Senin, 12 April 2021

RESENSI ATAS BUKU LELAKI MALANG, KENAPA LAGI?

 
Ali Ahsan Al Haris
 
Sebelum saya lanjut. Tentu saya harus mengapresiasi diri saya sendiri karena telah selesai membaca dan dapat meresensi novel ini. Kenapa? Selain memiliki hampir 500 halaman, ukuran huruf pada novel "Lelaki Malang, Kenapa Lagi?" karangan Hans Fallada terbilang kecil. Butuh waktu dengan cermat dan fokus untuk membaca kalimat demi kalimat yang ada. Oleh karena itu, sekali lagi selamat untuk diri saya sendiri. Hello Ali, selamat ya.
 
Ini adalah buku ke empat yang saya resensi di tahun 2020. Lelaki Malang Kenapa Lagi? Adalah novel kedua yang diterbitkan Moooi Pustaka setelah "Angsa Liar" karangan Mori Ogai, sebuah rumah penerbitan yang digawangi salah satu maestro sastra di Indonesia, Mas Eka Kurniawan. Diterjemahkan dengan apik oleh Mbak Tiya Hapitiawati dari Bahasa Jerman. Mulai terbit Desember 2019, namun beredar di pasaran per Januari 2020. Saya termasuk beruntung mendapatkan buku ini agak murah, karena Pre Order terlebih dahulu.
 
Saya mulai membaca novel ini tanggal 9 Januari 2020 pukul 02.23 dinihari dan selesai Minggu 19 Januari pukul 16.32 WIB. Saya baca tepat selepas membaca novel "Orang-orang Proyek" karangan Mbah Ahmad Tohari. Jika belum ada blogger atau penulis yang meresensi buku ini, tentu saya akan sangat bangga jika resensi saya ini menjadi salah satu rujukan para calon pembaca novel "Lelaki Malang, Kenapa Lagi?" Sebelum memutuskan membeli atau membaca buku ini.
 
Sebelum saya lanjut, tentu tidak afdol jika belum membahas siapa Hans Fallada. Dari berbagai sumber yang saya baca, Hans Fallada adalah salah satu penulis ternama berkebangsaan Jerman di awal abad 20-an. Hans lahir pada tanggal 21 Juli 1893 di Greifswald, Jerman. Novel yang ia tulis kebanyakan berbahsa Jerman, dan hanya 11 buah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
 
Hans Fallada terlahir dengan nama Rudolf Wilhelm Adolf Ditzen. Nama pena-nya diambil dari tokoh dalam kisah Grimm: Lucky Hans (protagonis) dan Falada (seekor kuda) di Goose Girl. Dalam cerita tersebut, kuda Falada dikisahkan sanggup berbicara dan selalu berkata jujur. Hal itu pula yang menyebabkan si kuda terbunuh. Anehnya, setelah kuda itu dipenggal, ia masih terus saja bicara.
 
Fallada lahir dari keluarga kelas menengah atas. Ayahnya, Wilhelm Ditzen, adalah seorang hakim, sedangkan ibunya berasal dari kalangan terdidik. Orang tuanya menyukai sastra dan musik. Falada adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya sering membacakan cerita anak untuk Fallada dan saudaranya, termasuk juga karya Shakespeare dan Schiller.
 
Pada tahun 1899, ayahnya diangkat menjadi hakim agung dan keluarga Fallada memutuskan pindah dari Greifswald ke Berlin. Fallada mengalami kesulitan belajar pada awal masuk sekolah pada tahun 1901. Dia kemudian menghabiskan waktu dengan membaca buku, tetapi menghindari buku dengan tema yang tidak sesuai untuk usianya.
 
Keluarga Fallada berpindah lagi dari Berlin ke Leipzig, saat ayahnya memperoleh jabatan sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi.
***
 
Selain itu, tidak afdhol pula jika saya tidak sedikit menyinggung penerjemah buku ini, yakni Mbak Tiya Hapitiawati. Saya tidak mengenal siapa beliau, mungkin beliau sudah beberapa kali menerjemahkan buku dan saya luput atau lupa menghafal nama beliau. Tapi yang jelas, saya sangat mengapresiasi sekali kinerja Mbak Tiya Hapitiawati atas terjemahannya pada buku Lelaki Malang Kenapa Lagi? Mungkin karena beliau adalah lulusan Sastra Jerman dan buku Lelaki Malang Kenapa Lagi? Diterjemahkan langsung dari Bahasa Jerman juga, berbeda dengan karya sastra luar negeri yang masuk Indonesia dengan Bahasa Inggris serta diterjemahkan dari Bahasa tersebut. Pembaca blog saya dapat mengecek langsung ke dinding facebook Mbak Tiya Hapitiawati perihal pendapatnya proyek terjemahan ini.
 
Awal membaca, saya sukses dibuat terkejut oleh Hans Fallada yang menceritakan tokoh utama pada buku ini, Lammchen dan Pinneberg yang sedang periksa ke dokter kandungan. Pinneberg keberatan dengan kehamilan pasangannya, Lammchen. Alasannya karena gajinya tidak cukup untuk menghidupi si buah hati. Karena hasil diagnosa kehamilan sudah memasuki bulan ke tiga dan tidak mungkin di gugurkan. Pinneberg akhirnya melamar Lammchen dan bertemu calon mertuanya. Nah, pertemuan Pinneberg dengan keluarga Morschel sangat menarik. Nyonya Emma (Ibunda Lammchen), Tuan Morschel (Ayah Lammchen) dan Karl (Adik Lammchen) menanggapi kedatangan Pinneberg dengan kalimat-kalimat kasar. Kedua orang tua Lammchen menghendaki putrinya mendapatkan suami dari kalangan buruh, sedangkan Pinneberg adalah seorang karyawan.
 
Sampai akhirnya mereka berdua menikah dan mengontrak rumah. Saya memiliki hipotesa bahwa kedua pasangan ini selalu diributkan dengan uang dan uang. Apalagi dengan melihat karakter Lammchen yang cerewet dan serba menuntut, sedangkan suaminya yang bergaji pas-pasan dan serba pasrah. Klop banget dengan rumah tangga kebanyakan orang.
 
Sebelum saya lanjut (Lagi), beberapa saya temukan typo (Halaman 58) dan halaman rusak (Halaman 30,34). Entah karena ini adalah pengalaman pertama Moooi Pustaka mencetak buku, atau karena saya mendapatkan buku ini dari Pree Order juga kurang paham juga. Yang jelas saya bukanlah tipikal orang yang gampang ribet dengan bagus tidaknya cover, jenis kertas, dll. Tapi jika ada beberapa halaman yang rusak menjadikan saya kehilangan mod untuk membaca. Yah itu hanya pendapat saja, harapannya ke depan akan diperbaiki oleh penerbit.
 
Oke lanjut. Sampai penghabisan bagian satu, Hans Fallada banyak menceritakan Pinneberg dengan urusan pekerjaan di toko pupuknya. Sedangkan bagiku yang paling menarik adalah saat Pinneberg harus menghadapi pemutusan kontrak secara sepihak. Ternyata apa yang Hans Fallada tulis itu, sekarang masih kita temui di Indonesia. Memang sih gak ada survei resmi, karena saya pernah berkawan dengan beberapa kawan yang tergabung di LSM buruh dan saya sendiri juga seorang buruh. Rasan-rasan, saling intrik, cari muka dan bermental penjilat adalah wajah buruh hari ini, semua karena demi mendapat potongan roti dan keberlanjutan kontrak.
 
Kisah Lammchen berbeda lagi, sebagai seorang istri dan menganggur. Membuatnya terkadang tidak dapat mengontrol pengeluaran rumah tangga yang sekiranya itu kebutuhan atau keinginan. Kalau pun pengeluaran itu termasuk kebutuhan yang harus segera diadakan, pasangan ini akan konfrontasi perihal sisa uang gaji Pinneberg. Jadi, jika pembaca buku "Lelaki Malang, Kenapa Lagi?" adalah pasangan pengantin baru. Saya yakin akan sangat menjiwai apa yang Hans Fallada tulis, dia seolah tahu apa yang sedang pasutri baru alami.
 
Di awal bagian dua. Saya dibuat kaget dan tertawa oleh Hans Fallada. Bagaimana tidak, kepergian Pinneberg dan Istri dari Duecherow ke Invalidenstrabe yang berharap mendapat pekerjaan dan kehidupan lebih baik harus pupus karena kelakuan sang Ibu Pinneberg yang menyewakan kamarnya ke anaknya sendiri. Selain itu sosok Jachmann yang pelupa dan suka berbohong menambah penderitaan pasutri baru itu… sampai penghabisan buku, ternyata Jachmann adalah orang baik, suka membantu kesulitan Pinneberg dan diam-diam menyukai Lammchen…  Pekerjaan yang ditawarkan Ibunya hanyalah bualan semata, selain itu tabiat buruk mertua Lammchen yang suka menyuruh dan mata duitan menambah cerita ini semakin seru. Sampai di sini, Hans Fallada memang sukses dengan karya realisnya. Top.
 
Dugaan awal saya di mana Pinneberg tidak mendapatkan pekerjaan di Toko Mandel ternyata salah. Harapannya itu tercapai saat menjadi staf penjualan Toko dan ditempatkan di cabang Berlin. Sampai sini ada yang menarik, Fallada memberi tahu kita bahwa manusia tidak jauh dari sifat sombong. Dan itu direperesentasikannya lewat tokoh Pinneberg. Meski sudah mendapat pekerjaan ditengah lesunya ekonomi Jerman dan global, serta mendapatkan gaji lebih sesuai yang dia ekspetasikan. Sifat sombong dan menganggap rendah orang lain nyatanya ada, dan sampai sekarang.
 
Scene itu terjadi saat Pinneberg melakukan proses tawar menawar dengan pramuniaga toko meubel saat hendak membeli meja rias. Tentu kasus tersebut bukan berarti saya hendak men-justifikasi kalau Pinneberg adalah orang yang sombong. Banyak sifat baik khususnya mengalah yang Pinneberg miliki. Oh iya, saya adalah buruh di bidang hospitality. Apa yang Pinneberg alami juga saya alami pula, termasuk perihal jual menjual. Saya suka dengan pernyataan Fallada pada halaman 165, tentang bermacam tipe penjual "Mereka yang memberi kesan baik pada pembeli, mereka yang menebak keinginan para pembeli, dan mereka yang menjual karena memang ada kesempatan". Dari hal itu, ada pelajaran yang sangat penting untuk kita ketahui bersama bahwa apapun profesi kita, goalnya adalah menjual sesuatu, terlepas itu sektor jasa atau tidak. Jadi, lakukan yang terbaik apapun itu.
 
Pinneberg dipecat Lehman, kepala personalianya di toko Mandel dulu. Alasannya karena dia tidak tembus target penjualan bulanan. Fase ini menjadi babak baru bagi tokoh utama buku ini, hidup terasa tanpa harapan lagi. Aktivitas hariannya hanya membersihkan rumah tumpangan dari Heilbut, mengasuh si kecil Murkel dan mengurus pekarangan demi bertahan hidup. Sesekali dia pergi ke kota untuk mengambil tunjangan sosial dan membayar kekurangan uang sewanya dulu ke Puttbreese. Babak ini sungguh memilukan, Fallada terlampau 'Sangar' menarasikan kemiskinan yang Pinneberg dan Lamcheen alami.
 
Perasaan marah dan dendam Pinneberg ke Lehman tak berlangsung lama, 18 bulan selepas dia dipecat dari toko Mandel. Pinneberg mendapat kabar jika Lehman ditendang dari toko, informasi tersebut datang dari Heilbut saat Pinneberg berkunjung ke kantornya. Alasan pemecatannya cukup menarik, Lehman terbukti telah memalsukan dokumen perihal pemindahan karyawan di beberapa cabang toko Mandel atas dasar 'like' dan 'dislike' dan berlaku sewenang-wenang terhadap karyawannya. Pada kenyataanya, semua orang sudah tahu jika hal itu dimanfaatkan Spanfub (Sebangsa General Manager) sebagai akal-akalan alasan pemecatan saja. Sampai tiba giliran Spanfub menempatkan pegawai sesuai dengan kesukaan dan kehendak hatinya.
 
Pada penghabisan cerita, ada beberapa kalimat yang sangat menarik dan pantas dijadikan quote. Seperti "Uang tidak membantu apapun. Pekerjaanlah yang dapat membantu kami" ujar Lammchen. Tentu konteks ini saya artikan sebagai berkarya, manusia harus tetap eksis dan berjuang mempertahankan hidup dan mimpi-mimpinya. Ya, kita harus seperti itu. Selain itu, kisah keluarga kecil yang Hans Fallada tulis ini mengajarkan kepada kita untuk mendedikasikan hidup ke keluarga. Karena keluarga adalah sumber energi dan inspirasi yang sangat nyata. Saat kita dalam kondisi terpuruk dan diremehkan orang, keluargalah yang akan menyemangati kita untuk selalu bangkit. Selain itu, dan ini sangat penting. Bekerjalah kalian semaksimal mungkin dengan cara dan sumber yang halal. Persis apa yang Pinneberg dan Lammchen lakukan di buku "Lelaki Malang, Kenapa Lagi?"
 
Sekian terima kasih, itu saja yang dapat saya ceritakan dari hasil membaca buku kedua terbitan Moooi Pustaka. Tentu apa yang saya tulis juga dielaborasi dengan pengalaman dan sejauh apa saya membaca buku. Karena membaca masalah selera, bolehlah saya merekomendasikan buku ini untuk kalian semua. Terutama bagi pasangan yang hendak menikah atau keluarga muda. Kisah dalam buku ini akan membuat kita total dalam berjuang, hati-hati dan dapat juga kalian jadikan referensi bahwa setelah menikah nanti, apa yang kalian alami dengan pasangan bisa jadi mirip dengan Pinneberg dan Lammchen alami.
***

http://aliahsan27.blogspot.com/2020/01/resensi-buku-lelaki-malang-kenapa-lagi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita