilai-nilai besar dan esensial, sebutlah kemanusiaan, kebangsaan, kebudayaan atau bahkan keberpihakan kepada yang terpinggirkan—suatu hal yang senantiasa hidup penuh harap dalam diri setiap manusia, sebuah impian yang dipersembahkan menjadi karya, entah apapun wujudnya. Sastra, dengan ekspresinya yang bebas, mencerminkan tradisi panjang nusantara yang telah teruji, dan menyiratkan amanat hati nurani rakyat, adalah salah satunya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita