Jordaidan Rizsyah
Itu adalah perkampungan kecil jauh dari teknologi zaman. Berada di lereng gunung, di tengah hutan belantara. Penduduknya kurang dari 50 orang yang masing-masing terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak buta huruf.
Di tengah kampung itu dialiri sungai kecil menjorok ke barat. Di hilir sana, aliran jatuh membentuk air terjun. Di tebing air terjun terselip satu rumah kecil. Rumah itu milik seorang dukun dengan istri yang telah melahirkan dua anak. Di depan rumah itu ada dua pohon besar yang jadi penyangga rumah. Di pohon itulah si sulung laki-laki anak si dukun tidur, di dalam kain yang dililitkan ke pohon. Hebat sekali caranya tidur bergelantungan seperti kepompong.
Kampung ini bernama Deusta. Pemimpinnya, atau sebutlah kepala suku, bernama Jeuk Ismeut Jaleulah yang diangkat secara nasib. Yaitu, kebetulan dua tahun lalu Jeuk Ismeut Jalaleu pernah jatuh ke dalam sumur. Maka, atas kepercayaan turun-temurun; barangsiapa jatuh ke dalam sumur secara tidak sengaja dan ditemukan masih hidup, dia harus diangkat jadi pemimpin. Dewa telah memilihnya.
Di tengah kampung ada satu pendopo besar tempat warga mengadakan pertemuan, sebenarnya tidak pernah ada pertemuan penting. Pendopo fungsinya lebih ke tempat tidur warga.
Di sebelah barat pendopo ada sebuah ruangan panjang terbuat dari kayu. Itu tempat musyawarah sakral. Biasanya, kalau hendak memberi hukum, kepala suku atau orang terpilih akan menjalankan ritual di sana selama 2 hari 2 malam. Namun hebat, setelah kedatangan seorang mahasiswi dari Jakarta ruangan itu jadi seperti sekolah. Dipakai belajar anak-anak kampung yang sama sekali tidak ingin belajar. Rata-rata anak-anak itu datang-- atau sebutlah sekolah, hanya karena guru mereka, si mahasiswi itu sering mengiming-iming permen. Tentu anak-anak kampung tertarik. Selama hidup mereka belum pernah memakan batu yang rasanya manis, yang si mahasiswi mengenalkannya dengan sebutan permen dengan tambahan cinta. Permen cinta, katanya.
Di sebelah kiri pendopo ada saung kecil milik seorang pendatang. Kiayi Ali namanya. Sebenarnya itu bukan nama sesungguhnya. Warga kadung sering dengar orang itu cerita tentang sesosok guru di Jombang sana yang bernama kiayi Ali, warga pun menamainya kiayi Ali. Hebatnya, orang itu tidak keberatan namanya diganti tanpa peresmian masak bubur merah. Bahkan bisa dibilang kiayi Ali bangga bisa memiliki nama gurunya.
Nah, di samping saung kiayi Ali inilah si mahasiswi Jakarta itu tinggal. Dulu, pertama kali kedatangannya ke kampung ini, kiayi Ali-lah yang menyambutnya. Kiayi Ali juga yang membantu membuatkan saung untuknya. Alhamdulillah kiayi Ali diberi upah 10 permen tanda terima kasih.
Sedangkan kiayi Ali sendiri bisa tinggal di kampung ini-- dengan saung di sebelah pendopo itu, karena warga kampung kadung baiknya. Alias karena kiayi Ali sering ikutan tidur bersama di pendopo, warga merasa risih kepadanga. Kemudian terbesit di pikiran warga untuk menyingkirkan kiayi Ali dengan cara membikin tempat khusus untuknya. Maka, dibuatkanlah saung kecil seukuran mimbar masjid di samping pendopo itu. Jujur saja, warga kampung Deusta sebenarnya jijik kepada orang asing. Namun, mereka punya tradisi jangan menolak tamu.
Di ujung kampung, sekitar 500 meter dari tempat kepala suku, ada sebuah lapangan besar yang setiap sisinya dipagari kayu. Di sepanjang pagar itu tumbuh pohon ganja. Di kampung Deusta ganja tidaklah ada apa-apanya. Tidak pula bikin eufhoria. Dia cuma tanaman biasa, sama seperti pohon ubi kalau di tempat lain. Setiap hari ganja itu dijadikan teman makan. Tak ada masalah.
Lapangan itu, konon, bekas markas tentara gerilya. Kiayi Ali menyimpulkannya sendiri. Kemudian kesimpulannya diwartakan kepada si mahasiswi. Dan si mahasiswi percaya begitu saja tanpa investigasi lebih lanjut. Lagian, si mahasiswi malas debat soal benar atau tidak.
Di pojok lapangan terdapat saung besar yang bisa disebut rumah. Rumah ini tidak ada fungsinya. Tidak ada satu orang pun yang mau memasukinya. Konon, kata kepala suku, itu rumah para dewa. Barangsiapa masuk ke sana maka dia takkan pernah kembali. Kiayi Ali orangnya tidak mudah percaya. Maka demi membuktikan omongan si kepala suku, tengah malam ia mengendap masuk ke dalam. Tidak ada apa-apa. Tidak ada para dewa berbaris laiknya tentara gerilya. Tahu kenapa tidak ada? Karena, kiayi Ali lupa bawa obor. Dia tidak bisa melihat apa-apa, di dalam sana gelap. Tapi, lagi-lagi kiayi Ali bisa menyimpulkan sendiri, "Takhayuuul!" Katanya.
Kiayi Ali punya pembenaran kalau omongan si kepala suku benar-benar takhayul. Toh, dia bisa keluar tanpa kurang apa pun.
Tetapi, ketika Kiayi Ali tidur, kuntilanak berhasil menyambangi alam mimpinya.
Di tengah lapangan itu ada sumur besar. Di sumur inilah Jeuk Ismeut Jaleulah jatuh. Sejak dulu warga Deusta memang menjadikan sumur itu kramat. Ada yang bilang sumur itu tempat kencing para dewa. Sudah pasti! Kiayi Ali yang bilang begitu dengan maksud ingin meledek.
Di lapangan itu biasanya upacara dilaksanakan.
Kampung Deusta sering mengadakan upacara. Entah itu upacara penyambutan--yang sayang sekali kiayi Ali dan si mahasiswi tidak mendapatkannya. Upacara panen tosta. Dan upacara musim wanita. Dua upacara ini yang menarik, panen tosta dan musim wanita. Sebab, dua upacara ini mengilhami saya menceritakan kampung ini.
Sebelum saya ceritakan apa itu upacara panen tosta, ada baiknya diketahui dulu apa itu tosta. Di kampung ini ada satu tumbuhan langka yang tidak bisa tumbuh di tempat lain. Ya, tosta itu namanya! Tumbuhan ini sama persis seperti ganja. Bedanya, tosta memiliki buah yang apabila dimakan anak kecil bisa bikin muntah. Namun, bila dimakan orang dewasa bisa mengenyangkan. Warga kampung Deusta percaya kalau tosta tumbuhan surga yang ditanam dengan tangan dewa. Daun tosta bisa dibikin sayur. Bisa juga dikeringkan dan dijadikan rokok. Sama seperti ganja kalau dihisap makhluk lemah di tempat lain, bisa bikin euphoria. Batang pohon tosta bisa dibakar dan dijadikan teman makan sagu, atau kentang, rasanya tidak enak, kiayi Ali pernah mencobanya. Akar tosta bisa ditumbuk dan dijadikan teh. Pembuatan teh dicampur dengan daunnya yang sudah dikeringkan. Minuman ini biasanya diminum para lelaki karena punya efek menguatkan 'keperkasaan'.
Nah, pohon tosta ini biasa dipanen 2 kali dalam setahun. Berhubung kampung Deusta tidak punya kalender, maka menentukannya memakai pergerakan gajah nun jauh di sana. Apabila ada gajah bergerak dari hulu ke hilir, maka waktu panen sudah bisa dimulai. Setelah panen selesai, dengan maksud ingin bersukur, diadakanlah oleh warga satu upacara.
Upacaranya simple saja. Mereka berkumpul di lapangan bekas tentara gerilya sambil mengkonsumsi hasil panen tosta sepanjang 7 hari 7 malam. Mereka makan batang tosta yang rasanya tidak enak itu. Minum teh tosta. Dan mengisap rokok tosta yang kadar euphoria-nya lebih hebat dari ganja. Itu saja. Ya, begitu saja cara mereka bersukur.
Warga akan meninggalkan pendopo dan mulai bergeletakan di lapangan. Mereka menikmati hasil panen bersama-sama. Anak-anak bisa muntah-muntah, orangtua bisa [maaf: nge-sex sepanjang malam], sisanya makan batang tosta yang rasanya tidak enak, ini jadi bagian kiayi Ali dan si mahasiswi.
Warga kampung begitu mengagungkan tanaman ini. Tanaman para dewa. Tosta tumbuh nun jauh di sana, di tempat gajah lewat. Tak seorang pun ada yang boleh ke sana sebelum waktunya. Kalau ada yang nekat pergi ke sana, maka pelaku akan dihukum mati. Hebatnya, mayat korban tidak dikubur melainkan dimasukkan ke dalam sumur atau dijadikan makanan babi. Tergantung mandah hati yang diterima warga.
Upacara musim wanita adalah yang paling mengerikan, sekaligus seru. Karena didalamnya terdapat kekejian namun juga nikmat. Kiayi Ali akan geleng-geleng kepala bila upacara musim wanita sedang terjadi. Upacara ini berlangsung tidak menentukan hari atau bulan. Apabila kepala suku sudah berunding, maka upacara bisa dilangsungkan waktu itu juga. Di luar kampung Deusta mungkin upacara ini disebut perjodohan.
Laki-laki dan perempuan berkumpul di lapangan. Mula-mulanya si laki-laki akan memilih wanita, jika si wanita mau kepada si laki-laki, maka mereka sah jadi pasangan. Tak ada ikrar apa-apa, semuanya berjalan sesuai naluri. Aku suka kamu, kamu suka aku, maka mari kita hidup sama-sama. Hanya itu.
Kabar baiknya, di acara tak bermoral ini wanita diberi hak menolak. Dan laki-laki tidak boleh memaksa keputusan si wanita. Kabar buruknya, di upacara ini laki-laki bisa menukar wanitanya seperti barang. Si dukun pernah melakukannya. Orang lain pun!
Si dukun datang ke upacara bersama istrinya. Lalu istrinya diambil orang lain. Lalu, si dukun memilih anaknya untuk dijadikan istrinya. Hebatnya, si anak tidak menolak. Mengetahui ini, kiayi Ali kesal sendiri. Dia ingin melawan tradisi gila itu tapi tidak bisa.
Perkawinan ayah dan anak biasa terjadi di sini. Di kampung Deusta tak ada aturan soal perkawinan.
Kiayi Ali selalu merasa bersalah kepada dirinya sendiri karena belum menuntaskan misi yang diembannya. Ya, kiayi Ali palsu ini utusan kiayi Ali asli dari Jombang sana. Dia diberi tugas supaya mengajarkan nilai-nilai islam di kampung Deusta. Tetapi, dia belum berhasil. Sudah mau 3 tahun dia tinggal di kampung Deusta belum juga ada kemajuan. Barangkali hanya lafal 'bismillah' yang berhasil dia ajarkan kepada warga. Itu pun karena kiayi Ali mengiming-iming surga. Dia bilang ke warga kalau bismillah adalah kunci surga. Semua orang bisa masuk kalau sering mengucap bismillah, katanya. Warga tahu soal surga. Maka, ketika kiayi Ali menawarkan kuncinya, mereka tidak menolak. Mulailah warga rajin mengucap bismillah dalam setiap tindakan dan kesempatan. Malah, bismillah sering juga dijadikan kata celaan.
Pernah ada seorang istri kesal kepada suaminya. Dia berteriak kepada suaminya dengan makian, "Bismillaaaaah! Jangan kau sentuh-sentuh aku lagi. Dasar bismillah!"
Dari situ kiayi Ali geleng-geleng kepala. Dia merasa bersalah kepada dirinya sendiri, terutama kepada gurunya, kiayi Ali asli di Jombang sana.
Di lain kesempatan argumen warga Deusta soal bismillah itu lebih bijaksana. Katanya, "bismillah sajeu buat sayeu. Sisanyeu buat kiayi alieu sajeu." Dan kata-kata itu berhasil bikin kening kiayi Ali berkerut.
Kabar lainnya yang tidak kalah baik--mungkin bagi wanita saja, di kampung Deusta ini tak ada poligami atau perselingkuhan. Kalaupun ada, itu benar-benar tak terlihat.
***
Si mahasiswi itu setelah dua tahun hidup di kampung Deusta mengalami banyak hal. Namun, yang paling mencengangkan adalah peristiwa ketika dia jatuh ke sumur kramat. Entah apa yang terjadi kepadanya bisa sampai di sana malam-malam buta. Yang pasti, setelah peristiwa itu dia hamil. Orang kampung percaya kalau yang menghamilinya adalah dewa. Maka, warga kampung--sesuai tradisi mereka, harus mengangkat si mahasiswi menjadi kepala suku. Karena si mahasiswi adalah seorang perempuan, maka hak itu diberikan kepada anaknya, nanti. Kalau anaknya perempuan, maka warga Deusta akan membuat tatanan baru, yaitu kampung mereka bisa dipimpin oleh seorang perempuan.
Lagi-lagi kiayi Ali geleng-geleng kepala, bingung entah harus berbuat apa. Namun, dia tidak mau menyerah, kiayi ali tidak mau mengecewakan gurunya. Maka, di suatu malam kiayi Ali mendatangi si mahasiswi. Dia menanyai kebenaran soal kehamilan yang digadang-gadangkan benih dewa itu. Pertanyaan kiayi Ali dijawab si mahasiswi dengan jujur sejujur-jujurnya, "maafkan saya kiayi. Sebenarnya anak ini adalah anak Jeuk Ismeut Jalaleu."
Seketika kiayi Ali tersenyum. Dia mendapat pencerahan. Dia punya alasan untuk mengutuk warga kampung tentang dewa yang mereka maksud tidak benar-benar ada. Itu bohong. Itu takhayul. Itu tidak benar. Dewa itu tidak ada!
"Yang benar dan ada adalah islam. Islam rahmatan lil 'alamin, islam yang akan memperbaiki tatanan kampung menjadi lebih baik." Kiayi Ali dalam hati sambil tersenyum simpul membayangkan kemenangannya.
Kiayi Ali ingin memberitahu kehebatan islam kepada warga. Setelah cukup lama ia tidak diberi kesempatan, maka kehamilan si mahasiswi bisa dijadikan senjata. Maksud kiayi Ali, dia akan mengutuk kepala suku. Di lain hal, dia akan menjelaskan kejadian tak senonoh itu akibat tatanan yang tidak benar. Tentu tindak pemerkosaan tidak akan dibenarkan, bagi kampung tak bermoral sekalipun. Maka di sinilah kiayi Ali punya kesempatan mengenalkan tatanan islam. Pastinya, dengan harapan warga akan mengerti dan mau menerima islam.
"Bahwa islam bisa mencegah hal serupa takkan terjadi lagi." Argumen kiayi Ali waktu itu siap dilontarkan ke hadapan warga Deusta.
"Warga akan berpihak kepadaku" kata kiayi Ali. Namun, sebelum kiayi Ali bergerak, si mahasiswi menahannya, "jangan kiayi. Saya takut!" Si mahasiswi memelas. Dan kiayi Ali merasa kasihan.
"Lalu, bagaimana?" Tanya kiayi Ali.
"Kiayi sendiri yang tahu."
Sejenak kiayi Ali diam. Dia merenung. Anjing menggonggong.
"Harusnya saya pulang. Ini semua takkan terjadi." Si mahasiswi menangis. Kiayi Ali merasa iba.
"Jangan begitu. Kamu sudah berusaha kok. Saya juga merasakan apa yang kamu rasakan. Kegagalan itu." Kiayi Ali menghibur.
"Berusaha melahirkan anak haram? Haha." Si mahasiswi getir.
"Tidak! Dia bukan anak haram. Saya akan menikahimu. Dia akan lahir dan tumbuh jadi manusia normal. Bukan haram."
***
Begitulah akhirnya kiayi Ali menikah dengan si mahasiswi, tanpa wali dan tanpa saksi. Kecuali, anjing yang menggonggong di bawah saung.
Setelah anak itu lahir, kepala suku Jeuk Ismeut Jalaleu merasa tergugah. Ada kontak batin antara dirinya dengan anaknya. Dia melihat anaknya mirip dengan dirinya. Kemudian secara sadar si kepala suku memberikan info kepada warga kalau anak si mahasiswi adalah anaknya, dia yang telah menghamilinya. Salah satu dari warga pergi ke ruangan panjang di samping pendopo. Dia melakukan ritual minta petunjuk akan suatu kebenaran. Didapatlah mandah hati itu, si kepala suku telah melakukan pelanggaran. Dia harus dihukum mati dan jasadnya dikasih ke babi.
***
Anak si mahasiswi dijadikan kepala suku. Tapi tunggu ia besar. Sambil menunggu, tampuk kekuasaan kampung Deusta diserahkan kepada kiayi Ali--suami si mahasiswi. Tatanan baru kampung Deusta berada digenggamannya. Kiayi Ali tersenyum.
Bogor, 24 April 2020
http://sastra-indonesia.com/2020/06/kampung-deusta/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 01 Juli 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar