Senin, 07 Juni 2021

Nobel Sastra dan Anak Terbuang

Djoko Subinarto *
Solopos.com, 7 Nov 2020
 
The decline of literature indicates the decline of a nation (Goethe). Sastra memiliki peran penting dalam pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Tinggi atau rendahnya peradaban suatu bangsa ikut ditentukan antara lain lewat kualitas produk-produk sastra.
 
Setiap tahun penghargaan Nobel dianugerahkan kepada mereka yang dianggap memiliki kontribusi luar biasa bagi masyarakat dan kemanusiaan untuk bidang-bidang ekonomi, fisika, kedokteran, fisika, perdamaian serta--tidak ketinggalan--sastra.
 
Tahun ini Nobel Sastra (Nobelpriset i Litteratur) diberikan kepada penyair Amerika Serikat (AS), Louise Elisabeth Glück, 77. Glück menjadi perempuan ke-16 yang menerima Nobel sejak penghargaan bergengsi ini diberikan kali pertama pada 1901.
 
Debut Glück di jagat sastra dimulai pada 1968 lewat buku kumpulan puisi bertajuk Firstborn. Sejak itu dia dianggap sebagai salah seorang penyair penting dalam sejarah sastra kontemporer AS.
 
Menurut Akademi Swedia (Svenska Akademien), yang memutuskan siapa saja yang berhak menerima penghargaan Nobel dalam bidang sastra, puisi-puisi Glück memancarkan keindahan dan kesederhanaan serta menunjukkan keberadaan manusia sebagai sesuatu yang universal.
 
Sejarah pemberian penghargaan Nobel berawal dari selembar surat wasiat yang ditulis Alfred Nobel. Nobel adalah seorang industrialis Swedia dan juga seorang penemu dinamit. Ia membuat surat wasiat itu di Swedish-Norwegian Club di Paris, Prancis, pada 27 November 1895.
 
Latar belakang pembuatan surat wasiat tersebut adalah Nobel kecewa berat menyaksikan hasil penemuannya justru kerap dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang merusak. Ia menginginkan ada penghargaan yang rutin diberikan setiap tahun untuk mereka yang memiliki jasa-jasa besar bagi kemanusiaan.
 
Sampai tahun 1967 penghargaan Nobel hanya diberikan untuk lima bidang. Lima bidang itu adalah fisika (diputuskan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia), kimia (diputuskan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia), kedokteran (diputuskan oleh Institut Karolinska), sastra (diputuskan oleh Akademi Swedia), serta bidang perdamaian (diputuskan oleh sebuah komite khusus yang ditunjuk oleh Norwegian Storting).
 
Baru pada tahun 1968 penghargaan untuk bidang ekonomi juga diberikan. Inisiator pemberian Nobel bagi bidang ekonomi adalah Bank Swedia (Sveriges Riksbank). Lembaga yang bertanggung jawab memutuskan kepada siapa penghargaan Nobel bidang ekonomi layak diberikan adalah Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia.
 
Secara tradisi pemenang Nobel diumumkan setiap Oktober dan November. Adapun proses seleksi dimulai pada awal musim gugur tahun sebelumnya tatkala lembaga pemberi hadiah mengundang lebih dari 6.000 individu untuk mengusulkan atau menominasikan siapa saja calon penerima Nobel.
 
Rata-rata jumlah mereka yang dinominasikan untuk meraih Nobel antara 100 orang hingga 250 orang setiap tahun. Yang menominasikan antara lain adalah mereka yang pernah meraih Nobel, anggota lembaga pemberi hadiah itu sendiri; sarjana aktif di bidang fisika, kimia, ekonomi, kedokteran serta sastra; pejabat dan anggota dari berbagai universitas dan akademi.
 
Yang menominasikan harus memberikan proposal tertulis yang memerinci kelayakan kandidat yang mereka ajukan. Pengajuan proposal untuk pemberian Nobel harus diserahkan kepada panitia Nobel sebelum tanggal 31 Januari pada tahun penghargaan diberikan.
 
Sama Penting
 
Dimasukkannya bidang sastra dalam penganugerahan Nobel tentu saja menggarisbawahi bahwa sastra sama pentingnya dengan bidang-bidang kehidupan lainnya. Pendidikan dan pembangunan sastra memang sudah semestinya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan dan pembangunan sebuah bangsa.
 
Pertanyaannya bagi kita di sini adalah masihkah bangsa dan negeri ini memberi perhatian secara sunguh-sungguh terhadap sastra dan juga para sastrawan? Sebagian besar dari kita mungkin akan menjawab dengan tegas: tidak.
 
Di negeri ini sastra sudah lama ditempatkan sebagai ”anak terbuang” sehingga jauh dari perhatian para penentu dan para pembuat kebijakan. Kita tentu saja boleh sangat iri dengan kondisi di negara-negara lain, bidang sastra sangat diperhatikan oleh pemerintahnya.
 
Sastra dikenalkan dan diajarkan kepada anak-anak sekolah sejak dini secara sungguh-sungguh. Pusat-pusat dokumentasi dan kegiatan sastra didirikan dengan sokongan dana pemerintah yang memadai. Para sastrawan mendapat tempat yang sama terhormatnya dengan profesi-profesi lainnya.
 
Mengingat sangat pentingnya sastra bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, di beberapa gedung parlemen sejumlah negara bahkan didirikan pula pusat-pusat dokumentasi sastra. Hal yang berbeda terjadi di sini. Sastra tampaknya bukanlah bidang yang dianggap terlalu penting oleh bangsa kita.
 
Lihat saja bagaimana sastra diajarkan secara sambil lalu di sekolah-sekolah kita. Akibatnya sastra cenderung dianggap sebagai sesuatu yang kurang berguna oleh sebagian besar anak-anak kita, generasi penerus bangsa ini.
 
Lewat sastra inilah sebenarnya individu dididik untuk menjadi manusia seutuhnya, yang memiliki hati, perasaan, dan pikiran. Dalam hal ini sastra menjadi wahana untuk mengolah dan memperhalus hati, perasaan, serta pikiran sehingga, meminjam istilah Putu Wijaya, mampu mempertebal rasa kemanusiaan kita.
 
Dalam konteks pembangunan dan kemajuan, entah kenapa para pengelola negeri ini melihat pembangunan dan kemajuan bangsa selalu sebatas hal-hal fisik dan material belaka. Bisa jadi bagi sebagian besar pengelola negeri ini sastra sama sekali tidak ada kaitannya dengan pembangunan dan kemajuan bangsa.
 
Boleh jadi pula dalam kacamata mereka sastra itu hanya untuk mereka para pengkhayal. Ilmuwan masyhur Albert Einstein pernah dengan tegas menyatakan daya khayal itu jauh lebih penting ketimbang ilmu pengetahuan.
 
Sastra yang semakin dipinggirkan dari kehidupan bangsa ini dan pada gilirannya membawa dampak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Lihatlah sebagian besar elemen bangsa ini telah kehilangan rasa kemanusiaan.
 
Sekarang ini keserakahan, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, intoleransi, serta berbagai tragedi kemanusiaan lainnya kerap terjadi di negeri ini. Kita harus mengakui banyak orang pintar di negeri ini, namun realitasnya kepintaran mereka itu kerap malah menjadi faktor yang ikut merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
 
Kenapa ini bisa terjadi? Salah satu akar penyebabnya adalah pendidikan di negeri ini sejauh ini hanya diarahkan untuk melahirkan orang-orang pintar, cerdas, serta kompetitif namun justru kehilangan rasa kemanusiaan sehingga akhirnya malah membahayakan kemanusiaan itu sendiri.
 
Sayangnya, sastra yang--sebagaimana disebutkan di muka--sesungguhnya bisa menjadi sarana untuk mempertebal rasa kemanusiaan justru cenderung dinilai kurang berguna bagi pembangunan bangsa dan negara ini.
***

*) Djoko Subinarto, kolumnis dan bloger. http://sastra-indonesia.com/2021/06/nobel-sastra-dan-anak-terbuang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita