Sabtu, 29 Mei 2021

Papua dan Resistensi Sastra Pinggiran

Judul: Tanah Tabu
Penulis: Anindita S Thayf
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 2009 Tebal: 240 Halaman
Peresensi: Bandung Mawardi *
suaramerdeka.com
 
NOVEL Tanah Tabu menyapa pembaca dengan naras-narasi kritis tentang perempuan, kapitalisme, patriarki, dan kekuasaan. Novel jadi juru bicara untuk membuka memori kolektif dan memaparkan pelbagai kebobrokan dan marginalisasi terhadap Papua. Biografi Indonesia masih sekadar menjadikan Papua sebagai catatan kaki. Kondisi membuat orang-orang Papua mengalami pengabaian secara sistematis dan ideologis. Papua justru jadi argumentasi politik dan ekonomi untuk menumbuhkan klaim tentang harga diri Indonesia di hadapan negara-negara lain.
 
Pengarang sengaja menghadirkan tokoh-tokoh kunci (Mabel, Mace, Leksi) untuk memerkarakan Papua dalam perspektif perlawanan dan kepasrahan dengan keterpaksaan. Mereka hadir dalam konstruksi peradaban tanpa akses dan hak karena negara dan pemilik modal telah melakukan dominasi. Papua jadi tubuh luka oleh perkosaan (eksploitasi) ekonomi, politik, identitas, dan kultural. Novel ini hadir untuk memberi narasi kritis dalam memerkarakan Papua.
 
Novel ini memenangi Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2008. Dewan juri (Kris Budiman, Linda Christanty, dan Seno Gumira Ajidarma) memilih novel ini dengan sekian argumentasi untuk mengesahkannya sebagai representasi nasib masa depan novel Indonesia. Tanah Tabu cenderung jadi novel dengan suara-suara kritis memakai acuan lokalitas dalam wacana pinggiran kesusastraan Indonesia modern.
 
Pemakaian latar Papua menunjukkan kesanggupan pengarang untuk diposisikan sebagai pengarang pinggiran. Pilihan latar dan tumpukan masalah tentang Papua selama ini kerap digarap oleh kalangan aktivis politik atau LSM. Kesusastraan Indonesia justru lengah untuk memberi perhatian dan ruang mengenai lakon-lakon kultural dari ranah pinggiran. Pengarang sadar bahwa pilihan menulis novel Tanah Tabu menjadi resistensi terhadap dominasi novel Indonesia dengan latar kultural Jawa dan Sumatra.
 
Anindita dalam obrolan sastra di Taman Budaya Jawa Tengah (18 Juli 2009) dengan tema Masa Depan Novel Indonesia mengakui: “Saya menyebut Tanah Tabu sebagai sastra pinggiran. Tanah Tabu berkisah tentang manusia-manusia pinggiran dan sengaja dipinggirkan. Kisah tentang prang-orang biasa yang berusaha mengalirkan hidupnya secara wajar. Mereka bekerja, menangis, berkeringat, tertawa, putus asa, dan berusaha apa adanya.”
 
Pengakuan ini jadi ideologi estetika dan dieksplisitkan melalui karakterisasi tokoh-tokoh perempuan sebagai korban tapi penantang.
 
Lakon Perempuan
 
Tanah Tabu mengisahkan lakon hidup tiga perempuan dalam fase (generasi) berbeda. Mabel jadi tukang kisah tentang proses peradaban di Papua melalui ketengangan kultural dari sisa-sisa kolonial, lokalitas, dan penetrasi kultur pendatang dari Jawa atau daerah-daerah lain. Mabel melakukan afirmasi terhadap model pendidikan dari keluarga asing secara konstruktif. Pengetahuan dan praktik hidup dalam proses peradaban atas nama modernitas itu justru menjadi acuan kritis untuk menolak pelbagai norma-norma hidup di Papua dalam cengkraman patriarki.
 
Mabel terus melakukan resistensi dari model-model dominasi atas perempuan melalui mesin parta politik, ekonomi kapitalistik, militerisme, dan hegemoni kultural. Perlawanan Mabel kerap menemui “kekalahan” tapi memberi spirit bahwa kebermaknaan hidup perempuan tidak ditentukan secara absolut oleh desain kaum lelaki. Spirit emansipatif itu diwariskan pada Mace dan Leksi dengan perbedaan kadar dan bentuk ekspresi. Mace justru mengalami pelemahan karena mengalami represi dari perkosaan sampai jadi korban tindak kekerasan tanpa janji keselamatan. Leksi menjadi pewaris naif tapi sanggup merumuskan diri sebagai perempuan penantang meski masih bocah.
 
Mabel, Mace, dan Leksi terus menghadapi godaan dari pola kehidupan patriarki, kegenitan politik, intervensi eksploitatif dari negara, dan ekspansi ekonomi pertambangan asing. Papua dan tiga perempuan itu seperti menjadi tubuh terbuka untuk mengeruk uang dan kuasa. Perlawanan dan kepasrahan adalah risiko untuk tetap memiliki haraga diri sebagai perempuan. Rentetan tragedi terjadi tapi tiga perempuan Papua itu belum ingin mati atau berhenti tanpa arti. Resistensi ekonomi, politik, dan kultural membuat mereka jadi santapan dari kekerasan, militerisme, hinaan, diskriminasi, dan marginalisasi.
 
Resistensi
 
Ekspresi resistensi terasakan dalam ambisi untuk melakukan demonstrasi karena orang-orang Papua selalu jadi pihak merugi tanpa kompensasi seimbang. Mabel terlibat aktif dalam proses penyadaran terhadap orang-orang Papua. Pelbagai pertimbangan mengenai target dan risiko diajukan untuk realisasi demonstrasi. Seorang tokoh mengekspresikan resistensi dengan tendensi membongkar stereotipe terhadap kaum pribumi Papua di mata para pendatang: “Mereka seharusnya takut sama kita karena mereka hanya pendatang. Orang asing. Mereka mencari uang dan hidup di tanah kita. Jadi kaya dan hidup senang karena mengambil emas kita. Sedangkan kita … tidak dapat apa-apa kecuali kotoran mereka dan janji-janji palsu. Cuihh!”. Ekspresi ini menjadi bentuk kemarahan atas praktik kapitalisme di Papua tanpa ada janji dan jalan penyelamatan.
 
Resistensi patriarki menjadi tema penting dalam novel Tanah Tabu dalam bayang-bayang kuasa kapitalisme dan negara. Mabel tidak takut melawan meski taruhan nyawa. Ekspresi resistensi jadi penting untuk membuktikan bahwa orang-orang Papua tidak lemah dan merubah stereotipe orang-orang Papua tak beradab, bengis, atau liar. Mabel adalah juru bicara penyadaran karena memiliki perangkat pengetahuan kritis tanpa harus melakukan gerakan-gerakan kultural secara gegabah dan konyol.
 
Lakon perempuan dan resistensi terhadap pelbagai mesin dominasi atau hegemoni dirumuskan oleh pengarang dalam ungkapan reflektif: “Di ujung sasr ada perlawanan. Di batas nafsu ada kehancuran. Dan air mata hanyalah untuk yang lemah.” Pengarang telah memberikan novel Tanah Tabu ini untuk pembaca dengan pesan penyadaran dan tanggapan kritis. Pembaca memiliki hak untuk membaca dan menilai dalam pelbagai tendensi dan pamrih untuk memerkarakan Papua.
***

*) Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai. http://sastra-indonesia.com/2009/09/papua-dan-resistensi-sastra-pinggiran/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita