Senin, 09 Agustus 2021

Belajar Memungkinkan Kreativitas

Hasan Aspahani *
tanjungpinangpos.id, 18 Feb 2018
 
TAK banyak penyair Indonesia yang menurut saya sudah punya rumah dengan alamat yang pasti di negeri puisi Indonesia. Di antara yang tak banyak itu adalah Sutardji Calzoum Bachri. Ketika kritikus Dami N Toda berkata Chairil adalah ibarat mata Anda yang kanan, maka Sutardji adalah Anda yang kiri, maka menurut saya, dia telah memberi isyarat yang gampang ditangkap: dimanakah rumah dan alamat Sutardji.
 
Tapi bagi sebagian penghuni negeri puisi Indonesia, Sutardji tampaknya tidak boleh duduk betah di rumahnya. Sebagian dari kita mungkin menganggap dia tak pantas diberi rumah yang pantas. Sebagian dari kita mungkin menganggap rumah itu tidak ada, atau kalau pun ada rumah itu adalah rumah hantu. Menurut saya, kenyataannya adalah rumah itu terletak di sebuah bukit yang tinggi. Banyak penjelajah dan pendatang baru di negeri puisi Indonesia yang tak kuat niat sajak dan lemah daya tahan menyairnya menganggap bukit itu terlalu tinggi. Tak akan tercapai, dan akhirnya menganggap singgah ke rumah itu tak ada gunanya.
 
Sekedar singgah, sekedar berkunjung pun tak berguna? Saya sendiri mewajibkan diri saya untuk singgah. Bertemu dan berbincang dengan si tuan rumah dan minta satu dua nasihat sebelum melanjutkan perjalanan. Sutardji memang bukan bukan orang yang suka memberi nasihat. Ia memberi tantangan. Ia adalah buku besar yang halaman-halamannya bertuliskan naskah penting dengan huruf-huruf berukuran besar. Mudah dibaca, tapi kita yang terbiasa dengan buku picisan mungkin akan gentar bahkan untuk menyentuh tepinya saja, bahkan untuk meraba sampulnya saja.
 
Salah satu dari naskah penting itu adalah “Kredo Puisi” yang ditulis 30 Maret 1973. Naskah itu menjadi pengantar kumpulan sajak “O” yang merangkum sajak-sajaknya yang ia tulis sepanjang 1966-1973. Banyak pembaca kredo itu yang “terpesona” dengan bagian ini: “Kata-kata harus bebas dari pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.” Bagian ini memang memukau. Dan saya setuju bahwa ini adalah salah satu bagian penting dari kredo sembilan paragraf itu.
 
Mari kita tilik tanggal-tanggal itu. 30 Maret 1973. Dan tahun 1966-1973. Artinya dia merumuskan kredonya setelah ia menuliskan sajak-sajaknya. Saya rasanya pernah mendengar ia berkata suatu kali bahwa kredo itu harus ia buat untuk membantu orang lain masuk ke alam sajak-sajaknya, menikmati sajak-sajaknya, memahami sajak-sajaknya. Risiko seorang pendobrak adalah disalahpahami. Itu pula yang terjadi pada si mata kanan Chairil. Pada masa hidupnya, ia dan sajak-sajaknya juga pernah disalahpahami. Itu pula yang terjadi pada Shakespeare.
 
Kenapa Sutardji menulis ”Kredo”? Dalam buku ”Hijau Kelon dan Puisi 2002″ ada satu tulisannya berjudul “Ihwal Personal”. Di situ ia jelaskan karena ia yakin dan sadar tidak ada kritikus yang berwibawa sekalipun pada waktu itu, mampu berapresiasi dan memahami kumpulan sajak ”O” pada pertama kali terbit, maka ia menuliskan kredo itu. “Penyair tidak perlu mematikan diri jika karyanya selesai ditulis atau diterbitkan, ia harus hidup dengan komentar, visi tentang karyanya untuk menolong para kritikus agar tidak mati atau pingsan dengan kemunculan karyanya,” katanya.
 
Saya kira ”Kredo Puisi” sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Membaca sajak-sajak Sutardji dalam ”O” (28 sajak) dan kemudian ”Amuk” (sajak-sajak tahun 1973-1976, 15 sajak) dengan bekal pemahaman yang cukup atas kredo itu sungguh mengundang kenikmatan. Sutardji dalam sajak-sajak itu – seperti ia rumuskan dalam kredo itu – memang telah berhasil membiarkan kata-kata bebas. Dan dengan penuh gairah karena menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tidak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas.
 
Tapi, jangan terpesona pada kredo yang gagah itu saja. Sutardji sendiri suatu ketika saya dengar berkata bahwa bukan kredo yang menentukan nasib penyair, tapi penyairlah yang menentukan kredo puisi-puisinya. Kredo boleh ditinggalkan kapan saja. Dan itulah yang dilakukan oleh Sutardji. Bahkan untuk kumpulan sajak ”Kapak” (sajak-sajak tahun 1976-1979), Sutardji memberi pengantar lain ”Pengantar Kapak” (ditulis pada 17 Mei 1979).
 
Apa katanya dalam pengantar itu? Saya suka pada bagian ini: “Menyair adalah suatu pekerjaan yang serius. Namun penyair tidak harus menyair sampai mati. Dia boleh meninggalkan kepenyairannya kapan saja. Tapi bila kau sedang menulis sajak, kau harus melakukan secara sungguh-sungguh. Seintens mungkin, semaksimal mungkin.”
 
Jadi menurut saya, orang – apalagi pendatang baru di negeri puisi Indonesia – yang masih mempertanyakan kelayakan Sutardji mendiami “rumah mewah” di puncak yang telah ia daki sendiri adalah orang yang tak paham bahwa dia telah salah paham membaca Sutardji. Sekali lagi Sutardji adalah naskah penting yang telah membuat negeri puisi Indonesia menjadi sangat bergairah. Puisi-puisinya menggalakkan debat dan mengundang tafsir yang meriah. Resital atas sajak-sajaknya oleh dia sendiri selalu seperti hendak meledakkan panggung. Saya sedikitnya empat kali melihat dia tampil di panggung dan selalu dengan aksi panggung yang berbeda.
 
Menurut saya, nasihat penting yang perlu dipatuhi dari ”Kredo Puisi” Sutardji adalah ini: “Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan.” Tertantangkah kita membebaskan kata untuk puisi kita? Membebaskan dengan cara kita sendiri tentu saja, bukan dengan cara Sutardji. Baiklah, kalau pun ada sebagian dari kita yang menganggap kata itu tidak pernah sepenuhnya bebas, dan dengan demikian setiap upaya untuk membebaskannya adalah sia-sia, maka temukanlah cara, tentukanlah sikap dan rumuskanlah kredo sendiri untuk satu hal yang amat penting yang kita kutip dari kredo itu yaitu “memungkinkan kreativitas”. Menimbulkan hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.
 
Ada tantangan abadi dari Sutardji kepada para penyair. Ia sampaikan itu pada ”Pengantar Kapak”. Katanya, “Kau harus melakukan pencarian-pencarian, kau harus mencari dan menemukan bahasa. Yang tak menemukan bahasa tak kan pernah disebut penyair. Saya menyair dan karena itu saya menemukan bahasa saya”.
 
Kita tidak akan bisa menemukan apa-apa bila tidak kreatif. Jadi menurut saya, mumpung masih di hulu, mumpung masih jauh dari muara maka kata kunci yang harus segera disebut-sebut berulang-ulang adalah “bagaimana kita membuat kreativitas kita menyajak membuka sebanyak-banyaknya kemungkinan-kemungkinan yang kreatif”.
***

*) HASAN ASPAHANI, Juru Baca di haripuisi.com http://sastra-indonesia.com/2021/08/belajar-memungkinkan-kreativitas/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita