Senin, 05 April 2021

Menyentuh Puisi Umbu Wulang Landu Paranggi

 (Umbu Landu Paranggi, 10 Agustus 1943 - 6 April 2021)

 
(Penyair gelandangan yang nampaknya sudah lelah terkatung-katung menggelandangkan diri di dunia)
 


(Umbu Landu Paranggi, foto dari fb Warih Wisatsana)
 
Zehan Zareez *
 
SEREMONI
Umbu Landu Paringgi
 
Dengan mata pena kugali seluruh diriku
Dengan helai kertas kututup nganga lukaku
Kupancing udara di dalam dengan angin di tanganku
Begitulah, kutulis nyawaMu senyawa dengan nyawaku
 
Sumber: Bali Post, 1978
 
Sebuah puisi singkat yang spektakuler pernah lahir dari tangan seorang bohemian, Umbu Landu Paringgi. Penyair yang tak akan hangus di benak sekumpulan kata-kata ini terhitung begitu rapi menyembunyikan sisi ilahi dalam dirinya. Namun, bisa dikatakan musibah besar tak sengaja hadir dalam puisi miliknya yang berjudul 'seremoni'. Puisi yang justru membongkar kedoknya sebagai seorang penyair sufi yang 'khumul' dan selalu bersembunyi di balik 'nyawa Tuhan'nya.
 
//Dengan mata pena kugali seluruh diriku//
Baris pertama seperti menegaskan bahwa Umbu adalah seorang pemikir handal yang bercita-cita keras mengorek semua kejadian, bentuk, simbol, baik yang mewujud peristiwa  maupun ke'ada'an sesuatu. Lebih dari itu, ia bahkan menelanjangi segala (termasuk diri dan tubuhnya) untuk menemukan apa yang sejatinya harus ketemu. 'mata pena' adalah kata yang dipilihnya sebagai alat. Ini tak lain sekaligus memberikan kabar bahwa melalui menulis (puisi)lah, Umbu menemukan inti hidup dan kehidupannya.
 
//Dengan helai kertas kututup nganga lukaku//
Baris ke dua seperti menegaskan kritik gejolak hatinya sendiri. Umbu sadar, tak ada satu pun manusia yang sempurna. Setiap yang terlahir dan sadar bahwa dirinya adalah manusia, seharusnya kesadarannya juga satu paket dengan kewajiban menangisi dosa dan kekecilan dirinya yang selalu membesar jauh melebihi 'yang akan mengampuninya'. Dalam bentuk tubuhnya yang sempurna, setiap manusia sejatinya berhias luka, bersolek dosa, berbedak derita, dan lain sebagainya; termasuk Umbu Landu Paringgi -- dalam kesadaran penuhnya. Dalam hal ini, ia hanya ingin membangun dimensi batin dengan Tuhannya, melalui diserahkannya bahasa-basa indah yang dibisa, untuk harap ampunan; yang sama sekali tak butuh dipuji sesamanya. 'menutup nganga luka', dalam puisi ini bukan berarti upaya penulis menyimpan kemunafikan diri. Justru, setelah perkara batinnya dengan Tuhannya selesai, tugasnya adalah berindah perangai terhadap siapa pun yang dijumpainya. Bagaimana seseorang mampu bertatap wajah dengan ramah jika seluruh luka dan dosa diumbar seenaknya ? Ini yang memperkuat diri seorang Umbu tentang ketuntasannya dalam proses 'penggalian diri' seperti yang ditulis di baris pertama.
 
//Kupancing udara di dalam dengan angin di tanganku//
Usai telaah diri di baris pertama puisinya yang kemudian diimplementasikan melalui kesadaran bagaimana semestinya menjadi manusia, Umbu kembali 'memulangkan' diri dan ingatannya ke tempat yang semestinya; ialah ke ruang dimana bakti harus tetap dijalankannya sebagai hamba (ibadah). Se'dewa' apa pun seorang sufi, akan batal kesucian dirinya jika menanggalkan perintah yang butuh ditunaikan. 'kupancing', 'tanganku', adalah simbol kata yang erat hubungannya dengan gerakan ritual. 'udara', 'angin', sengaja dicantumkan untuk memberikan sinergi bahwa manusia sebagai 'khalifatulloh fii al ardl' bertugas mengajak seisi semesta untuk menghamba. Umbu dalam hal ini sebagai (yang mewakili) manusia, yang diberi akal, diberi jisim, diberi hati, diberi perasaan dan jiwa berjuang, mengajak seisi semesta menuju kondisi penghambaan. Ia tahu, hanya manusia lah satu-satunya mahluk yang bisa mengemban tugas demikian. Umbu menarik semua yang di luar dirinya untuk menyatu dalam kesadarannya, dan dia sendiri (dalam hal ini) yang akan mewakili semua yang diajak menuju dimensi yang diyakininya sebagai dermaga pelepasan segala keduniaannya.
 
//Begitulah, kutulis nyawaMu senyawa dengan nyawaku//
Baris penutup sebagai puncak dialektikanya sebagai manusia. Kata "Mu" yang dipilih tak lain adalah sebuah ujung dialog mesranya; yang ditujukan kepada yang menjadikannya 'sementara' ada; Tuhannya. 'nyawa' adalah simbol hidup. Dilesatkan ke dalam "Mu" karena memang "-Dia" lah Yang Maha Abadi Hidupnya. Dan diletakkan ke dalam "ku" tak lain karena Umbu telah mampu hidup (sebagai hamba) yang sampai kapan pun akan ikut hidup dalam Tuhannya.
 
Inna Lillahi wa inna ilayhi raji'un...
Selamat Jalan, Umbu Landu Paringgi
Tak ada kelana yang tak lelah
Semua punya waktu merebah.
***

*) Zehan Zareez, penyair kelahiran Lamongan, Jawa Timur. http://sastra-indonesia.com/2021/04/menyentuh-puisi-umbu-wulang-landu-paranggi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita