Selasa, 16 Februari 2021

YANG DIJIWAI

Mohammad Afifi *
 
“Apa yang tak lebih indah dari Cinta. Ia universal.” Ujar kawan saya yang nakal. Pun hampir semua filusuf dan para ilmuwan bersepakat bahwa, “Relasi paling agung antar manusia itu, cinta.” Entahlah.
 
Masih seputar cinta, bagi Rabi’ah Al Adawiyah ialah kebijaksanaan yang esensial. Ya, tak lebih dari itu. Dalam diktumnya yang masyhur, “Tuhan, jika aku ibadah karena mengharap surga, jauhkan saya dari surga itu. Jika aku ibadah sekedar berharap terhindar dari neraka-Mu, masukkan saja aku kedalamnya. Aku tak butuh surga, tak butuh neraka. Aku butuh Dirimu.” Barangkali tuangan rasa Rabi’ah ini dianggap berlebihan (secara literal). Nyatanya, ya beginilah kira-kira adagium esensial yang pas perihal cinta.
 
Ungkapan cinta Rabi’ah tak belaka soal dari neraka (minan nar) atau ke surga (ilal jannah), tapi soal “ilaihi raaji’un” --kembali kepada-Nya. Nah, baginya, ilustrasi surga-neraka sekedar iming-iming (media, stimulus) dalam upaya mendekatkan diri kepada-Nya. Bukan semata Tujuan yang diinginkan dan untuk dihindari. Lewat iming-iming tersebutlah komposisi kehambaan terdasar dan tergerak. Dan nyatanya tiap kita sedang belajar, berjalan, dan berbuat menuju-Nya--ridho-Nya.
 
Nah, oleh kebanyakan, cinta lazim termakna artikan sebagai rasa suka yang datang tiba-tiba semacam anugerah--diistilahkan ‘jatuh cinta--falling in love’. Apakah demikian? Tidak. Bagi Erich Fromm, cinta bagai seni. Mesti dipahami, mesti dipraktekkan. Jadi, bagi Fromm mencintai itu bukan soal “apa yang dicintai”. Justru menyoal “bagaimana mencintai.” Lazimnya realitas, manusia kerap mencari yang dicintainya. Implikasinya pasti bakal pilah-pilih, dan demikian berarti egois --membatasi ruang cinta itu sendiri. Ingat, ia universalitas. Maka pesan Fromm, fokuslah bagaimana mencintai.
 
Ditegaskan oleh Fromm, cinta itu bukan Falling for, tapi standing in --bukan jatuh cinta, tetapi mendirikan --menegakkan cinta itu sendiri. Dalam term teks suci, biasa dikenal “iqomah”, yang berarti mendirikan. Sebagaimana “iqomatus sholah” --mendirikan sholat. Tak belaka melaksanakan secara formal, tapi menghidupkan dalam prilaku yang situasional. Demikian juga perihal cinta.
 
Barangkali realitas mencintai, lazim dihadapkan dengan reaksi saling jumpa. Menghadirkan fisik yang dianggapnya utuh. Untuk sekedar bertatap, berkeluh kesah, meletakkan yang dicintai sebagai objek demi mendapatkan ketenangan jiwa. Inilah ghalib ketersalingan realita perjalanan. Ya, tak pernah rampung. Terus mengalir dalam serpihan-serpihan harapan-harapan. Ketenangan-ketidaktenangan, ketenangan-ketidaktenangan, begitu seterusnya. Mencemaskan yang tak cemas, menenangkan tak tenang. Semacam ambigu inilah kenikmatan dari tiap-tiap kenikmatan tersebut.
 
Boleh jadi sebagai pencinta hendak melabuhkan tiap rasa pada siapapun. Tapi kekokohan penjiwaan mesti terus dilatih. Mencintai tak belaka membebaskan rasa itu semata mencari sebuah ketenangan. Ia mengarifi serpihan-serpihan perjalanan dan meletakkan memungkin-mungkinkan terburuk di ruang yang paling tak penting. Artinya tak kalkulatif. Sebab cinta tak belaka didapati oleh logika, ia bukan soal akal. Tak cukup! Meski tiap pencinta perlu realistis. Tetapi ingat, Ia-lah rasa yang dijiwai. Dilatih kokoh oleh prinsip-prinsip, pola-pola, dan cara.
 
Maka membangunnya tak mudah, pun sejatinya tak sulit. Bagi pecinta, hendaknya meletakkan yang dicintai sebagai ruang belajar mengokohkan diri. Memantapkan ruang pribadi sebagai perluasan atas terombang-ambingnya berbagai perjalanan realitas yang niscaya. Ia spontan. Mudahnya, ruang itulah boleh dibilang sebentang konfigirasi. Konfigurasi yang tak semata koneksi, ialah sejatinya perwujudan dari sebuah ikhtiyar yang meletakkan yang dicintai agar nyaman atas apapun dan siapapun. Sebab konfigurasi tak mesti seterusnya kuat. Pun tak mesti lemah. Biarlah berjalan semestinya --airkulatif dan dinamis. “Biarlah yang dicintai nyaman atas kehendaknya, pada akhirnya bakal kembali ke rumah (ruang) yang semestinya (kedinamisan itu). Ya, Tuhan maha asyik.” Ujar kawan saya.
 
Instrumen cinta meletakkan segalanya sebagai ruang bagaimana cara-cara itu dapat ditumbuh-kembangkan. Menciptakan realitas sebagai energi, bahwa kekokohan tak mesti memaksakan kehendak, melainkan suatu penerimaan bahwa tiap perjalanan tak ada yang kebetulan. Maka inilah sebagian dari ruang dimana intervensi sang Maha Cinta sangat kuat, tidak cukup dipungkiri, pun tak terbantahkan. “Ya, sekedar cukup diikhtiyarkan.”
 
Sebagaimana untaian sosok Sapardi dengan puisi “Hujan Bulan Juni”, Gus Mus dengan “Sajak Cinta”, Khalil Gibran dengan “Cinta Tanpa Tanda Baca”. Semuanya mendalam--mendalami kedalaman dengan sedalam-dalamnya. Rupanya kedalaman itulah kesederhanaan yang apa adanya. Suatu untaian kelapangan yang kaya rasa, sarat pesan-pesan nilai. Pesan ketuhanan, lewat nilai-nilai jiwa kemanusiaan yang ternisacayakan. Ya, cinta itu manusiawi, kemanusiawian yang memanusiakan manusia sesederhana mungkin. Sesederhana ruang refleksi dimana kenyamanan dan keindahan dapat ditemui. Cukup terus arungi!
 
Syahdan, dalam sajaknya yang agung, bagi Sapardi, mencintai itu--sebagaimana kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Sebagaimana isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Sajak ini masyhur--Inilah tata ruang hidup-menghidupi kejiwaan jiwa itu.
 
Lalu, sebegitukah keagungan cinta dengan keniscayaannya? Sebuah perenungan yang mesti harus terjalani dengan diksi, nada, irama yang seenjoy-enjoynya, berlabuh lewat narasi-narasi rasa yang sesyahdu-syahdunya. Maka nikmatilah! Hingga wujud cinta tak didikte realitas. Pun pembawaannya ialah wujud kekokohan yang tertempa lewat ilmu, kualitas, nilai dan bentangan pencapaian-pencapaian luhur.
 
Sebab tiap perjalanan nyatalah sekedar keingintahuan yang sekedar terus diikhtiyarkan, bukan? Maka mulailah untuk terus berdamai dengan diri sendiri. Wallahu a'alam...
 
Padepokan Nyai Surti, 22 September 2020

*) Mohammad Afifi, lahir di Maskuning Kulon, Pujer, Bondowoso, Jawa Timur 20 April 1994. Koordinator Gusdurian Bondowoso. Bukunya “Mantra dari Langit” dan yang terbaru “Wasiat Nyai Surti” (2020). http://sastra-indonesia.com/2021/02/yang-dijiwai/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita