Setelah membaca tiga buku Hemingway, The Short Happy Life of Francis Macomber, The Old Man and The Sea, dan Reportase-Reportase Terbaik Hemingway, seperti ada sesuatu yang harus dipindai, bahwa menulis tidak hanya sekedar menulis. Orang-orang boleh mengatakan menulis itu mudah. Tuangkan saja isi kepalamu, apa yang mengendap di kepalamu keluarkan saja seperti orang meludah. Mudah sekali bukan? Tapi sesuatu yang mudah biasanya akan tampak sepele, dibiarkan bahkan dilupakan. Umumnya semacam itu.
The Short Happy Life of Francis Macomber, adalah pintu pertama saya mengenal Hemingway. Ini adalah sebuah buku kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh Selasar, sebuah penerbit buku yang mungkin telah gulung tikar. Saya menemukan buku ini di toko buku kecil di Sungelebak Lamongan. Diikat menjadi satu dengan buku terbitan Selasar lainnya yang barangkali tak ada yang minat. Dibiarkan berdebu di rak paling atas. Buku ini menceritakan berbagai cerita yang saya rasa dekat dengan Hemingway. Mengingat ia adalah pria yang menyukai berburu, memancing, bertinju, matador, hingga bermain rugby. Dalam cerita pendek yang pertama Hemingway menceritakan sebuah perburuan di pedalaman hutan Afrika, dalam cerita itu Hemingway seolah berusaha menunjukkan bagaimana sebuah harga diri bekerja dalam aktivitas berburu, ia menunjukkan bagaimana perasaan Macomber ketika ia tak berhasil membunuh seekor singa, dan memilih bersembunyi di balik punggung si guide. Ada juga cerita tentang matador, dua anak manusia yang berlatih menjadi matador dengan kursi dan sebuah pisau tajam terikat di salah satu kaki kursi. Seorang membawa kursi itu berlari serupa banteng dan di sudut lain seorang mengibarkan kain merah untuk mengelabuhi banteng kursi, layaknya matador betulan. Dan sebuah tragedi terjadi. Beberapa cerita lainnya saya merasa seperti sesuatu yang samar, mengambang, menggantung dan entahlah, pertama kali membaca cerita-cerita Hemingway saya merasa ia tak ada bedanya dengan penulis-penulis lain. Biasa saja. Namun setelah membaca buku ketiga sedikit demi sedikit saya menyadari Hemingway seperti melakukan banyak eksplorasi dalam cerita-ceritanya.
Kemudian saya melanjutkan dengan membaca The Old Man and The Sea, buku kedua Hemingway yang saya baca. Setahu saya buku ini memang diterjemahkan oleh beberapa penerbit. Kebetulan saya membaca The Old Man and The Sea yang diterbitkan oleh Narasi. Buku tersebut menceritakan tentang seorang nelayan tua bernama Santiago yang dianggap beberapa nelayan setempat telah mengalami salao atau sebuah kesialan yang membuatnya menjadi nelayan paling miris karena berminggu-minggu melaut ia tetap bernasib sial, tak mendapat satupun ikan. Hingga pada suatu hari ia memutuskan untuk melaut di laut lepas ke Gulf Stream, yang terletak di Samudra Atlantik. Entahlah ketika Santiago mulai melaut semua perasaan, kecemasan, ingatan masa lalu seolah saling berkelindan di kepala Lelaki Tua. Hemingway seperti sedang mencampur adukkan semuanya, bagaimana seorang lelaki tua bertekad untuk mendapatkan Marlin besar. Saat kailnya mendapat tangkapan, perlawanan itu berlangsung. Entah kenapa dalam adegan perlawanan itu kentara sekali antara ambisi dan keputusasaan. Si Lelaki tua kerap kali mengeluh dan menyayangkan perbuatannya, karena tidak mengajak Si Bocah. Namun yang paling mengusik saya adalah cara mengakhiri cerita, novel ini seolah ingin memberi pangalaman muram sekaligus paling menggantung. Jika kau seorang penulis, mungkin juga novel ini akan memberimu pelajaran untuk membuat narasi yang melimpah ketika tokoh hanya dihadapkan pada satu tempat, meski saat membaca ada rasa lelah namun ketika selesai narasi yang melelahkan ini seperti menuntut untuk dibaca kembali.
Lantas di buku ketiga, Reportase-Reportase Terbaik Hemingway, sedikit atau banyak saya merasa ada yang berbeda dalam kalimat-kalimat Hemingway. Ia membuat kalimat-kalimat yang cerdas dan enak untuk dibaca. Beberapa ditemukan dalam awal kalimat pembuka tulisan. Di sini Hemingway tampak tidak main-main atau asal-asalan dalam menentukan pembuka tulisan. Ibarat pintu sebuah rumah, pintu itu dibuat dengan bentuk dan dekorasi yang lain dari pada kebanyakan pintu, sehingga setiap orang yang melihat akan penasaran dengan isi dalam rumah tersebut. Mungkin semacam itulah Hemingway melakukannya terhadap tulisan-tulisannya. Dalam reportase-reportase itu Hemingway memang tampak main-main dalam menulis. Ia seolah menulis perkara receh selama hidup di Paris. Namun untuk orang yang asing dengan Paris, buku itu tentu saja menjadi sangat berharga seperti sumber informasi nonformal tentang suasana Paris dari biaya hidup, budaya yang masih dijalankan hingga iklim politiknya. Bahkan dalam salah satu reportase itu, ia menulis sengketa Alkohol. Pemerintah mengeluarkan peraturan adanya larangan meneguk Alkohol, namun sebagaimana kebiasaan, orang-orang tidak dapat menerimanya dengan mudah. Lantas seseorang mengatakan, biarlah alkohol mengalir di tenggorokanmu dan air di bawah jembatan. Pernyataan itu secara tidak langsung seperti ingin mengungkapkan bahwa air tidak pantas untuk diminum, hanya alkohol yang layak untuk diminum sementara air adalah perkara yang mengalir di bawah jembatan. Begitulah, dalam menulis reportase-reportase ini Hemingway tampak seperti orang yang serba tahu dan sangat dekat dengan peristiwa itu. Juga satu lagi Hemingway lihai, peka, dan mampu mengangkat perkara receh menjadi berharga di mata pembaca.
***
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com http://sastra-indonesia.com/2020/08/macomber-santiago-dan-alkohol-yang-mengalir-di-tenggorokanmu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar