Rabu, 11 Agustus 2021

AKU HARUS BICARA, BAPAK!

Imamuddin SA
 
Dan, mungkin saat ini aku harus berbicara, Bapak! Membuka pintu gejolak batinku yang berteriak. Memberontak dalam kerangkeng jasadku. Aku ingin mengutarakannya secepatnya. Mungkin dengan jalan ini aku sedikit bisa merasakan kebahagiaan. Merasakan kebebasan. Menikmati kelegaan. Sakit rasanya.
 
Tapi aku masih ragu dengan keputusanku. Aku kalah dengan ketakutanku. Aku lemah. Ternyata, aku masih saja seperti kemarin. Diam. Memendam luka begitu dalam. Tidak, aku harus bangkit. Membangun keberanian untuk mengungkapkannya. Membuat jejak perubahan. Mengukir kebermaknahan. Paling tidak perubahan untuk batinku. Perubahan bagi diriku.
 
Seketika itu aku tersentak. Dan beranjak dari tempat dudukku. Berlari membawa segenap keberanian yang sempat lunglai. Menghampiri sesosok tubuh yang melintas di lensa mataku. Menelusuri remang malam berselimutkan kesunyian.
 
Saat itu, persis di antara kampungku dan kampung sebelah, aku menghadangnya. Menghentikan langkah kaki sesosok tubuh yang telah kukenali itu. Ya, sosok itu adalah guru kelasku. Tanpa basa-basi, aku langsung menghujamkan kepalanku di bagian rusuk kirinya. Ia terjungkal. Mengerang kesakitan. Ia bangkit. Dan mencoba melakukan perlawanan kepadaku. Namun, sebelum ia sempurnakan berdirinya, lagi-lagi kudaratkan kepalanku di rusuknya. Kali ini di rusuk sebelah kanannya.
 
Setelah beberapa kali aku lancarkan pukulan, aku merasa sedikit puas. Waktu itu aku sengaja menghajarnya di bagian rusuknya. Hal itu aku lakukan bukannya tanpa tujuan. Aku bermaksud agar tidak terlihat bekasnya pas di sekolah besok. Ini puncak amarahku. Ini hanya sebatas peringatan kepadanya. Aku harap ia jera. Dan tidak semena-mena terhadapku sewaktu berada di kelas. Juga terhadap teman-temanku yang lain.
 
Dalam ketidak berdayaannya, hanya tinggal mulut besarnya yang masih bisa nerocos. Ia masih berkelit menanyakan kesalahannya. Ia seolah tidak mengerti duduk permasalahannya. Ia bertanya dan bertanya terus kepadaku. Sesekali mengiba kepadaku dengan memegang kakiku. Aku hanya diam. Berdiri gagah seolah menikmati kemenanganku. Dengan kediamanku, aku harap dia bisa mengintrospeksi diri. Dan menyadari pribadinya yang sedikit kurang tepat saat melakukan proses kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas.
 
Dasar orang tak berperasaan. Keras kepala. Tak bisa megoreksi pribadinya. Melihat suasana semacam itu, aku pun tak bisa membungkam diri. Aku terpaksa melontarkan kata-kata pedas. Dan sedikit kasar kepadanya.
 
“Apa? Kau masih mengelak! Pura-pura tak mengerti?” ujarku penuh emosi. Tak ada unggah-ungguh bahasa nan mengenakkan hati.
 
“Sungguh aku tak tahu duduk permasalahannya. Yang kutahu, kau tanpa sebab telah melakukan penganiayaan kepadaku. Gurumu sendiri. Kau murid durhaka.”
 
“Masih saja kau bersilat lidah. Bersikap masa bodoh. Seolah tak mengerti apa-apa. Bukankah ini juga hasil pola pembelajaranmu di sekolah tempo hari? Bukankah ini yang kau harapkan dari setiap muridmu?”
 
“Apa maksudmu? Omonganmu ngelantur. Kau jelas-jelas mendurhakaiku. Tapi kau malah melempar kesalahan kepadaku. Kau tidak sepantasnya melawan gurumu. Apalagi menganiayanya. Dasar tak berakhlak.” ujarnya geram, sambil melaghujamkan tinjunya ke mukaku. Seraya berkelit untuk melarikan diri.
 
Kepalaku sedikit kuelakkan. Dan tangan kananku menangkisnya. Tanganku yang lain kembali mendarat persis di perutnya. Dia terhuyung. Jatuh!
 
“Perlakuan ini memang pantas untukmu. Biar kau jera. Dan aku tidak mendurhakai siapa pun di sini. Aku hanya memberi sedikit peringatan kepada bandit.”
 
“Jera…..? Bandit……?”
“Ya, benar. Aku dan teman-teman yang lain bukanlah binatang yang bisa seenaknya diperlakukan melampaui batas. Main hina. Main pukul. Dan……”
“Kau bilang tindakanku melampaui batas! Ini sebuah sarana pembelajaran. Semuanya demi masa depanmu.”
 
“Masa depan katamu! Aku manusia. Bukan hewan. Pembelajaran pun harus dilakukan dengan etika yang manusiawi pula. Berbeda denganmu.”
“Kau yang tidak mengerti. Ini kulakukan agar kau bisa secepatnya menguasai materi yang kusampaikan. Tapi, apa hasilnya? Kau tetap saja tak bisa-bisa. Apalagi tanpa kekerasan. Kau bebal.”
 
“Kalau tidak bebal, aku tidak akan sekolah. Dan menjadi muridmu. Kalau tidak bebal, aku sudah pasti yang menjadi gurumu. Coba kau pikir. Orang menerima pengetahuan itu tidak sertamerta langsung bisa. Tapi sedikit demi sedikit. Kadang pula pemahaman yang sampai juga sedikit. Ini butuh kesabaran dalam menerima dan menyampaikanya. Apalagi setelah mata pelajaran yang satu usai, ada lagi mata pelajaran lain yang fokus dan konsepnya berbeda. Coba renungkan. Jika pada mata pelajaran yang pertama ada kekurang pahaman, sementara sudah ditumpuki mata pelajaran lain, apa yang akan terjadi. Jika kau benar-benar manusiawi, kau pasti mengerti akan hal ini. Itu sekedar contoh dari dua mata pelajaran. Belum yang lain. Berapa banyak mata pelajaran di sekolah! Hitung saja. Jika semua guru menuntut hal yang sama. Dan menerapkan strategi yang sama pula, maka apa yang terjadi?”
 
“Kau tidak mengerti sulitnya berposisi sebagai guru. Ketuntasan belajar menjadi tuntutan utama seorang guru. Ini sudah aturan dari pusat. Jika tidak ada ketuntasan, ini pengaruhnya terhadap dirimu juga ketika ujian akhir nasional. Nilaimu buruk. Dan tidak lulus. Jadi aku harus melakukan penekanan keras agar tujuan itu tercapai. Meski dengan sedikit dengan kekerasan.”
 
“Sedikit kekerasan katamu? Aku kira tidak! Yang kau prioritaskan sementara ini hanya sisi intelektualnya saja. Sementara tujuan orang bersekeloh tidak hanya itu-itu saja. Seharusnya yang menjadi prioritas utama adalah mental, emosional dan perilaku. Ini bekal utama dalam melakukan pengabdian di masyarakan kelak. Dan ini hasil pendidikan kekerasan yang kau terapkan. Rasakan!” Sambil kuhujamkan kepalanku di perut guru itu. Lagi-lagi ia terhuyung jatuh.
 
“Tidak. Kau masih awam akan hal ini. Kau tidak tahu betapa sulitnya memahamkan seseorang.”
“Aku tahu semua itu. Oleh sebab itu, di sini kuterapkan caramu dalam memahamkan pribadiku saat berada di kelas. Ini kulakukan agar kau paham. Agar kau memahami bagaimana posisiku sewaktu di kelas. Agar kau merasakan perihnya hati dan daging ini oleh goresan luka. Biar esok kau tak semena-mena lagi. Tidak ada penghinaan. Dan kebrutalan lagi dalam proses belajar dan pembelajaran. Entah terhadapku atau pada teman-teman yang lain.”
 
“Kau tetap tidak mengerti.” sedikit erangnya.
“Ketidakmengertianku di sini disebabkan ketidakmengertianmu pula saat kau berada di kelas. Tentunya kau telah banyak makan bangku di sekolah. Kau pasti tahu bagaimana rasanya menjadi murid sepertiku. Sebel. Jengkel. Benci. Bahkan marah, bukan? Saat kau mendapati guru yang berkarakter sama sepertimu.”
“Benar. Tapi aku tidak brutal sepertimu. Toh nyatanya aku juga bisa berhasil seperti ini.”
 
“Tapi kau sungguh keterlaluan. Melampaui batas kewajaran. Tidak ada jenjang keberkalaan. Salah sedikit langsung main hina. Main pukul. Tidak hafal sedikit, kerasnya penggaris mendarat di tubuhku. Tidak ada himbauan. Tidak ada pengarahan sebelumnya. Pendidikan macam apa ini? Gunakan rasa kemanusiaanmu. Dan perlu kau camkan. Keberhasilanmu hingga kau bisa mengajar seperti ini disebabkan pelajaran yang telah kau tekuni telah menjurus. Telah berfokus pada satu bidang pelajaran. Dan itu jadi fakmu. Sementara aku saat ini……? Berapa macam pelajaran di sekolah yang harus aku telan. Semua pelajaran itu berbeda-beda, bukan? Coba pikir!”
 
Guru itu terdiam. Sedikit bangkit dari tempat jatuhnya. Lantas ia menyeruduk aku laksana banteng yang menembus kain merah matadornya. Kini giliran aku yang terhuyung. Aku terjatuh. Serudukkannya begitu keras. Tepat di bagian perutku. Kali ini aku lengah. Dan tak dapat mengelaknya.
 
Guru itu lari sipat kuping. Sementara itu aku mengerang. Berdiri sedikit gontai. Aku berusaha mengejarnya. Namun ia sudah terlalu jauh untuk kukejar. Aku urungkan niatku. Dan membalikkan langkah kakiku. Aku kembali ke kampungku. Berjalan pelan seraya mengatur irama jantungku.
 
Sebenarnya aku kesal dengan diriku sendiri. Sebab aku telah membiarkannya pergi. Masih cukup banyak ungkapan yang harus aku nyatakan kepadanya. Emosiku masih meledak-ledak. Ibarat bom atom yang yang jatuh di Nagasaki dan Hirosima waktu perang dunia kedua. Namun apa yang telah kulakukan, rasanya sudah lebih dari cukup. Aku merasa lega sebab telah berhasil menuangkan gejolak batinku yang selama bertahun-tahun meringkuk terkurung waktu. Ya, bagiku inilah kebahagian terbesar dalam hidupku. Kebahagiaan sebab aku telah berhasil keluar dari tekanan batinku. Lega rasanya. Beban berat di pundakku terrasa hilang sudah.
***

http://sastra-indonesia.com/2008/11/aku-harus-bicara-bapak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita