Linda Christanty
Majalah Dewi edisi April 2016
Pencinta kuda ini menginisiasi cara baru dalam mengantar bacaan untuk anak- anak di daerah terpencil dan menghidupkan budaya yang hampir punah.
SEORANG LELAKI menunggang kudanya, jenis unggul dari persilangan sandel Sumba dan Thoroughbred, untuk menempuh perjalanan dari Pamulang di Banten sampai Parongpong di Jawa Barat. Mereka kerap menyusuri jalan-jalan setapak, dari bulan Agustus hingga September 2014. “Setiap kali kami singgah, anak-anak kecil datang berkerumun. Mereka antusias membantu saya mencari rumput untuk kuda. Anak-anak ini memberitahu saya tentang kondisi setempat, nama ataupun letak lokasi yang sedang saya cari,” kenang Nirwan Ahmad Arsuka, penulis dan penggiat di bidang kebudayaan.
Namun, anak-anak tersebut membuatnya cemas. Mereka tak dapat menjawab pertanyaannya tentang sejarah kampung mereka sendiri. “Kalau dibiarkan, kita akan punya generasi yang sama sekali tidak tahu tentang sejarah dan kebudayaan mereka. Saya berkuda juga bukan sekadar untuk melihat pemandangan atau bertemu orang, tapi untuk menyerap kebudayaan yang berkembang di tempat tertentu sekaligus menghimpun cerita-cerita menarik agar perjalanan saya lebih kaya,” kisahnya saat kami bertemu pada pertengahan Februari lalu.
Ketika ia mengakhiri perjalanan berkuda kali itu lembaga tempatnya bekerja, Freedom Institute, telah dibekukan. Alih-alih memikirkan diri sendiri, ia malah mengkhawatirkan kondisi anak-anak di kampung tadi. Ia bertekad membuat perpustakaan bergerak dengan memanfaatkan sebagian uang pesangon. “Buku- buku harus mendatangi anak-anak dan harus dengan cara yang menarik. Kuda itu salah satu binatang yang selalu menarik perhatian anak-anak,” katanya.
Kuda dan buku, dua kata penting bagi Nirwan. Pertama kali mengenal kuda, ia masih kanak-kanak. Kakeknya dari sebelah ibu memelihara kuda. Jika tidak pergi bersama ke sungai untuk menangkap ikan, ia diajak kakeknya naik kuda menyusuri bukit-bukit. Pengalaman itu amat membekas. Namun, kecintaan Nirwan terhadap buku tidak berakar dari kebiasaan dalam keluarga. Buku-buku pertamanya adalah buku-buku pinjaman dari para mahasiswa yang tinggal di rumah orangtuanya dan para tetangga. Buku-buku tentang alam semesta menjadi favorit. “Mungkin karena pola asuhan yang dilakukan Kakek. Dari kenangan yang indah tentang sungai, gunung dan bintang-bintang, jaraknya sudah sangat dekat dengan apresiasi terhadap alam semesta. Saya kira, semua anak yang sehat pasti punya keterpukauan pada langit, laut, dan obyek-obyek alam yang memang memukau ini.” Gairahnya terhadap alam semesta tersebut berlanjut hingga ia dewasa.
Bagi Nirwan, jagat raya tak lain dari sekumpulan narasi. Tidak asing atau berjarak, melainkan bagian dari eksistensi manusia. Ia berharap, “Suatu saat orang bisa memahami black hole atau bintang sebagaimana orang membangun hubungan dengan bunga atau kucing, atau kuda." Namun, pengetahuan ilmiah seringkali berbenturan dengan pandangan-pandangan yang konservatif, sempit, dan tertutup. Kali ini ia memihak pemikiran Karl Popper, filsuf Inggris kelahiran Austria, “Dia menganjurkan ‘open society’. Keterbukaan dan demokrasi itu penting, agar kebenaran bisa diperiksa bersama.”
Nirwan sengaja memilih tempat-tempat yang sukar dijangkau sebagai tujuan perpustakaan bergerak, yang di sana akses terhadap buku memang tak ada, “Di daerah seperti itu tentu hanya transportasi kuda yang terbaik.” Pada November 2014, ia membuat pengumuman di Facebook tentang keinginannya membeli kuda yang unik, berwarna belang. Kuda semacam ini tentu menarik perhatian anak- anak. Ridwan Sururi, perawat kuda di kaki Gunung Slamet, Purbalingga, menjawab keinginannya. “Kebetulan dia punya dan mau menjual.” Kelak kuda tersebut dinamai Kutub Dunia. Lama-kelamaan pembicaraan mereka berkembang. Ridwan ternyata tertarik membuat perpustakaan bergerak di kampungnya. Nirwan dengan senang hati mengiriminya buku-buku.
Meski ‘kuda pustaka’ telah terwujud di Gunung Slamet, ia masih gelisah, “Anak-anak di gunung kesulitan mencari buku, tapi jauh lebih sulit lagi anak-anak di pulau dan di pesisir. Waktu masih SD sampai SMA di Makassar, saya sering melihat situasi anak-anak di kampung nelayan lebih buruk.”
Ia lantas menghubungi teman-temannya di Makassar pada bulan Maret 2015, meminta mereka mencari perahu bekas. Kali ini ia ingin membeli perahu untuk membawa buku-buku. Ia kemudian terhubung dengan Kamaruddin Aziz, seorang sarjana kelautan, dan Muhammad Ridwan Alimuddin, peneliti kelautan dan penulis buku Orang Mandar, Orang Laut, yang bersamanya mendiskusikan jenis perahu yang tepat untuk kondisi daerah yang akan didatangi. Mereka pun sepakat menggunakan jenis perahu yang sudah hampir punah di Sulawesi, yakni perahu kargo, agar mampu masuk ke sungai atau perairan dangkal. Lambung lebar. Lunas tidak terlalu dalam. Orang Mandar menyebutnya baqgo. “Sudah menghilang dari pelabuhan-pelabuhan. Perahu ini tenar di tahun 1970- an ketika pelayaran tradisional masih hidup,” ujar Nirwan. Sebuah perahu bekas jenis ini akhirnya ditemukan. Tapi perbedaan harga yang tak terlampau jauh antara perahu bekas dan perahu baru membuat Nirwan memutuskan membeli perahu baru saja. Keputusannya menandai sebuah sejarah baru, “Kami menghidupkan kembali tradisi yang hampir punah, lengkap dengan upacara memilih pohon sampai meluncurkan perahu.” Ridwan mengusulkan nama untuk perahu itu: Pattingalloang. Karaeng Pattingalloang adalah perdana menteri kerajaan Makassar pada abad ke-17. Nirwan menuturkan kecintaan lelaki ini terhadap ilmu pengetahuan dalam esainya di "Edisi Millenium" harian Kompas, 1 Januari 2000 dan pidato kebudayaannya, Percakapan dengan Semesta, yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pada 5 November 2015.
Pattingalloang telah beroperasi sejak bulan Juni tahun lalu, menjangkau beberapa kabupaten di Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Ia terdengar makin bersemangat, “Perahu kedua sedang dibuat dan akan bergerak ke Maluku, sementara Pattingalloang akan beroperasi di Selat Makassar.” Perahu pustaka ini mengilhami Ridwan mendirikan Nusa Pustaka, museum dan perpustakaan di kampungnya.
Berkat Facebook, ia sempat berkenalan dengan Sugeng Haryono di Lampung, tukang tambal ban yang pernah mengenyam kuliah diploma di jurusan perpustakaan, "Dia juga mempraktikkan apa yang kami lakukan. Dia mengendarai sepeda motor untuk membawa buku-buku." Nirwan menganjurkan Sugeng memanfaatkan media sosial untuk menggerakkan partisipasi masyarakat.
Manokwari, Papua menjadi wilayah sasaran terakhir perpustakaan bergerak. Melalui seorang teman, Nirwan terhubung dengan Misbah, seorang guru di sana yang menyambut gagasannya karena memiliki keprihatinan yang sama. Sejumlah relawan membantu Misbah, termasuk dua atlet nasional, yang menggiatkan ‘noken pustaka’. Noken adalah tas tradisional Papua, terbuat dari serat kayu.
Gerakan pustaka terus menjalar ke wilayah-wilayah lain. Para penggeraknya terdorong oleh rasa peduli dan suka rela. Kendala justru bersumber dari ulah oknum-oknum pemerintah. Nirwan teringat pengalaman seorang temannya, “Mereka mempertanyakan perizinan atau berupaya memanfaatkan kegiatan ini untuk kepentingan pribadi.”
Perpustakaan bergerak hanya salah satu cara Nirwan menanggapi situasi yang ada di depan mata. Ketika masih mahasiswa, ia memutuskan menjadi aktivis dengan prinsip yang sama, “Saya menyaksikan sesuatu, sehingga harus berbuat sesuatu.” Di Yogyakarta, lelaki kelahiran Makassar ini tidak hanya sibuk kuliah di Teknik Nuklir, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, melainkan turut membantu Romo Mangunwijaya mengurus anak-anak jalanan di Kali Code, antara tahun 1986 sampai awal 1989. “Tugas utama saya menemani mereka, mengajari membaca dan kebersihan.“ Ia terlibat aksi-aksi mahasiswa, mulai dari membela petani di Cilacap dan Madura yang kehilangan tanah hingga memprotes pembreidelan tabloid Detik, majalah Tempo dan Editor, yang dilakukan pemerintah Soeharto.
Sekarang ia tengah mencari cara agar Kutub Dunia pergi ke Papua, “Supaya ada ‘kuda pustaka’ di sana. Yang penting Si Kutub bertemu orang yang menyayangi dan merawat dia, bagi saya itu sudah cukup.” Setiap hari Minggu ia menengok Kutub di suatu tempat, di Bogor. Merah Putih, kuda yang dulu menemaninya dalam perjalanan antara Pamulang dan Parongpong, kini berada di Yogyakarta. Merah tengah menjadi model karya seni rupa Ugo Untoro, seniman dan seorang teman baiknya, “Ugo juga penggila kuda. Kalau rindu Si Merah, saya tengok dia di Yogya."
***
https://www.facebook.com/notes/linda-christanty/perpustakaan-bergerak-nirwan-ahmad-arsuka-oleh-linda-christanty/10153422583811496/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar