Jumat, 23 Juli 2021

Sastra Pesantren: Menanggung Beban Berat

Kodirun *
pondokpesantren.net
 
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (QS. al-Syu’ara: 224)
 
Sebuah Ingatan
 
ImageSekitar tahun 1997 seorang teman dekat saya di masjid milik pesantren tempat kami bersama-sama menuntut ilmu (thalab al-ilmi), membaca fenomena menarik. Seringkali sebelum ia merebahkan badan sambil membersihkan kertas-kertas yang berceceran, iseng-iseng ia baca sampah kertas itu yang berisi coretan-coretan kata mirip puisi, yang diksi, komposisi, dan muatan temanya dirasakannya tidak kalah dengan puisi-puisi “mapan”. Saat itu pula teman saya tadi sadar bahwa ternyata santri mempunyai potensi yang tidak kecil dalam bidang sastra.
 
Dari situlah kemudian lahir sebuah buku kumpulan puisi yang diberi judul Narasi Speaker Masjid yang terbit dua tahun berikutnya, 1999. Buku ini dicetak dalam bentuk photo copy dalam jumlah yang sangat terbatas dan sangat sederhana. Ada 20 santri yang puisinya bisa di muat di buku itu. Masing-masing santri menyumbangkan sekitar satu sampai sepuluh judul puisi yang berisi berbagai hal kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari. Mulai dari yang bertema cinta sampai kondisi masyarakat yang yang dianggap sudah carut-marut. Ada juga yang membidik persoalan politik tingkat atas yang amburadul.
 
Yang membanggakan dari antologi sederhana itu adalah bahwa mereka para santri dapat mempersembahkan sebuah karya “teramat sangat sederhana” untuk almamater tercintanya dan terutama kepada Kyai yang telah mengasuh mereka dalam proses mencari kawruh agama di pondok pesantren.
 
Fenomena tersebut di atas menarik tidak saja disebabkan karena para santri telah berhasil mewujudkan sebuah karya. Tetapi yang terpenting adalah adanya proses kreatif yang mereka miliki untuk bisa melahirkan ide-ide yang sebenarnya telah lama mengendap dalam benak pikiran mereka. Mereka memendam sebuah “kegelisahan” yang tentu saja menjadi sebuah keniscayaan bagi mereka yang mau berpikir.
 
Apa yang mereka pikirkan? Apa yang mereka menggelisahkannya? Apa yang mereka bayangkan dalam angan-angan? Tentu saja bagi orang yang sedang belajar mengeja tanda-tanda alam adalah alam itu sendiri. Alam tidak hanya terbatas pada matahari, rembulan, bintang-bintang, langit biru, ruang hampa udara, awan-awan berarak, semilir angin, burung-burung yang sedang terbang berbaris memanjang, pohon-pohon hijau, sungai-sungai, lautan, tanah-tanah subur dan tandus, hujan, gempa dan sebagainya. Tetapi juga mereka sendiri sebagai manusia yang menjadi subyek dan sekaligus obyek peradaban. Mereka membentuk peradaban dan sekaligus dibentuk oleh peradaban yang mereka ciptakan sendiri. Pendeknya alam adalah segala hal selain Sang Pencipta Allah azza wa jalla.
 
Orang yang belajar qira’ah (membaca) adalah dia yang mau memahami ayat-ayat, mau memahami fenomena-fenomena ilahiyah. Setetes embun bagi seorang qari’ (pembaca) akan lebih berarti dari pada sepiring nasi yang dicarinya dengan susah payah. Setetes embun barangkali akan lebih menyegarkan ditengah-tengah kegelisahan hati yang dirasakannya. Dari mengamati setetes embun muncullah kedamaian dalam hatinya sehingga bisa merasakan kehadiran Tuhan yang telah memberi kenikmatan yang tiada tara. Lalu bagi seorang penyair menjelma sebuah kata-kata indah yang tidak saja enak dibaca bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain.
 
Menciptakan Tradisi (Ber)Sastra
 
Pesantren sebagai bagian budaya tersendiri dalam masyarakat hidup di tengah-tengah situasi global yang mengelilinginya. Pesantren telah mengalami situasi-situasi yang sedemikian sulit dalam perjalanannya. Pesantren juga telah menunjukkan prestasi-prestasi yang cukup memberikan kemanfaatan pada masyarakat luas. Tetapi bagaimana dengan tradisi yang dimilikinya? Selama ini metode pengajian dengan bertumpu pada kitab-kitab kuning yang dirintis oleh para pendahulunya (al-salaf al-shalih) terkadang tidak cukup mampu memberi jawaban-jawaban atas persoalan yang mencuat dalam panggung kehidupan. Tidak cukup bisa bermain dalam arena pertandingan yang sering membuat urat saraf menegang. Pesantren dianggap masih jauh ketinggalan di belakang para sprinter yang hampir menyentuh garis finish.
 
Pendek kata, selain harus berpegang pada teradisi spesifiknya, pesantren sudah harus menemukan dan membuat model lain dalam kerangka menyampaikan pesan-pesan ilahiah. Para santri menjadi sastrawan! Menyampaikan segala persoalan melalui karya sastra (puisi, cerpen, novel, naskah teater, naskah drama, naskah film dan lain sebagainya) Mungkinkah? Sangat mungkin, karena sebenarnya mereka mempunyai banyak tokoh yang bisa dijadikan sebagai panutan. Kitab kuning yang mereka baca pun ada sebagaian yang berisi sastra yang bernilai tinggi. Para santri sebenarnya sudah terbiasa dengan kitab Ushfuriah yang berisi cerita-cerita imajinatif, dengan kitab Alfiah ibn Malik yang berisi seribu lebih sedikit bait syair tentang tata bahasa Arab, kitab al-barzanji dan al-dziba’i yang berisi sejarah perjalanan Nabi saw. dan masih banyak lagi kitab yang mereka baca berkenaan dengan sastra atau bernada sastra. Tetapi anehnya para santri hanya sekedar mengajinya dan menyampikannya secara lisan saja. Mereka kekurangan kreatifitas untuk membuat hal yang baru dengan bahasa mereka sendiri, dengan olahan kata mereka sendiri yang mengandung nilai sastra. Padahal bahan untuk itu sangat banyak.
 
Barangkali perlu diciptakan sebuah tradisi (ber)sastra untuk para santri. Beberapa pesantren di Indonesia sudah memulainya. Misalnya di Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta, Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan Madura dan lain-lain. Di pesantren-pesantren itu terdapat komunitas yang mempunyai minat dalam bidang sastra. Tetapi sayangnya masih sangat terbatas baik fasilitas yang dimilikinya maupun keahlian yang dipunyainya. Oleh karena itu dalam kondisi serba terbatas ini perlu adanya latihan-latihan yang berkesinambungan baik secara individual (munfaridan) maupun kelompok (jama’atan). Para santri harus mau menyadari segala kekurangan dan ketertinggalannya dengan mau belajar pada yang lain. Membaca karya orang lain adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditinggalkan.
 
Meringankan beban
 
Sebenarnya menjadi sastrawan adalah sebuah beban yang teramat berat. Di awal tadi dikutip sebuah terjemahan ayat al-Qur’an “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (QS. al-Syu’ara: 224).
 
Ayat ini adalah sebuah peringatan dini bagi para sastrawan (baca: penyair) agar tetap berjalan sesuai dengan pakemnya. Banyak sastrawan yang kerjaannya hanya mencari ilham, ide, dan wangsit saja untuk menemukan kata-kata yang bisa menyihir banyak orang. Mereka berjalan-jalan di lembah-lembah, bukit-bukit, jalanan, pasar-pasar, dan bahkan mereka ada yang merelakan diri menyiksa diri dengan bertapa di gua-gua, di tempat keramat, di tempat tersembunyi lainnya tanpa menghiraukan diri mereka sendiri apakah telah cukup beramal atau tidak. Bahkan mereka setelah itu mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan sendiri. “Tidakkah kamu melihat bahwasannya mereka mengembara di tiap-tiap lembah (yang sunyi). Dan bahwsannya mereka suka mengatakan apa saja yang mereka tidak mengerjakannya.” (Q.S. al-Syu’ara: 225-226). Apa yang dikatakan oleh para penyair kebanyakan adalah kata-kata yang tidak bermakna, mengandung nilai kebohongan, bahkan terkadang mengandung hujatan yang tak berdasar.
 
Beberapa ayat tersebut barangkali mengandung larangan bagi seseorang untuk menjadi penyair/sastrawan. Tetapi sesungguhnya masih ada ayat lanjutan yang memberikan angin segar bahwa tidak semua penyair/sastrawan mendapat celaan kategori kabura maktan ‘inda Allah antaqulu ma la taf’alun (dosa besar menurut Allah kamu mengatakan apa yang kamu tidak mengerjakannya) yaitu ayat yang berbunyi “kecuali orang-orang (para penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali” (ayat 227).
 
Di sinilah posisi sastra pesantren ditengah-tengah “sastra gelap” lainnya. Ia menjadi begitu penting. Sastra pesantren adalah “sastra terang” yang memberikan pencerahan bagi banyak orang yang membutuhkan secercah cahaya harapan masa depan. Ia diharapkan mampu memberikan penyadaran tidak saja bagi sang penyairnya sendiri, tetapi orang-orang dapat menikmatinya. Ia berusaha menelisik batin-batin para penyapanya sehingga mereka menjadi sadar bahwa mereka adalah manusia-manusia yang sedang mencari oase di tengah-tengah padang pasir tandus dan teramat panas. Sastra pesantren berusaha mengisi ruangan kosong dalam batin manusia-manusia yang sudah mulai kehilangan jati dirinya.
 
Jadi sebenarnya beban yang dimiliki oleh kalangan pesantren adalah beban yang masih bisa dipikul walaupun terasa amat berat karena sastrawan pesantren adalah seorang yang kesehariannya sibuk dengan pekerjaan hariannya. Ia tidak semata-mata seorang sastrawan belaka tetapi adalah para kyai, nyai, ustadz(ah), dan santri yang sehari-harinya akrab dengan ilmu agama. Bagi mereka hidup sesungguhnya adalah karya sastra, dan karya sastra memberikan hidup menjadi lebih bermakna. Kata seorang penyair “kehidupan adalah puisi yang panjang” yang menjuntai sejak manusia masih sebentuk tanah sampai nanti setelah terbaring di dalam tanah, bahkan sampai di keabadian kelak. Wallahu a’lam.
***

*) Alumni Pondok Pesantren Pembangunan “Miftahul Anwar” Cigaru II Majenang, Cilacap, Jawa Tengah. http://sastra-indonesia.com/2009/12/sastra-pesantren-menanggung-beban-berat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita