Selasa, 04 Mei 2021

BALADA DI BUKIT PASIR PRAHARA

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/2009/09/ballad-on-the-sand%e2%80%99s-hill-of-hurricane/

(I) Yang menapaki bencah pasir pesisir,
mendaki bukit-bukit rindu,
dan angin selalu menyapu kakiku;
seperti seorang putri mengusap keningku,
kala keringat mulai bercukulan
lantas cepat menguap bersamanya.
 
(II) Ia bagaikan pengembara
berteduh di bawah trembesi tua,
cahaya surya beranjak sore,
melagukan kidung jingga kemesraan;
dan di manakah asal,
tempat tinggal dunia semestinya?
 
(III) Aku hawa kering, menuliskan lirik laut selatan,
menggerakkan kertas surat-surat ini
yang miliki ruh sebentuk makhluk,
lalu mereka terbuai angin pantai.
 
(IV) Kala mega kelam merunduk panjang,
ditarik serombongan topan,
derap kereta kencana menghampiri singgasana;
petilasan aku melamun sebuah dunia!
 
(V) Pagi pun sayup, ada yang berbisik di belakang,
sekerumun gadis membicarakan aku, kala di bukit pasirmu.
 
(VI) Ribuan pasang mata mengintai nasib dan nyawaku,
kegelisahanku bercampur senang,
karena alunan seruling langit setia memberi kabar,
laksana berita yang tak akan usai.
 
(VII) Di segugus bukit pasir, kudengar gemuruh ombak
terus menggelepar, menggelegar di balik hatimu;
suara genta semakin lama bertambah kencang,
denting klenengan meninggi, membukit gemitar;
aku diburu bayangan kematian.
 
(VIII) Pengembara tua bergegas melangkah,
menyisir rumput selamatkan satwa;
aku melintasi bayang mentari,
disapu lembut angin lembah senantiasa.
 
(IX) Kepala di bawa hati, nikmati hidupku,
terkoyak momok rindu waktumu;
walau pandanganmu jauh menerawang,
tetapi sayapku yang tunggal, tak pernah engkau perhatikan.
 
(X) Daun-daun akasia dihempas angin sekutu,
muntahan gelombang kikis ketegaran,
dan tak terasa; pasir yang biasa engkau tiup
semakin mengubur renunganku.
 
(XI) Begini saja, ucapkan salam buat kukenang; lalu
lihatlah burung-burung kecil melintas sekali terhempas di udara,
suaranya yang riuh lenyap, bersama mantra puja pernah lewat.
 
(XII) Di depanku, seekor kuda jantan mangais nasibnya,
kesepian, karena kaki-kakinya tak serupa tenaga muda;
akankah ia sanggup menjilat langit
sekobaran tungku kawah candradimuka.
 
(XIII) Pelanlah kasih, jangan dikejar ketakutanmu ngilu sepi,
sebab di ketiak sayap-sayap itu terselip sepasang pisau berkilatan,
menarik nyawa yang terlena.
 
(XIV) Boleh engkau melakukannya,
sebab dalam dadamu nasib cepat berubah,
namun berbuatlah bijak, serupa kasih angin geladak,
yang selalu mengipasi perjalananmu.
 
(XV) Rambutmu yang panjang, biarkanlah tergerai, usah-
kau perhatikan bolamata-bolamata menguntit keberadaanmu,
sebab engkau telah aku selimuti dengan keganjilan agung
yang tak pernah aku lakukan pada mereka.
 
(XVI) Yang engkau jalankan sesuci kehendak mulia;
para cendekia di dalam sangkar,
atau burung timur bebas berkelana.
Dalam dirimu, ada kebimbangan penuh
yang sanggup menyatukan timur-barat,
dan selamanya engkau begitu.
 
(XVII) Seirama bayu,
awan kesedihan ini mengikuti masa-masa harus mereka lewati,
sedang engkau, pralambang yang mengasyikkan.
 
(XVIII) Dari jauh, angin menderu kencang; berpuluh-puluh
gelombang siap menerjang kemah-kemah berteratak tegar,
juga ia bakal genggam bulir-bulir pasir kemanusiaan.
 
(XIX) Di sini kau jauhi dunia keramaian,
sedang mereka hanya merekam prahara,
sementara badai tengah engkau bangun
sejumlah angin mengajarkan kepadamu;
dari tepian jauh dikau rasakan itu,
lalu terkenang oleh cinta akan kejujuran.
 
(XX) Lolongan anjing menyita kekhusyukanku,
aku tahu energi suaranya dibantu angin kelestarianmu;
gending-gending sebentar sayu lalu menggenta,
aku pun pula tenaga prahara engkau setubuhi,
dan tak terasa angin pantai menjadi Maha Guru
di waktu hatimu sedingin salju.
 
(XXI) Sesekali sisirlah rambutmu walau sejenak,
searah angin mengajakmu pergi jauh,
meski nantinya kembali kusut;
yang engkau jalankan,
serupa ikan-ikan hidup di dasar samudra,
perlu bernafas, sesuci manusia menghirup denyutan semesta.
 
(XXII) Halus butiran pasir itu
semakin tinggi, lembut selendang diterbangkan,
mendorong menyapa lewat surat-surat tertakdirkan
bagi persembahan nyawamu-nyawaku,
dan nafasmu itu nafasku di alam panggung.
 
(XXIII) Di ubun-ubun kepalaku,
awan menjelma jala-jala angkasa
semakin cepat menyebar,
keinginannya aku sebagai tangkapannya,
demi persembahan di altar candi para dewa;
namun ada kekuatan lain yang mencegah,
sehingga daku luput dari jeruji,
karena Sang Waktu belum berkenan.
 
(XXIV) Yang mencipta waktu
menjadi bebunga penghuni pantai;
ia sosok penjaga taman,
duduk sendirian menikmati harum kembang,
dari musim satu ke musim lainnya;
lantas kulit ruh terpesona dan memesona.
 
(XXV) Kembali memandangmu,
tarian janur-janur serasi waktu membiru,
mengikuti ritme riak gelombang yang terdengar
dari balik pebukitan dunia;
dirinya yang lembut bertirai,
sedang engkau, sudah melewati tirai ke berapa?
 
(XXVI) Tatkala mutut membisu, kubaca bola matanya,
tangannya yang santun begitu lembut, ada penantian tak jenuh
menunggu sang ayu menghampirimu;
daun hijau bercahaya, embun murni mengkristal.
 
(XXVII) Saudaraku,
geserlah tempat dudukmu walau sebentar,
sebenarnya di belakang punggung bukit,
pohon-pohon subur sulur-menjulur,
berdiri tegas atas hembusan angin nuranimu;
tapi tahukah engkau? Dan terfikirkah mereka?
Ia melakukan itu, menanti kehadiranmu,
dekapanmu yang bersahabat,
sebelum perpisahan takdir melepas.
 
(XXVIII) Seharusnya jangan hentikan sampai di situ,
sebab ruh dalam dadamu siap membantu;
seakan waktu selalu baru menuju kepemudaan cahaya.
 
(XXIX) Jika engkau mengambili benang-benang tercurah
dari kasih sayang hujan kepadamu, itu masih ada.
 
(XXX) Yang biasa di dunia terpencil, kenapa masih ada gelisah?
Lalu ingin mengakhiri nikmatnya vibrasi mahabbah?
Padahal sudah banyak tenaga kau petik dari gairahnya;
bukankah hanya tak enak atas sahabat karibmu
yang menunggu dengan murung sepertimu juga.
 
(XXXI) Yang ia kerjakan mengasah pucuk karang
menjadikan bebijian pasir bermakna;
tidak hanya bagimu, untuk mereka pula,
walau waktu itu mereka melupakan dirimu,
padahal terngiang setuju
atas angin-gelombang pernah ia singgahi,
sebagai tempat menimba sumur keabadian itu.
 
(XXXII) Santai saja,
cukup engkau kenang, lalu mereka merasakan pula;
biarkan ia berjalan dengan pilihannya,
dan engkau melangkah pada keyakinanmu.
Terus atau sudah cukup,
sampai kembali sebagai manusia asing di hadapan mereka.
 
(XXXIII) Yang telah menggerakkan
gravitasi nasib dunia walau sekejap,
partikel auraku berpijar terang,
dan parfum atmosfernya tetap melekap pada mereka;
ini mawar hitam, racun cair racikan jaman, kata mereka.
 
(XXXIV) Ia tanggalkan pebekalan
kala tinta hitamnya berlayar tanpa rencana;
kau telah melakukan juga,
merasakan bagaimana bumi ini digedor dari dalam,
dan tubuhmu berlapis kekuatan.
 
(XXXV) Meninggikan unsur sukma sejati
pada dataran mulia,
teratai semakin tinggi tangkainya;
kelebihanmu dari mereka,
yang hanya menanti antrian waktu.
 
(XXXVI) Tidak cukup merentang,
sudah lama menghabiskan atom nyawa
demi pengembaraan tanpa telatah,
bagaikan tertikam belati malam menggigil putus asa.
Engkau memeluk bintang-gemintang setelah saling pandang,
demi mengembalikan daya-dinaya;
yang dicuri akan kembali, yang memberi segera menerima,
bagi persembahkan senyum, mendapat kecupan mesra.
 
(XXXVII) Kini danau matanya keruh,
pasir berhamburan, bergolak di arus deras,
melemparkan jasad melobangi angkasa;
hanya mata dekatlah, mengerti rindu dari pedihnya ujung pena.
 
(XXXVIII) Pentas mulai digelar,
para pelukis sedikit menorehkan keberanian warna,
dan para penyair baru menggores beberapa aksara,
seakan merangkum dunia dengan kesombongan;
mereka rasa telah unggul dari Sang Pencipta.
Separuh dari mereka berucap;
Bila Tuhan masih ada, Ia punya rencana!”
 
(XXXIX) Sementara itu,
aku tetap duduk di rerumputan hijau perawan,
sambil memahat waktu di atas batu,
menujum takdirku untuk mereka.
 
(XL) Sesekali untaian rambut mengenai mukaku,
aku biarkan, dan terkadang kuseka lembut
dengan jemari tangan yang ada cincin setia darinya.
 
(XLI) Lalu ia berjalan, sambil mengunyah makna batu nisan;
berkali-kali senja menyeret matahari,
jam-jam kembali terhenti di embun daun kalbumu.
Serupa malam-malam sebelumnya,
kesepian tanpa seorang teman,
juga tiada lagi, kata mereka;
Raut yang patut dibayangkan!”
 
21 September 2000, Parang Tritis Yogyakarta.

http://sastra-indonesia.com/2008/10/balada-di-bukit-pasir-prahara/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita