Sabtu, 18 Juli 2020

CINTA DAN BENCI

Aprinus Salam *

Terdapat potongan adegan dalam sebuah film silat. Kurang lebih menggambarkan seorang pendekar wanita yang dipaksa membunuh seorang pendekar laki-laki yang sakti. Pendekar sakti itu telah tertodong pedang, karena memang sang pendekar tidak memberi perlawanan. Guru pendekar wanita berteriak, “Bunuh laki-laki itu, bunuh. Apa kau ingin melawan gurumu?”

Si wanita bingung dan kalap. Ia tahu dia mencintai pendekar sakti itu dan sebaliknya. Ia pun tahu gurunya membenci dan dendam yang demikian mendalam kepada sang pendekar sakti. Ia terjebak dalam cintanya kepada sang pendekar dan kepada gurunya (tentu dua jenis cinta yang berbeda), dan atas kebencian gurunya kepada kekasih hatinya.

Teriakan gurunya begitu tinggi menusuk perasaannya karena dia takut dianggap sebagai murid yang khianat. Akan tetapi, tangannya tak mungkin menusukkan pedangnya ke sang kekasih. Karena demikian panik dan limbung, sambil menutup mata dan berteriak histeris, pendekar wanita itu melentingkan badan dan tangannya. Si pendekar sakti tetap diam dan menerima, maka tertusuklah dadanya bagian kiri. Beberapa detik setelah si wanita tahu bahwa ia telah menusukkan pedang ke dada kekasihnya, ia pingsan.

Sebuah adegan mampu dengan baik bercerita, tetapi tidak mampu dan tidak bermaksud menjelaskan. Seharusnya, ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang menjelaskan hal tersebut. Namun, ilmu sosial dan humaniora memiliki banyak keterbatasan untuk menjelaskan gejala-gejala yang tidak tampak, termasuk dalam hal ini persoalan cinta dan benci. Biasanya ilmu sosial dan humaniora hanya berusaha menjelaskan gejala-gejala empiriknya, yang kemudian dirasionalisasi lewat berbagai penafsiran dan pendekatan. Pertanyaannya, apa itu cinta dan benci? Bagaimana kedua hal tersebut menjadi ada? Bagaimana kita bisa mengetahui hal tersebut? Apa implikasi cinta dan benci dalam kehidupan?

Biasanya kita menyebut kedua hal tersebut hadir sebagai “representasi” perasaan. Akan tetapi, hal itu belum menjelaskan apa itu cinta dan benci yang muncul dalam perasaan. Saya ingin mengikuti taksonomi Freud bahwa dalam diri manusia itu ada yang disebut id, ego, dan superego. Namun, karena Freud yang mengikuti positivisme tidak masuk ke wilayah Ruh, saya akan meminjam terminologi kepercayaan (keyakinan) saya bahwa dalam diri manusia ada Ruh, bukan sekedar jiwa.

Id adalah segala hal gejala tubuh yang ingin dipuaskan, seperti lapar, haus, libido (syahwat), dan kepuasan empirik lainnya. Implikasinya, jika id tidak terpenuhi, maka akan muncul rasa tidak suka (benci) marah, kecewa, bahkan dendam (lihat Freud, 1991). Tubuh, lewat perasaan, akan melampiaskan rasa kecewa ini dengan mungkin mengumpat, memaki, atau melakukan tindakan-tindakan kekerasan untuk memenuhi rasa puas tersebut.

Sementara itu, superego bukan gejala tubuh. Superego terkait dengan beberapa pengertian terutama pengertian hati (nurani), suatu Nur dalam diri, suatu Ruh yang terintegrasi secara menyeluruh dalam eksistensi kemanusiaan. Superego tidak menuntut kepuasan, karena superego merupakan nilai dan substansi hakiki yang jika kemunculannya atas perasaan adalah perasaan cinta (lihat Fodor, 2013). Cinta bukan gejala tubuh, melainkan gejala Ruh. Implikasi keberadannya ada pada perasaan kasih-sayang dan ketulusan.

Ego adalah kesadaran dan ruang yang mengelola negosiasi id dan superego. Dalam beberapa hal, sangat mungkin ego dapat disejajarkan dengan pikiran (dalam berbagai terminologi lain disebut rasio, akal, dll). Akan tetapi, yang ingin saya tekankan di sini bahwa kesadaran (pikiran) ikut memainkan peran dalam negosiasi tersebut, walaupun pada akhirnya akal bisa larut dalam id atau superego (lihat Freud, 2018). Jika akal larut dalam id, maka yang muncul dalam tindakan adalah segala hal gejala tubuh. Namun, tidak tertutup kemungkinan pikiran bisa larut (tercelup) dalam nilai superego. Yang terjadi adalah cinta itu sendiri. Karena tidak menuntut kepuasan, tidak ada masalah dalam cinta. Cinta menyelesaikan semua masalah atas nama cinta itu sendiri.

Memang, kata cinta sering dipakai secara historis, politik, dan sosial: cinta orang tua kepada anak yang biasanya tanpa pamrih, cinta sesama jenis kelamin, cinta guru kepada muridnya, dan lain sebagainya. Sementara cinta kepada bangsa dan cinta pada kebenaran, itu lebih dekat dengan perasaan sayang. Sayang merupakan implikasi dan representasi dari cinta .

Di sinilah, keyakinan yang saya pegang adalah bahwa cinta autentik terjadi ketika hanya mencintai Diri-Nya. Pernyataan ini juga didukung oleh Quran yang berbunyi “adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (Surat Al-Baqarah, ayat 165).

Kembali ke kasus adegan silat di atas, maka yang terjadi adalah pertarungan antara rasa sayang dan benci. Terjadi pertarungan representasi tak langsung antara id dan superego. Dengan demikian, gejala sayang merupakan bentuk negosiasi antara id dan superego yang mencul dalam kesadaran (perasaan). Pingsan atau ketidaksadaran yang dialami si wanita adalah gejala tubuh. Adegan lebih lanjut dalam film tersebut menampakkan bahwa pendekar sakti laki-laki lebih dapat menyatukan dirinya dengan kehendak cinta murni ketika ia memberikan nyawa (jiwa) karena dia yakin bahwa cintanya kepada Sang Pencipta, melebihi kesukaannya pada dunia, termasuk pada kekasih duniawinya.

Kebalikan dengan cinta, seperti telah disinggung, benci adalah gejala tubuh. Benci terjadi karena ada hal yang sangat tidak disukai terjadi. Implikasi empiriknya pada ego dengan gejala marah, ngamuk, kecewa, sakit hati, atau dendam. Benci sebagai gejala tubuh berposisi untuk menguji keberadaan cinta dalam diri manusia. Manusia bukan Tuhan, walaupun beberapa ajaran meyakini bahwa secara kualitatif manusia mampu bersatu. Dalam kebatinan Jawa disebut “manunggaling kawulo gusti” (Zoetmoelder, 1991). Dalam tasawuf disebut sebagai tajalli (Izutsu, 1984:152).

Pertanyaannya, bagaimana dengan pernyataan-pernyataan atau kesan, bahwa Tuhan itu bisa marah atau cemburu kepada hambanya, dengan memberi hukuman kepada hamba yang melanggar syariah yang ditentukan oleh Tuhan? Saya berpendapat bahwa Tuhan tidak mungkin marah dan cemburu. Pengertian ini terlalu memanusiakan Tuhan. Terlalu berlebihan buat Tuhan jika memiliki perasan marah dan cemburu dalam pengertian yang manusiawi. Hal itu hanya bisa dikenai untuk karakter kemanusiaan. Yang terjadi adalah Tuhan membersihkan kotoran dan kesalahan dalam diri manusia untuk kembali bersatu bersama-Nya. Bahasa hukuman dari Tuhan terlalu keras buat saya. Saya yakin Tuhan tidak seperti itu, walaupun saya mengatakan itu dalam ketidaktahuan saya tentang Tuhan (Yang Nyata).

Cinta tidak bisa diwariskan, karena secara inheren cinta selalu ada dalam diri manusia. Namun, benci bisa diwariskan, bahkan bisa diwariskan atau bisa ditularkan secara kolektif. Narasi atau wacana-wacana tertentu yang bersifat ideologis, sebagai output gejala tubuh yang tersimpan dalam id dapat memunculkan ideologi seperti rasisme, sukuisme, fasisme, atau beberapa gejala yang diperlihatkan seperti hadirnya kelompok-kelompok ekstrim. Gejala ini terdapat hampir di semua negara.

Kebencian menjadi bahan bakar permusuhan dan konflik. Itulah sebabnya, negara sangat mungkin merupakan reprsentasi tubuh kolektif warganya. Itulah sebabnya, sebagai representasi tubuh warga, negara juga bernafsu untuk menguasai banyak hal. Negara menjadi berhadapan dengan negara lain, yang juga sebagai representasi warganya sendiri, baik sebagai kawan atau sebagai lawan. Ini juga terjadi dalam kehidupan antarmanusia. Negara bukan representasi cinta.

________________
*) Aprinus Salam, mengajar di Pascasarjana FIB UGM.
http://sastra-indonesia.com/2020/07/cinta-dan-benci/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita