Minggu, 16 Agustus 2020

Kekuasaan Puisi, Kekuasaan Media

Marhalim Zaini *

Indopos, 19 Okt 2013

PUISI dan media massa (koran khususnya) kerap dianggap memiliki hubungan yang absurd. Hubungan yang paradoks. Atau, bisa juga disebut hubungan gelap. Bagaimana tidak, puisi yang tak populer itu (bahkan dibanding dengan genre prosa, sesama sastra), yang tak banyak digemari (dibaca) orang itu, masuk dalam koran yang diproduksi untuk publik yang massif.

Puisi, yang fiksi itu, terselip di antara lembar-lembar data-fakta koran. Puisi, yang berkomunikasi dengan bahasa yang tidak biasa itu, disandingkan dengan koran yang harus berkabar dengan bahasa yang terang, jelas, dan informatif. Puisi, yang meminta dibaca secara pelan-pelan, dan koran yang dituntut untuk padat, cepat, dan bergegas.

Tapi, anehnya, “hubungan gelap” itu terus saja terjadi. Sejak lama. Sejak zamannya HB Jassin, bahkan mungkin sebelumnya. Di tahun 1993, Sapardi Djoko Damono pernah menulis begini, “sastra modern kita memang dilahirkan oleh koran dan majalah, di akhir abad lalu. Dan sampai tahun ini, entah sampai kapan nanti, ia ditimang dan dibesarkan koran.”

Saya tak tahu persis apa sebab kelanggengan hubungan itu. Saling membutuhkankah mereka? Koran butuh puisi, atau puisi yang butuh koran? Saya kira, koran “yang egois” pasti akan bilang bahwa, “aku tidak butuh puisi, karena puisi tidak menjual.” Koran macam inilah, yang kemudian oleh Jassin disebut “koran barbar.” Lalu, puisi “yang egois” juga akan berteriak dari pertapaannya, “puisi tidak butuh koran yang berisi sampah kata-kata.” Saya tidak tahu, mungkin saja puisi yang semacam ini akan disebut dengan “puisi yang sok suci.”

Tapi nampaknya, koran dan puisi, sama-sama menyadari bahwa dalam keberbedaan itulah, justru mereka (seolah merasa) saling membutuhkan—meskipun tetap ada koran dan puisi yang egois. Koran, supaya tidak dianggap barbar (tak berbudaya), maka disediakanlah ruang untuk puisi (sastra/budaya)—meski kadang masih dengan setengah hati (selain tampak pada space yang sempit, juga honornya yang kecil). Puisi, dengan penuh percaya diri, penuh ketegaran, hadir (seolah) sebagai oase.

Maka, yang terjadi kemudian memang saling mempengaruhi—terlepas besar atau kecilnya keterpengaruhan itu. Misalnya muncul istilah “jurnalisme sastra.” Berita yang datar dan kaku, bisa elastis dan dapat “menyentuh” pembaca melalui sastra. Lalu, begitu pun sebaliknya. Diam-diam, rupanya puisi juga dipengaruhi oleh koran. Puisi-puisi yang dimuat di koran, (seolah) mau tidak mau, harus “menyesuaikan dirinya” dengan “ideologi” koran tersebut. Saya kok tidak yakin, kini ada koran yang mau memuat puisi-puisi “mantera” macam Sutardji dulu. Saya juga tidak yakin, kalau puisi-puisi kritik sosial macam Wiji Thukul dapat dimuat koran hari ini. Tentu, terlepas apakah kita hari ini memang sedang tidak enjoy menulis model puisi yang semacam itu.

Agaknya, menarik juga kalau melihat “keterpengaruhan” itu dari teori kekuasaannya Michel Foucault. Saya meyakini, apa yang disebut sebagai “wacana” itu tidak hanya dibawa oleh berita di koran, tetapi juga dimiliki oleh puisi. Dengan begitu, keduanya (koran dan puisi) sama-sama memiliki “kekuasaannya” masing-masing. Kekuasaan sebagai strategi untuk saling memainkan peran dan fungsinya masing-masing. Saya melihat, keterpengaruhan itu, sesungguhnya tidak bersifat represif, sebagaimana konsep Marx ihwal kekuasaan, ihwal dominasi kelas. Juga, tidak hegemonik, seperti Gramsci.

Mungkin saja memang kadang koran tampak menghegemoni, dan dengan begitu terkesan represif terhadap puisi. Itu semata, disebabkan oleh secara kuantitas space berita selain puisi, memang lebih banyak. Akan tetapi, kehadiran ruang puisi yang tidak banyak itu, justru membuat puisi menjelma jadi semacam oase, semacam titik cahaya di rimba gelap realitas peristiwa. Maka daya tawar puisi, menjadi tak dapat diabaikan di situ. Apalagi, ditambah pembenarannya dengan stigma Jassin di atas; setengah halaman puisi (sastra/budaya) sudah cukup menghapus cap barbar sebuah koran.

Maka, dalam konteks ini saya merasa Foucault benar. Sebab apa yang sedang terjadi adalah, koran dan puisi sedang mengoperasikan kekuasaannya masing-masing, melalui mekanisme-mekanisme pengetahuannya masing-masing. Koran dan puisi sama-sama sedang membangun relasi sosialnya, dengan strategi masing-masing. Boleh jadi kemudian memang saling mempengaruhi, karena relasi itu. Tetapi tidak saling mendominasi, apalagi menghegemoni. Dan, hemat saya, inilah sebab kenapa “hubungan gelap” itu masih terus langgeng sampai sekarang. Kian tampak mesralah ia, kalau ada koran macam Indopos dan Riau Pos, misalnya, yang berani menyediakan satu halaman penuh untuk puisi...

***

__________________

*) Marhalim Zaini. Lahir di Teluk Pambang Bengkalis Riau, 15 Januari 1976. Alumnus Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, esai budaya, resensi, naskah drama, juga cerbung dipublikasikan ke berbagai media massa lokal, nasional, dan internasional di antaranya Kompas, Majalah Sastra Horison, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, Jurnal Puisi, Jawa Pos, Bali Post, Surabaya Pos, Lampung Post, Riau Pos, Majalah Budaya Sagang, Pustakamaya (Malaysia), dan Prince Claus Fund Journal Netherlands, dll. http://riaunology.blogspot.com/p/kolom-indopos.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita