Rabu, 05 Mei 2021

JALAN SURIAH

Bernando J. Sujibto *
Media Indonesia, 20 Des 2015
 
“SEMALAM, pukul 01.21, jalan di depan apartemen ini kembali menelan korban. Dua pemuda tewas ditusuk pisau kasap. Uff….”
 
Suara Kemal Argon berat. Tatapannya gamang. Dia tak bisa lagi memendam khawatir karena kejadian itu. Tragedi ketiga yang menelan korban nyawa di sepanjang Jalan Basaran. Gusty Ghaffar menatapnya penuh getir. Ia memahami betul apa yang akhir-akhir ini selalu dipikirkan Kemal, orangtua angkatnya, yang sudah empat tahun tinggal bersamanya. Semakin hari Gusty merasakan perubahan drastis di sekitar mahalle tempat mereka tinggal. Cekcok, penjarahan, dan pembunuhan tumpah begitu saja.
 
“Apa kamu tidak dengar pecahan kaca dan teriakan, oglum?”
 
“Dengar, amca,” jawab Gusty singkat.
 
“Tembakan polisi berkali-kali. Setelah itu, aku tidak bisa tidur.”
 
Gusty meringis melihat roman muka Kemal yang kian kumal.
 
“Udara sepertinya segar sekali pagi ini,” ujar Kemal kemudian.
 
Kali ini Gusty menangkap sebuah kode. Ia langsung mengangkat nampan berisi caydanlik menuju balkon. Di balkon Kemal biasa membaca koran, memandang burung-burung kenari bergelantungan di ranting kayisi, menyaksikan segelintir orang yang bersiap membuka toko sepanjang Jalan Basaran, dan bercerita kisah-kisah heroik tentang Perang Dunia I.
 
Tadi malam Gusty sebenarnya melihat kerumunan dan mendengar jerit histeris. Tapi ia sengaja tak berisik, tak ingin Orhan, cucu Kemal yang masih remaja, menyaksikan kekerasan verbal seperti itu terjadi di depan matanya.
 
Tak selang berapa lama Orhan keluar kamar, bersiap ke sekolah dan berpamitan bahwa dia ingin langsung ke rumah ibunya dari sekolah. Gusty melihat tas gendongnya penuh, tak seperti biasa. Orhan tampak terburu-buru.
 
Mereka lalu kembali menatap warung kasap yang luluh lantak. Pecahan kaca dan percikan darah belum dibersihkan pagi itu. Sampah plastik dan Koran berserakan di sana-sini.
 
“Bagaimana kalau kamu turun, bawa air dan bersihkan darah itu?”
 
“Sebentar lagi petugas kebersihan pasti datang.”
 
Napas Kemal ditarik dalam. Desirannya bergetar di pangkal lehernya. Tangan Kemal kembali meragah gelas teh, lalu ditenggaknya seketika. Teh panas yang menyemburkan asap pada ujung gelas kecil itu ialah cara terbaik untuk menikmati kedahsyatan teh Turki.
 
Saat Gusty sedang mandi, Kemal turun dan membawa ember berisi air. “Aku mendengar cerita tentang kematian dan darah cukup dari Ayah saja. Setelah ini aku tidak ingin menyaksikan darah lagi.” Suara samar-samar Kemal menyesap bersama air yang dituang menghapus percikan darah di lantai warung kasap.
 
Apartemen tua tiga lantai itu dihuni tiga orang: Kemal, Gusty, dan Orhan. Apartemen warisan dari sang ayah, seorang pahlawan perang kemerdekaan ketika menghadang pasukan sekutu Prancis yang hendak menyerang Konstantinopel di selat Canakkale. Kemal tak mau pindah dan meninggalkan rumah itu selain maut yang memisahkannya. Sebab, ayahnya juga meninggal di situ.
 
Kemal merasa beruntung hidup bersama Gusty. Anak-anak Kemal juga percaya penuh dan menganggapnya sebagai anggota keluarganya sendiri. Dua anak laki-lakinya menjadi angkatan bersenjata yang langsung direkrut setelah tugas wajib militer di Kars. Yang perempuan, Merve Argon, dosen di Universitas Selcuk yang sekaligus dosen Gusty. Hanya Merve dan tiga anaknya yang paling sering berkunjung ke apartemen itu. Bahkan Orhan bersedia tinggal di sana karena permintaan Merve, meski kadang dia balik ke rumahnya yang hanya berjarak 5 km.
 
Jalan di depan apartemen itu hari-hari terakhir mulai dikenal dengan nama Jalan Suriah. Sejak banyak pengungsi Suriah datang ke Turki dan memilih Konya sebagai tempat mengadu nasib, mereka menyewa rumah di sekitar Huzur Mahallesi. Pelan tapi pasti, Jalan Basaran telah menjelma Jalan (Orang-Orang) Suriah. Dia hanya hidup dari sore hingga malam.
 
Sementara itu, mereka yang nongkrong di Cayevi siang hari dari pukul 12.00-15.00 adalah penduduk setempat; para pensiunan atau lansia yang anak-anaknya sukses di perantauan; sekadar sohbet, berdebat tentang politik, menunggu nasib di tabung piyango, menggunjingkan Ayse, pelacur berusia kepala empat, tapi masih laris manis, atau melepas penat dan mereguk udara di sepanjang jalan kenangan itu.
 
Suatu siang Kemal menyusuri Jalan Suriah. Di Mevlana Cayevi, rumah teh favorit di Jalan Basaran, Kemal mendengar suara Murat dan Serdar meninggi. Sambil terus melangkah, Kemal mencermati obrolan mereka.
 
“Bagaimana kalau kita habisi mereka satu per satu?”
 
“Jangan balas dendam.”
 
“Bukan balas dendam. Agar sadar di mana mereka berpijak.”
 
“Hukum negara pasti ditegakkan.”
 
“Bicara dengan kamu tak panas-panas juga, Serdar.”
 
Muka Murat mendadak merah.
 
“Saya juga dengar kalau mereka sudah pakai Ayse. Bahkan yang muda-muda juga buka-bukaan main dengan oruspu di sini. Kita habis. Amina koydum!”
 
Petang harinya setelah salat magrib, Kemal kembali menyusuri Jalan Suriah yang ramai oleh para penjual roti, lapak sayuran, warung makan, dan kafe nargile. Matanya gamang di tengah keramaian itu. Di telinganya suara-suara asing yang tak pernah didengarnya bertubrukan menghimpit kenangan masa kecilnya yang senyap. Kemal tak paham bahasa mereka. Teriakan anak-anak muda, aroma rokok, nargile dan meyan koku berhamburan di mana-mana. Di malam hari Jalan Suriah telah menghapus identitas Jalan Basaran yang semayam dalam kenangannya. Kemal seperti mengunjungi dunia yang sangat berbeda. Aroma tanah, baju-baju murah yang digelar di atas batu-batu kapur dengan paving tak rapi, sapaan akrab para tetangga, tawaran undian piyango, bel tukang sepeda, suara tukang sol sepatu, dan pekikan panjang penjual Boza yang pasti dijumpai setiap melewati jalan itu selama lebih 70 tahun, kini sudah lenyap.
 
Malam itu, di jalan kenangan masa kecilnya, Kemal menyaksikan sebuah pengalaman aneh. Mereka yang lalu lalang di depan matanya seperti segerombolan hantu yang terus menghapus kenangan masa lalunya. Menyaksikan keramaian-keramaian yang aneh itu, Kemal mendadak pusing. Dia tertunduk sejenak, mengambil tempat duduk di samping jalan yang biasanya ditempati Galip untuk buka lapak sol sepatu. Mata mereka menatap Kemal dengan aneh. Kemal membalas pandangan mereka dengan senyum seadanya.
 
“Teh?” tanya Kemal.
 
Dari dalam kafe serentak menjawab: “Tak ada teh. Nargile, atau meyan koku ada.”
 
Kemal masih duduk, menenangkan pikirannya. Sebagian dari mereka menunjukkan arah: “di sana sepertinya ada teh.” Kemal diam dan membalasnya dengan anggukan. Kemal hafal betul Mevlana Cayevi yang mereka tunjuk sudah tutup sebelum pukul 17.00.
 
“Ada yang bisa bicara Turki?” tanya Kemal kemudian.
 
“Cuma sedikit,” jawab salah satu dari mereka.
 
Anak-anak muda itu kembali mengobrol dengan bahasa Arab pasaran. Kemal dibiarkan diam dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tak selang beberapa lama, Kemal berdiri dan beranjak pulang. Di rumah tak ada siapa-siapa, tapi di ruang salon teh hangat sudah siap. Sezen, seorang janda yang dibayar khusus untuk bikin teh, bersih-bersih dan membereskan cucian, baru saja sudah menyiapkan teh untuk Kemal. Dengan teh panas, Kemal kembali memandangi jalanan itu. Dari jendela apartemen keramaian Jalan Suriah mengingatkan Kemal pada malam kudeta militer 12 September 1980. Malam mengerikan, ribuan rakyat Turki dihukum gantung, termasuk pamannya sendiri!
 
Dalam bulan-bulan terakhir, hari-hari buram penuh amarah membekap Kemal. Ada kabar beredar bahwa penduduk lokal akan balas dendam. Suasana malam di Jalan Suriah makin mengkhawatirkan. Hubungan penduduk lokal dengan pendatang Suriah sudah hancur. Mereka menyimpan rasa awas dan amarah masing-masing.
 
Dalam situasi seperti itu, wajah Kemal semakin muram. Dia mulai banyak bungkam, hanya mampu menatap jalan itu dari jendela. Orhan belum kembali juga. Gusty tak berani bertanya banyak hal kepadanya. Kemarin Merve cerita ke Gusty kalau Orhan ketakutan tinggal di apartemen bersama kakeknya. Merve minggu ini berencana akan membujuk Kemal agar tinggal bersamanya di Meram. Gusty sangat setuju usulan Ibu Merve. Ia tak ingin melihat Kemal terus susut dalam kesedihan dan amarah.
 
Pada tengah malam dua hari setelahnya, keributan besar kembali terjadi. Tembakan peringatan polisi tak diindahkan lagi. Satu kelompok pemuda Turki tiba-tiba datang dan menyerang orang-orang Suriah dengan membabi buta. Kemal tak tahan menatap keributan itu. Dia turun dengan membawa tas kulit yang diambil dari laci lemari besi. Sebelum membuka pintu luar, Kemal bergumam dalam hatinya, “Ayah, ini warisan dan wasiat terakhir yang harus kutunjukkan demi merawat kemerdekaan negeri yang kau perjuangkan dengan darah.” Satu langkah tepat di depan pintu Kemal langsung memberondongkan sisa peluru AK-47 ke gerombolan orang-orang Suriah. Dia tak pernah tahu ada berapa biji pelor di situ. Yang terlihat di mata Kemal adalah muncratan darah di warung kasap yang beberapa bulan sebelumnya dia lihat untuk terakhir kalinya.
 
Peluru habis, sebuah hantaman tajam menghujam perutnya. Kemal terkapar!
***
 
Konya, musim gugur, 2015
 
Istilah-istilah bahasa Turki:
Amca : paman
Cayevi : warung teh
Caydanlik : poci
Oglum : anakku
Mahalle : semacam perkampungan kecil
Kasap : warung jagal
Piyango : judi resmi di Turki
Doner : makanan khas Turki
Sohbet : mengobrol
Amina koydum : fuck you
Orospu : pelacur
Kayisi : buah aberikos
Meyan koku : minuman dari ranting pohon meyan yang banyak tumbuh di tanah Syam. Semacam kayu manis.
_____

*) Bernando J. Sujibto lahir di Sumenep, 24 Februari 1986. Menulis puisi, esai, cerpen, artikel dan resensi di berbagai media massa lokal dan nasional. Karya-karyanya dapat ditemukan dalam beberapa antologi bersama. Aktif di sejumlah komunitas seperti Komunitas Kutub dan Teater ESKA UIN Yogyakarta. Setelah menyelesaikan studi sarjananya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia melanjutkan pendidikan pascasarjana di Universitas Selcuk, Turki. Saat ini ia tercatat sebagai dosen di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Buku-bukunya yang telah terbit antara lain: Aku Mendengarmu, Istanbul (Diva Press, 2018), Harun Yahya Undercover (Ircisod, 2018), Turki Yang Tak Kalian Kenal! (Ircisos, 2017), Seribu Warna Turkiye (Ircisod, 2018), dan Rumbalara Perjalanan: Kumpulan Puisi (Diva Press, 2017). http://sastra-indonesia.com/2021/05/jalan-suriah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita