Senin, 19 Juli 2021

Puisi, Arti, Diseminasi

Asarpin
lampungpost.com
 
Bukan Nirwan Dewanto kalau tidak sungguh-sungguh menyelam kata dan bahasa Indonesia sampai di dasar yang tak terhingga. Setelah meluncurkan buku puisi cantik bertajuk Jantung Lebah Ratu dua tahun lalu, yang nyaris tak tersentuh oleh pembaca saking “melangit” bahasa yang digunakan dalam puisi-puisinya, kini ia hadir lagi dengan buku puisi yang lebih “gawat”.
 
Tak hanya dari segi judul, Buli-Buli Lima Kaki, tetapi dari warna sampul, gambar gajah dengan lima kaki (termasuk belalainya berfungsi sebagai kaki), untaian kata-kata yang tak mudah dimengerti pada bagian belakang sampul yang merupakan fragmen dari beberapa sajak di dalamnya, menunjukkan kesungguhan yang luar biasa. Semacam ada beban untuk tidak cuma menghadirkan puisi, tapi puisi kitab suci.
 
Mungkin bukan hanya saya yang akan menyebut puisi Nirwan sebagai prosa-liris yang mengandung aneka citra, rupa, dan suara: binatang, manusia, juga tumbuh-tumbuhan. Di dalam mengandung motif cerita, kidung, mitos, dan riwayat. Ada sejumlah alkisah singgah: tentang para raja, putra, dan permaisurinya yang bertakhta di pusat kerajaan Jawa, ada legenda purba zaman Babilonia.
 
Bahkan, dan ini yang unik: terdapat idiom-idiom, kalimat-kalimat, dan kata-kata yang dipakai, atau terpakai, yang sengaja digali dari zaman ketika kobra masih mesra berbicara dengan Nabi Sulaiman sampai dengan zaman ketika kuda menggigit besi.
 
Tak heran jika sejumlah puisi seperti ditulis pada zaman entah, atau ada yang sudah terbiasa terbaca atau terdengar. Memang tak ada maksud untuk latah, tapi sudah cukup untuk membuat pembaca payah, lelah, bahkan mengalami semacam skizofrenia dadakan. Ketika mencoba menyusuri motif-motif, momen-momen estetik di dalamnya, saya merasa bagaikan hidup di zaman Syekh Siti Jenar, di mana rahasia pengalaman pribadi hanya bisa dinyatakan lewat bahasa bisu kesyuhadaan. Pengalaman-pengalaman batinnya ditulis dengan pena paling pribadi, yang dianggap belum sudi dibagi.
 
Sebagai seorang yang juga kritikus sastra, Nirwan seperti ditantang untuk menghasilkan sajak dengan “nilai lebih” dan agaknya sengaja menutup diri dari kemungkinan-kemungkinan untuk mudah diberi arti demi merayakan kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga, yang menyegarkan, yang menghidupkan aku liriknya.
 
Memang, sebagai pembaca, saya merindukan bahasa puisi yang elok menawan hati, sedikit elite dan pelit, tidak terlampau mengumbar kata yang sudah kedaluwarsa, apalagi menghamburkan kenyataan sosial yang sudah sering dijamah media massa. Tapi tiap kali saya bersua dengan puisi Nirwan, saya betul-betul merasa seperti sedang berhadapan dengan ayat-ayat Tuhan yang menantang saya untuk berenang dalam kebebasan penuh.
 
Buli-Buli Lima Kaki (pernahkah Anda melihat buli-buli kaki yang sebenarnya?), adalah judul yang bunyi dan cocok untuk sejenis puisi misteri. Untuk tahu arti terpaksa saya harus minta bantuan Tesaurus Bahasa Indonesia Eko Endarmoko dan KBBI, agar saya sedikit terhindar dari sok tahu. Buli-buli, botol atau guci kecil dengan lima kaki, sepintas berbau surealis. Tapi kalau kita menyimak kenyataan sosial saat ini, di mana sapi sendiri ada yang lahir dengan lima kaki, kesan itu tak begitu menggoda.
 
Buku ini memuat lima puluh lima puisi yang disusun menjadi lima kaki, yang tentu saja punya motif dan maksud tersendiri. Ada motif mitos yang masih tersembunyi di balik tenunan kata dan bahasa yang memang senantiasa menantang pembaca untuk tak sekadar paham. Sebab paham saja bisa membuat kita karam seperti keluarga Loth yang dikutuk menjadi tiang batu garam.
 
Sikap yang arif barangkali mencoba mengenal arti dengan penuh kewaspadaan, sadar diri, juga empati. Sebab, seperti kita tahu sejak dini, arti yang terkandung dalam setiap sepatah kata atau kalimat memegang unsur yang penting bagi prasarana nalar, tapi konsep “arti” sendiri sampai kini masih misteri. Kata “berarti”, kata Claude Levi-Strauss yang pernah dirujuk Octavio Paz dalam buku tentang sang antropolog tersebut, hanya menunjukkan suatu jenis data; mereka dapat dialihkan ke dalam kata-kata pada tingkat-tingkat lain. Dengan begini, kita bisa menghasilkan hal yang kita harapkan dari sebuah kamus, yaitu arti dari kata tertentu dengan kata-kata lain yang bersifat isomorfis (yang bentuknya sama) dengan kata atau ungkapan yang ingin dimengerti, tapi pada tingkat yang agak beda.
 
Para filsuf mungkin akan bertanya: apakah arti. Sementara kaum linguis ingin tahu bagaimana arti ditentukan, apa hukum diksi yang mengatur perubahan arti, bagaimana arti suatu kata diberi, diungkapkan, dan seterusnya. Di sini kesulitan yang menghadang saat saya harus memaksakan diri memberi arti pada puisi-puisi Nirwan. Selain disebabkan gayanya, juga pilihan kata yang ketat, kosakata yang berat, bunyi yang tak bermusik, cetusan perasaan bawah sadar yang sulit ditembus, pengalaman estetik yang kaya, bacaan yang lintas disiplin, dan sebagainya.
 
Saya teringat pada peringatan seorang ahli neourosis, Donald B. Calne, dalam bukunya yang diterjemahkan dengan sangat bagus menjadi Batas Nalar: mencari “arti” sebagai “artinya arti” (the meaning of meaning) berada di luar kemampuan kita mengetahui. Sementara Levi-Strauss dalam Mitos, Dukun dan Sihir, bertanya: apa artinya berarti? Jawaban satu-satunya, katanya, berhentilah mencari artinya arti.
 
Kalau sudah begitu, persoalan arti harus secepatnya saya tinggalkan dan beralih ke persoalan lain, misalnya soal kutipan dalam puisi Nirwan yang sangat dominan. Dari 55 puisi, lebih dari 10% puisi di dalamnya hasil memiuh, mengambil-alih, memindahkan frase atau kata-kata milik sejumlah orang atau khazanah atau kalimat milik orang lain.
 
Selama ini terdapat dua model kutipan dalam buku-buku sastra. Model pertama mengutip tanpa menyebut sumber kutipan, seperti misalnya ketika Sutardji Calzoum Bachri mengatakan “pada mulanya adalah kata” atau ketika Umberto Eco memulai novel The Name of the Rose dengan mengatakan hal yang sama tanpa menyebutkan kutipan. Model kedua seperti novel Olenka Budi Darma yang mencantumkan sumber kutipan dan buku puisi Buli-Buli Lima Kaki yang melampirkan sumber bacaan atau rujukan.
 
Untuk gejala yang pertama, walaupun tidak menyebut kutipan, akan ada yang membelanya sebagai gejala intertektualitas. Sebab, kebiasaan semacam itu dianggap sudah lama dan lazim digunakan dalam seni dan sastra postmodern; mula-mula dipakai dalam seni tinggi, tapi kini sudah lumrah dipakai dalam budaya pop.
 
Dengan menerapkan strategi pastiche, dan sesekali mengelabui pembaca melalui permainan intertektualitas, Nirwan tampak telah melampaui bahasa sebagai sarana bagi pikiran yang ingin mengartikulasikan arti kepada pembaca.
 
Tapi apakah si penyair memang sedang memperkarakan pikiran yang sering diperlakukan lebih tinggi dari kata-kata oleh para filsuf dan ilmuwan? Bisa jadi! Sebab, penyair ini bukan sesekali menunjukkan penolakan terhadap supremasi pikiran sebagai fakultas tersendiri yang bebas dari bahasa. Dengan puisi ia sengaja menyuntikkan rangsangan yang unik bagi permainan teks-teks (atau boleh disebut sementara sebagai intertektualitas tadi). Permainan yang ditampilkannya mirip dengan konsep diseminasi, yakni sebagai strategi unik untuk mempertontonkan betapa terbatasnya upaya pembaca untuk menangkap sekeping makna kecuali jika ia benar-benar memanfaatkan teks sebagai arena permainan yang terus-menerus ditransformasi dengan mensubstitusi penanda-penanda lama dengan penanda-penanda baru.
***

*) Asarpin, Pembaca sastra. http://sastra-indonesia.com/2011/01/puisi-arti-diseminasi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita