Rabu, 16 Juni 2021

Simbolisme Cerita Pendek

Ignas Kleden *
 
PERTANYAAN yang menarik saya dan yang coba saya selidiki dalam seluruh epilog buku Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan adalah sebuah pertanyaan yang mengganggu saya sejak beberapa tahun terakhir, tetapi yang jawabannya belum pernah saya peroleh secara memuaskan.
 
Pertanyaannya adalah: apakah yang membuat sebuah teks kesusasteraan berbeda dari teks-teks lain, seperti teks jurnalistik atau sebuah laporan penelitian ilmu sosial? Apakah yang membedakan sebuah cerpen atau novel tentang para gelandangan (misalnya cerpen Tujuh Belas Tahun Lebih Empat Bulan, karangan Ratna Indraswari Ibrahim dalam kumpulan ini) dan sebuah laporan Kompas tentang gelandangan, dan apa pula yang membedakan sebuah teks iklan tentang perlengkapan meja-makan dan puisi Goenawan Mohamad tentang sebuah poci?
***
 
PERTANYAAN tersebut mungkin sekali tidak pernah menarik buat seorang sastrawan atau seniman umumnya, karena pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan kreatif tetapi pertanyaan teoretis. Yaitu dapatkah diperoleh satu atau beberapa kerangka teoretis yang dapat menjelaskan unsur khas yang menyebabkan teks kesusasteraan mempunyai semacam “nilai-tambah” dan membuatnya berbeda dari jenis-jenis tulisan lain? Penyelidikan tentang masalah terebut barangkali tidak akan banyak membantu atau mendorong sastrawan kita agar menulis lebih banyak dan lebih baik, tetapi dia amatt membantu pengertian dan apresiasi tentang suatu cipta sastra. Sudah jelas bahwa pertanyaan tersebut pada tempat pertama mengganggu saya sendiri sebagai seorang pembaca karya sastra, baik prosa maupun puisi. Sekalipun dalam praktek saya merasakan dengan jelas perbedaan antara sebuah teks sastra dan sebuah teks ilmu sosial misalnya, saya seringkali tidak dapat merumuskan perbedaan tersebut secara konseptual agar supaya dengan cara itu memperjelas masalah tersebut untuk pengertian saya sendiri.
***
 
PERMINTAAN Kompas kepada saya menulis epilog ini menjadi kesempatan bagi saya untuk menyelidiki masalah ter-sebut dengan sedikit lebih mendalam, dengan merujuk pada beberapa teori yang sebetulnya tidak khusus berhubungan dengan sastra dan seni, tetapi berhubungan dengan metode dan teori intrepretasi, yang dalam metodologi, dinamakan disiplin-disiplin hermeneutik.
 
Seperti sudah diketahui, hermeneutik, secara sederhana, adalah cabang ilmu dan filsafat yang menyelidiki syarat-syarat dan aturan-aturan metodis yang dibutuhkan, baik dalam usaha memahami (understanding/verstehen) makna sebuah teks maupun dalam menafsirkan isi sebuah teks (interpretation/auslegen), apabila makna tersebut tidak jelas. Hermeneutik pada dasarnya berhubungan dengan teks tertulis, yang harus ditangkap maknanya berdasarkan hubungan-hubungan kebahasaan yang ada dalam teks, atau hubungan antara teks dan situasi psikologis pengarangnya, maupun dalam hubungan dengan konteks di mana teks tersebut diciptakan. Dengan demikian teks bisa dilihat dalam berbagai hubungan berbeda, sekalipun berkaitan satu sama lain. Jadi sebuah teks bisa dilihat dalam hubungan dengan dirinya sendiri (aspek tekstual), bisa pula dilihat dalam hubungan dengan pengarang (aspek autorial) dan bisa dilihat pula dalam hubungan dengan konteks di mana teks tersebut diciptakan atau diproduksi (aspek kontekstual), atau dalam hubungan dengan pembaca teks (aspek resepsionis).
 
Dalam bahasa lisan hermeneutik dianggap tidak berperanan, karena hubungan langsung antara pembicara dan pendengar masih memungkinkan bahagian yang tidak jelas dari pembicaraan dpat langsung diperjelas oleh tanya-jawab antara pendengar dan pembicara. Jadi hermeneutik berurusan dengan pengertian akan makna sebuah teks tertulis, dan dalam hal terganggunya pengertian tersebut, mengajukan interpretasi sebagai jalan untuk memperbaiki dan memulihkan pengertian yang terhalang dalam menangkap makna teks tersebut.
 
Dalam sejarah perkembangannya, hermeneutik mengalami beberapa tahap perkembangan. Muncul mula-mula sebagai metode eksegetis untuk menafsirkan teks-teks kitab suci, dia kemudian berkembang menjadi metode filologi untuk menafsirkan teks-teks sastra klasik Yunani dan Latin, selanjutnya oleh Schleiermacher dibakukan menjadi suatu metode umum interpretasi yang tidak hanya terbatas pada kitab suci dan sastra klasik. Dilthey kemudian menerapkannya menjadi metode sejarah, dilanjutkan Gadamer yang menjadikannya metode filsafat dan pada saat ini Paul Ricoeur menjadikannya metode baik untuk filsafat dan teologi maupun untuk ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora.
 
TENTU saja pendekatan hermeneutik hanya salah satu dari jalan-jalan yang tersedia dalam Geisteswissenschaften atau ilmu-ilmu humaniora untuk mendekati persoalan makna sebuah teks tertulis. Ada pendekatan lain yang barangkali juga sama baiknya seperti semiotik, pragmatik, analytical philosophy dari Inggris atau filsafat bahasa ala Wittgenstein atau teori Chomsky tentang competence and performance dan lain-lain. Percobaan ini saya lakukan sebagai usaha melihat dan memahami sebuah teks sastra dengan bantuan teori yang saya kenal, karena saya ingin sedikit membuktikan bahwa dalam membaca sebuah teks sastra, bantuan teori seringkali sangat besar manfaatnya asal saja dua syarat terpenuhi.
 
Pertama, asas-asas teori itu diketahui dengan baik. Kedua, ada kemampuan pada pembaca menerapkan teori tersebut untuk masalah teoretis yang juga dirumuskan dengan jelas. Ini barngkali pendekatan seorang peneliti, yang tidak populer untuk pembaca sastra, tetapi yang saya anggap boleh dan pantas dikemukakan sebagai alternatif.
 
Seperti sudah saya kemukakan pada awal uraian ini, masalah teoretis yang menjadi perhatian saya kali ini adalah apakah yang membuat sebuah teks menjadi genre sastra atau suatu genius literarium?
***
 
UNTUK menjawab pertanyaan tersebut saya memakai teori filsuf post-strukturalis dari Perancis, Paul Ricoeur. Dia membedakan makna teks pada umumnya atas dua jenis. Yang pertama sense atau makna tekstual, dan yang kedua reference atau makna referensial. Makna tekstual adalah makna yang diproduksi oleh hubungan-hubungan dalam teks sendiri. Sedangkan makna referensial adalah makna yang diproduksi oleh hubungan antara teks dengan dunia-luar-teks.
 
Teks-teks ilmu sosial misalnya adalah teks yang diharap dan dituntut untuk menunjuk seteliti mungkin makna referensial, berupa dunia empiris yang diamati atau diselidiki. Makna tekstual sedapat-dapatnya ditekan sampai minimal. Sebaliknya pada puisi, makna referensial ditekan sampai minimal atau disuspendir supaya seluruh bobot diberikan pada makna tekstual. Ucapan Ricoeur yang sering dikutip mengatakan: a poem means all that it can mean (sebuah sajak mengandung makna sebanyak yang dapat dikandungnya). Di sini referensi ditekan sampai titik terendah, agar supaya dengan itu makna tekstual diberi kemungkinan sepenuh-penuhnya berkembang.
 
Novel atau cerpen, pada hemat saya, terletak kira-kira di antara dua kutub tersebut karena novel atau cerpen adalah gabungan dari makna tekstual dan makna referensial. Ricoeur menyebutnya sebagai event-meaning dialectics atau dialektika makna-peristiwa. Sebuah cerpen harus mengandung peristiwa, karena kalau tidak dia akan berubah menjadi esei atau puisi. Demikian pun cerpen yang sama harus mengandung makna (yang di sini berarti makna tekstual) karena tanpa itu dia akan menjadi laporan penelitian, atau laporan jurnalistik biasa. Tentu saja ada cerpen yang lebih menekankan makna referensial dan ada pula cerpen yang menekankan makna tekstual. Namun demikian cerpen dan novel menjadi menarik, karena sebuah peristiwa tidak diceritakan sebagai kejadian semata-mata tetapi juga sebagai tamsil atau ibarat yang melambangkan makna tertentu.
 
Sekalipun demikian hubungan antara makna dan peristiwa adalah hubungan yang bersifat simbolik. Peristiwa yang diceritkan tidak selalu mendukung makna tekstual yang hendak dicapai, tetapi dalam banyak kasus dapat saja menghalangi munculnya makna tekstual. Demikian pun makna tekstual yang terlalu dipaksakan dapat menghilangkan unsur peristiwa dalam cerpen, dan menjadikannya esei atau uraian biasa. Simbolisme yang saya sebutkan dalam judul tulisan tidak berarti lain dari ketegangan tetap antara makna dan peristiwa dalam suatu lingkaran hermeneutik.
 
Teori tentang makna dan peristiwa, atau tentang sense and reference inilah yang menjadi pegangan saya untuk membahas 18 cerpen pilihan Kompas tahun 1997 yang dimuat dalam Anjing-anjing Menyerbu Kuburan. Bagaimana hal tersebut sudah coba saya lakukan, dapat dibaca dalam epilog buku ini dan tidak akan saya ulang sekali lagi dalam kesempatan ini. Tetapi izinkanlah secara singkat saya memberikan beberapa ilustrasi lain untuk sedikit memperjelas apa yang saya maksudkan.
 
Novel Mochtar Lubis Harimau! Harimau! misalnya akan hanya merupakan cerita pengalaman atau petualangan biasa para pemburu binatang buas bila pengarang tidak mengisinya dengan makna tekstual. Cerita itu kemudian menjadi cipta sastra, karena orang-orang yang memburu harimau tiba-tiba disadarkan bahwa mereka terlebih dahulu harus membunuh harimau dalam diri mereka masing-masing.
 
Pada hemat saya makna tekstual novel itu mencapai puncaknya pada saat terjadi pertentangan dan timbul perkelahian antara pemburu tua yang dianggap sakti bernama Wak Katok dan seorang pemburu muda, murid silat Wak Katok, bernama Buyung. Keduanya berusaha memperebutkan senapan yang merupakan satu-satunya senjata api dalam kelompok mereka. Wak Katok, yang kemudian diketahui jahat dan penuh tipu muslihat dan pendusta pula, akhirnya kalah dalam perkelahian melawan Buyung dan temannya Sanip, dan diikat pada sebatang pohon. Hal itu dilakukan Buyung dan Sanip dengan maksud memancing harimau datang ke tempat itu dan kemudian dapat menembaknya dengan mudah. Dalam pada itu timbul juga godaan dalam diri Buyung untuk membiarkan saja Wak Katok diterkam dan dihabiskan saja oleh harimau, dan mereka dapat kembali ke kampung dan dapat bercerita dengan tenang kepada orang-orang sekampung bahwa Wak Katok hilang diterkam binatang buas. Tetapi Buyung ingat dia harus mengalahkan godaan itu, dan membunuh harimau dalam dirinya.
 
Akhirnya datang juga harimau (sungguhan) ke tempat itu, dan mulai mendekati Wak Katok yang terikat pada batang pohon. Buyung membidikkan senapannya ke arah harimau itu, tetapi ragu-rgu untuk menarik pelatuknya, karena terlintas juga dalam pikirannya untuk membiarkan saja Wak Katok dihabisi harimau itu. Pada akhirnya, dengan berat hati dia memutuskan menembak harimau itu. Ketika dia melepaskan tembakan dan harimau itu roboh, hatinya terasa lega dan tenang. Ternyata, tanpa disadarinya, hanya dengan satu butir peluru dia telah menaklukkan dua ekor harimau sekaligus, yaitu harimau hutan yang suka membunuh orang-orang kampung dan harimau dalam dirinya sendiri yang selalu meronta-ronta dalam hatinya untuk melakukan kejahatan.
 
Hal yang sama dapat kita rasakan bila membaca sebuah sajak. Seorang peneliti yang meninjau tempat pembuatan poci mungkin akan tertarik hatinya untuk melihat bagaimana para pengrajin mendapat modal untuk usahanya, bagaimana mereka membuat pembagian kerja dan pembagian keuntungan, atau usaha yang mereka lakukan untuk mengembangkan pemasaran. Demikian pula akan diselidiki teknologi usaha mereka: bahan-bahan baku yang digunakan dan dari mana diperoleh, proses yang dilewati dalam menghasilkan poci, dan segi-segi estetik yang dikembangkan dalam usaha tersebut.
 
Akan tetapi seorang penyair melihat poci sebagai usaha manusia yang sekali pun tahu bahan pembuat poci itu adalah bahan yang mudah retak dan pecah, tetap berusaha menciptakan poci itu sebagai sesuatu yang diharapkan dapat bertahan lama dan bahkan abadi. Poci adalah tamsil untuk hasrat Sisyphian manusia yang bekerja untuk sebuah ilusi, yang hendak mengabadikan apa yang diketahuinya kelak retak.
 
Apa yang berharga pada tanah liat ini
Selain separuh ilusi?
Sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi
 
(Goenawan Mohamad, Kwatrin Tentang Sebuah Poci).
 
Makna tekstual yang sama muncul kembali dalam sajak yang lain dari penyair yang sama, berjudul: Pada Sebuah Pantai: Interlude. Dalam sajak ini dikemukakan kembali situasi yang begitu rapuh dan juga ilusoris dari kehidupan manusia yang hanya bersandar pada angin, bersandar pada “mungkin”, karena kepastian dan kejelasan terlihat sebagai hal yang mustahil dan karena itu juga tak perlu diharapkan.
 

kita memang bersandar pada mungkin
kita bersandar pada angin
Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
Tidak semua memang bisa ditanya untuk-apa
Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga
pada sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang,
lumut pada lokan, mungkin akan tetap juga di sana –
apa pun maknanya.
 
Sastra, bagi saya adalah “kersik pada karang, lumut pada lokan, (yang) mungkin akan tetap di sana – apa pun maknanya”.
***

*) Ignas Kleden, Sosiolog. Dilahirkan di Larantuka, Flores, Nusa Tenggara Timur, 19 Mei 1948. Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Ilmu Filsafat dan Teologi, Seminari Tinggi Katolik St. Paulus, Ledalero, Maumere, Flores (1966 1974). Gelar Filsafat Politik (MA Phil) diraihnya pada Hochschule Fuer Philosophie, Munich, Jerman (1979–1982). http://sastra-indonesia.com/2018/01/simbolisme-cerita-pendek/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita