Minggu, 16 Agustus 2020

Sastra, Media Cetak dan Online *

Nurul Fahmy

Jika koran-koran sudah tidak ada lagi, kemana karya sastra yang ditulis oleh para pengarang itu akan ‘dilemparkan’?

Industri media cetak (surat kabar) belakangan semakin ‘lesu’, menuju senjakalanya, menyusul gelombang kehadiran media massa berbasis internet (media online / daring). Senjakala ini bukan isapan jempol. Bukan karena gejalanya telah diakui oleh jurnalis senior, Bre Redana,

dalam artikelnya yang berjudul “Inikah Senjakala Kami” (Senjakala Media Cetak) setahun lalu (28 Desember 2015) di Kompas—‘pengakuan’ yang sempat memantik perdebatan, cibiran, penentangan, hingga keputus-asaan dari berbagai pihak. Namun senjakala surat kabar ini memang sudah dimulai dengan rontoknya sejumlah media massa besar di Indonesia secara berturut-turut, setidaknya sejak 2010 lalu hingga kini.

Koran Tempo, meski tidak tutup, namun ‘ngos-ngosan’ juga untuk tetap menerbitan koran itu pada hari Minggu. Alasannya, oplah Koran Tempo edisi Minggu turun drastis diangka 60 ribu eksemplar, dari jumlah 80 ribu pada hari biasa. Alhasil, edisi akhir pekan koran ini dipindahkan ke hari Sabtu.

Turunnya oplah Koran Tempo pada hari Minggu, edisi akhir pekan yang menyediakan halaman sastra, mungkin dapat menjadi tesis baru bahwa peminat sastra koran, untuk media massa sekelas Koran Tempo-pun menurun drastis, apatah lagi oplah koran divisi II dan III, meminjam istilah umum Harian Jawa Pos, untuk menyebut anak-anak perusahaannya.

Dalam halnya majalah sastra, “Horison”, yang bertahun-tahun terbit dengan gagah perkasa, melegitimasi para sastrawan di Indonesia, kini juga mengalihkan dirinya ke online. Di Jambi, senjakala ini secara diam-diam sudah mulai menghantui para pekerja di industri media cetak sejak dua tiga tahun belakangan ini. Sejumlah media cetak lokal yang bertahun-tahun berjaya, mulai cucuk-cabut formasi, baik di jajaran redaksi, maupun di bagian manajemen. Mencoba kalau-kalau masih ada peruntungan oleh sentuhan tangan dingin sejumlah personal yang dianggap handal dan mampu membendung serbuan gelombang media online. Meski (anehnya) di sisi lain masih ada satu dua ‘koran baru’ yang nekad coba-coba menerbitkan diri.

Namun demikianlah, berdasarkan ramalan ahli nujum dan pengamat media, kelak–meski pernyataan ini tetap saja dinafikan oleh serikat penerbit surat kabar–koran akan benar-benar tiada. Akan menjadi kenangan belaka. Tradisi baca koran di pagi hari, akan tinggal jadi cerita generasi berikutnya saja.

Kemudian. Lantas. Jika koran-koran sudah tidak ada lagi, kemana karya sastra itu akan dipublikasikan? Di sini, di Jambi, pertanyaan ini mungkin sudah lama dikubur dalam benak kita, dan para penulis sastra-nya. Pertama-tama karena sudah terlalu lama rasanya koran-koran di Jambi ini tidak lagi menyediakan halaman sastra (budaya) yang representatif dan berkualitas. Bukan hanya karena soal untung-rugi, tapi seperti kata Putu Fajar Arcana, sastrawan/ redaktur sastra, laman sastra di koran itu (Harian Kompas) tetap ada, karena adanya anak-anak ideologi yang bernama ‘kesadaran literasi’ di media tersebut.

Kesadaran literasi. Itulah yang sudah lama tidak dimiliki oleh media-media massa di Jambi ini. Baik oleh media lama, maupun media baru. Kesadaran literasi yang pernah tumbuh bertahun lalu di hampir sebagian besar media massa cetak di Jambi ini, kini pupus, seiring dengan rontoknya anak-anak ideologi itu di jajaran redaksi surat kabarnya, seperti kata Putu Fajar Arcana, dalam diskusi “Senjakala Ruang Sastra di Media, pada Kamis 28 April 2016 lalu di gedung OLVEH, Jakarta.

Jika koran-koran sudah tidak ada lagi, kemana karya sastra itu akan dipublikasikan? Pertanyaan ini sangat penting diajukan, pertama karena tradisi para penulis, baik senior, apalagi penulis pemula yang merasa baru ‘sah’ meng(di)anggap dirinya sebagai penulis, jika tulisannya telah dimuat di surat kabar. Tradisi yang sudah dimulai puluhan tahun lalu, sejak Indonesia ini masih bernama Hindia Belanda.

Tamsilnya sejak dulu, seolah-olah belum jadi penulis seseorang, kalau karya tulisnya belum pernah dimuat di koran. Belumlah jadi penyair seseorang, kalau puisinya belum nampang di koran. Legitimasi atau ‘kesadaran palsu’ itu masih tumbuh sampai kini. Masih ada. Masih dapat kita lihat dengan mata kepala kita, bagaimana seorang penulis memposting statusnya yang berisi potongan gambar surat kabar yang memuat tulisannya di media sosial. Seolah menegaskan bahwa koran masih lebih tinggi derajatnya, ketimbang media sosial tempat dia memposting potongan gambar itu. Koran dianggap lebih legitimate.

Tapi, selain soal legitimasi, persoalan honorarium pasti jadi pertimbangan dan dorongan para penulis koran mengirimkan karyanya hanya ke surat kabar yang mau membayar honor tulisan mereka. Sebab hingga kini, hanya koran dan majalah (sastra) yang baru berani membayar ‘mahal’ sebuah esai, cerpen maupun puisi yang ditayangkan di media mereka. Belum ada media dalam jaringan (online) yang mau membayar mahal sebuah tulisan (karya sastra), ketimbang koran. Memang, dulu sempat hadir beberapa pengelola media berbasis internet yang memberikan sangu hati kepada para penulis yang karyanya dimuat dalam portal mereka. Namun, media-media tersebut akhirnya tengkurap juga, entah karena apa pastinya. Sehingga pada akhirnya kembalilah mereka ke koran.

Pertanyaan ini menjadi penting, karena, tiga, istilah sastra koran dianggap telah baku, lebih keren, dibandingkan misalnya sastra siber, apalagi sastra Facebook, Twitter dan jenis media sosial lainnya. Karya sastra yang telah terbit di koran dianggap lebih berkualitas karena telah melewati seleksi, kurasi dan proses lainnya oleh redaktur yang (biasanya) juga seorang sastrawan. Sastra koran dianggap berbeda dengan karya sastra yang ditayangkan di media online, yang (mungkin) dianggap, tidak melewati seleksi oleh rakdatur. Apalagi media sosial, yang sebuah tulisan kadang diproses dan tayangkan dengan amat mudah; Kapan teringat, langsung ditulis dan ditayangkan sendiri.

Para penulis yang keras kepala (konservatif) akan menjawab, masih ada penerbit buku, sebagai wadah untuk mempublikasikan karya-karya mereka. Penerbitan dan buku konvensional, juga masih dianggap lebih tinggi derajatnya dari e-book atau media-media maya lainnya. Namun, sama seperti koran, buku-buku dimasa depan juga diprediksi akan habis dan tidak akan dijumpai lagi. Mungkin sama halnya jika kini kita hendak mencari kaset di toko. Buku sudah beralih dalam format digital.

Lantas. Kemudian. Kemana karya-karya sastra itu akan dilempar jika koran dan penerbitan buku sudah tidak lagi? Ini jelas hanya soal persepsi para ‘penulis lawas’ penulis dengan pakem lama, dan keberanian mereka untuk lepas dari tradisi lama, untuk memulai tradisi baru.

***

*) Tulisan ini merupakan salah satu bahan diskusi (Dialog Sastra) di Kantor Bahasa Provinsi Jambi, 13 Desember 2016.

https://www.inilahjambi.com/sastra-media-cetak-dan-online/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita