Rabu, 11 Agustus 2021

GADIS

Humam S Chudori
republika.co.id
 
Andika masih duduk mematung di ruang tamu. Ia seperti tak percaya pada peristiwa yang baru saja dialaminya. Untuk ke sekian kalinya ia merasa tidak berdaya menghadapi istrinya sendiri.
Terbayang lagi peristiwa yang belum lama berselang, tatkala lelaki yang tengah memanfaatkan cuti tahunan itu bertanya kepada istrinya yang hendak keluar rumah.
“Mau kemana, Ma?” tanya Andika.
“Kalau mau makan beli saja di warung,” kata Menik, ketus.
“Yang Papa tanya….”
“Papa tanya seperti itu kan, ujung-ujungnya akan tanya Mama sudah masak belum?” potong Menik, “Iya, kan?”
“Lawan dong, Pa!” seru Gadis, membuyarkan lamunan papanya.
Ayah tiga orang anak itu tersentak. Ia tidak menduga kalau anak sulungnya sudah ada di ruang tamu.
“Di sini Papa kepala keluarga. Papa pemimpin,” tambah Gadis.
Andika tetap diam. Masih duduk mematung di kursi.
“Bukan sekali ini Mama berbuat seperti itu kepada Papa, kan?”
Andika tetap bergeming. Ia sudah tidak ingat lagi, sejak kapan Menik berani bicara kasar terhadap dirinya. Yang diingatnya, Menik mulai berubah perangai setelah sering berkumpul dengan ibu-ibu dalam arisan erwe. Setelah Menik bergaul akrab dengan Monika dan Kurnia.
Sejak akrab dengan kedua janda itu Menik mulai berani melawan Andika. Sebetulnya Andika tak ingin istrinya aktif dalam kegiatan erwe. Namun, ia tak mampu melarangnya. Selain merasa tidak enak dengan Sentot, ketua rw, ia tidak ingin cekcok dengan istrinya.
Andika sadar jika dirinya sudah kehilangan kontrol, bisa melakukan apa saja. Bukan hanya barang pecah belah yang dijadikan sasaran pelampiasan kekesalannya. Melainkan juga tubuh istrinya. Tetapi, itu dulu. Sebelum Menik bergaul akrab dengan Kurnia dan Monika.
Anehnya, setelah Andika tidak pernah marah, kelakuan Menik berubah total, sering menantang suaminya. Apalagi setelah Menik tahu jika kekerasan dalam rumah tangga dapat diajukan ke meja hijau. Andaikata suaminya kembali menyakiti dirinya, ia tidak akan segan-segan memperkarakannya ke pengadilan.
“Coba saja Papa berani kasar seperti dulu lagi,” kata Menik, tiap kali Andika berbicara agak membentak, “kekerasan dalam rumah tangga bisa diajukan ke pengadilan lho!”
Setelah mendapat ancaman seperti ini, Andika tak mau lagi meladeni istrinya. Tiap Menik bicara keras, Andika memilih diam. Ia tak ingin terpancing. Ia tak ingin melakukan tindakan konyol, menampar Menik seperti dulu, misalnya.
Andika tidak mau menampar istrinya lagi bukan semata-mata karena takut akan diperkarakan oleh Menik. Melainkan ia tidak ingin Gadis sampai tahu kalau papanya melakukan tindak kekerasan terhadap istrinya. Andika khawatir Gadis akan mengalami trauma seperti Miranda.
Kakak sulung Andika itu tidak mau menikah hingga akhir hayatnya. Padahal, banyak pemuda yang berusaha mendekati Miranda. Tetapi, perempuan berkulit kuning langsat itu tidak pernah membuka pintu hatinya. Anak sulung Mariman itu selalu menghindar bertemu pemuda yang mengharapkan dirinya. Berbagai upaya dilakukan Mariman dan istrinya, membujuk Miranda agar mau berumahtangga, tapi gagal.
Apabila ada adiknya yang hendak menikah, Miranda tetap bergeming. Ia seperti tidak pernah punya rasa tertarik pada lawan jenisnya.
“Kalau mau nikah, nikah saja, gak usah mikirin kakak,” kata Miranda, tiap kali ada adiknya minta izin hendak menikah.
 
Andika masih diam. Terbayang lagi perlakuan kasar yang dilakukan Mariman terhadap Hartini. Ya, bukan sekali dua kali Mariman memperlakukan istrinya dengan kasar. Bukan hanya dengan bentakan, hardikan, membanting pintu, atau membuat piring dan gelas pecah berantakan. Adakalanya ia melayangkan tangan ke tubuh istrinya. Hingga tidak jarang orangtua perempuan Andika itu kesakitan dan menangis.
Andika tidak tahu sejak kapan sang bapak berlaku kasar terhadap ibunya. Yang pasti, ia sering melihat bapaknya marah-marah. Tidak jarang ia melihat bapaknya membanting piring atau gelas.
Andika pernah melihat ibunya mengiris-iris bawang sambil menangis, tatkala ia pulang sekolah. Namun, Hartini mengatakan dirinya tidak apa-apa.
“Orang kalau mengiris bawang merah ya seperti ini, Nak,” aku Hartini.
Sebetulnya Andika tidak percaya pada pengakuan sang ibu, lantaran ia melihat pipi kanan ibunya memar. Tetapi, ia tak ingin mendesak ibunya dengan pertanyaan lain. Ia tidak ingin bertanya kenapa pipi ibunya berwarna merah.
“Memang kalau orang mengiris bawang bisa menangis, Kak?” tanya Andika yang saat itu masih duduk di kelas satu esde, kepada Miranda, “Kok ibu tadi menangis waktu mengirisi bawang merah.”
Miranda mengangguk.
“Pipinya juga merah?” desak Andika.
Miranda diam. Ia bingung untuk menjelaskan peristiwa yang dilihatnya ketika adik-adiknya yang lain masih ada di sekolah. Waktu itu, Miranda pulang sekolah agak awal, sehingga ia menyaksikan sendiri sang bapak menampar orangtua perempuannya.
“Betul begitu, Kak?”
Miranda menggeleng.
 
“Bagaimana pun juga Papa tidak boleh lemah menghadapi Mama. Laki-laki tidak seharusnya seperti Papa,” lanjut Gadis, sambil memasang tali sepatu, membuyarkan lamunan papanya.
“Kenapa Papa selalu mengalah sama Mama?” tanya Gadis.
Andika masih diam.
“Kenapa, Pa? Papa takut sama Mama?” desak Gadis.
Andika tetap bergeming.
“Kenapa selama ini Papa tak berani melawan?” ulang Gadis, mencecar papanya, “Papa di rumah ini pemimpin, Pa.”
“Iya, papa tahu Nak.”
Gadis diam. Andika diam. Hening sejenak.
“Kalau selama ini Papa mengalah bukan tidak ada maksudnya. Bukan Papa takut sama mama kamu. Tapi, Papa justru takut sesuatu terjadi padamu.”
Gadis masih diam. Ia belum tahu arah pembicaraan orangtua laki-lakinya.
“Papa takut khilaf, Dis. Bisa saja Papa kalap jika mama kamu seperti itu, diajak ngomong baik-baik jawabannya selalu seperti itu. Nah, kalau emosi Papa tidak terkontrol, lalu papa berbuat sesuatu yang tidak seharusnya tidak dilakukan. Bagaimana?”
 
“Kalau tindakan itu harus diambil kenapa tidak dilakukan?” desak Gadis, “Yang penting niat Papa bukan untuk menyakiti. Melainkan untuk mendidik agar Mama punya sopan santun. Supaya Mama bisa menghargai Papa.”
 
“Yang Papa khawatirkan….” Andika tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
“Ya, sudah. Tak usah dibahas. Buat apa dibahas kalau memang Papa takut sama Mama,” lanjut Andika setelah lama terdiam, “Tidak ada artinya kita bicarakan.”
 
Gadis diam. Mahasiswa semester empat sebuah perguruan tinggi itu tidak habis pikir dengan alasan yang dikemukakan papanya. Namun, ia tak hendak berdebat dengan papanya. Sebab ia sedang bersiap-siap hendak berangkat ke kampus.
 
Namun ada kala pria tak berdaya
Tekuk lutut di kerling wanita
 
Terngiang lagi potongan lagu itu di telinga Gadis. Lagu yang sering didendangkan oleh Santi, sahabat Gadis ketika mereka masih sama-sama duduk di bangku SMU. Tanpa berkata apa-apa lagi anak pertama Andika itu keluar rumah. Berangkat kuliah. Menuju ke kampus. Meninggalkan sang papa yang tengah memikirkan perubahan sikap istrinya.
Namun, kali ini bukan hanya perubahan kelakuan istri yang dipikirkan Andika. Melainkan juga perubahan sikap anaknya sendiri.
***

http://sastra-indonesia.com/2008/11/gadis/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita