Pay Jarot Sujarwo
lampungpost.com
Perempuan itu menggenggam
belati. Matanya yang tajam sudah lebih dulu menikam dada lelaki. Napasnya
terengah-engah. Tak kuat lagi menahan amarah. Entah sudah berapa kali, lelaki
yang katanya mencintainya itu, meminta maaf sebab berselingkuh.
“Yang lalu bisa
kumaafkan, tapi kali ini kau akan kubunuh.” Perempuan itu nyalang. Lelaki tak
melawan, saat belati menghujam hingga menghentikan detak jantungnya. Sekarang.
Tangan perempuan itu berlumur darah. Darah yang sarat dendam.
***
Dia menutup jendela
Window Explorer dari situs sebuah koran nasional yang terbit di negaranya.
Seperti biasanya, setiap Minggu tiba, setelah bangun tidur dan menyeduh
secangkir Espresso, dia menyalakan laptop dan mulai mengakses website media
cetak di Indonesia.
“Hmm. Selingkuh lagi.”
Dia bergumam setelah selesai membaca sebuah cerpen minggu ini. Sampai hari ini,
pikirnya, tema selingkuh masih saja laku untuk dipublikasikan. Atau barangkali
selingkuh dalam kehidupan nyata memang memiliki kekuatan luar biasa untuk
membuat para penulis memfiksikannya? Atau bisa juga para penulis itu memang
gemar berselingkuh? Dia tak mau ambil pusing dengan perkara itu. Tapi mengenai
cerpen-cerpen selingkuh, dari banyak cerpen yang telah dia baca, dia tetap
punya satu nama idola. Agus Noor. Menurut dia, Agus Noor adalah cerpenis yang
paling berhasil jika menuliskan perselingkuhan. Selingkuh Itu Indah adalah buku
kumpulan cerpen favoritnya. Dia tidak pernah sekolah di Fakultas Sastra. Dia
bukan pula kritikus sastra. Bukan pula pemerhati atau sekadar pengamat sastra.
Dia hanya suka membaca sastra. Sewaktu dia kuliah, sempat pula menulis beberapa
karya sastra di koran. Tapi tak terlalu banyak tulisan sastranya yang terbit dan
kejadian itu sudah terlalu lama.
Selepas kuliah, hari-hari
berikutnya adalah hari-hari yang penuh perjalanan. Meninggalkan Yogyakarta
menuju Jakarta. Kurang lebih setahun di Jakarta, pindah ke Bogor, lalu Bandung.
Kemudian pulang ke tanah kelahiran, Kalimantan. Di kalimantan, dia mulai jarang
menulis sastra. Barangkali iklim menulis sastra di daerahnya waktu itu tidak
seramai di Yogyakarta. Lagi pula dia tak punya teman yang bisa diajak
bercakap-cakap soal sastra. Buku-buku sastra jarang ada. Internet waktu itu
masih jadi barang mewah. Hanya satu dua warung internet di tengah kota.
Kalaupun dia menghabiskan waktu di internet, betapa jarang dia membuka
situs-situs sastra. Sekali dua memang dia membaca puisi T.S. Pinang, Hasan
Aspahani, Saut Situmorang di internet. Juga ada orang-orang yang berkelahi di
internet meributkan perkara sastra cyber dan sastra koran. Untuk urusan ini dia
tidak mau ikut-ikutan. Dia tak suka berkelahi. Ah, kejadian itu sudah begitu
lama.
Tak seperti sekarang.
Internet ada di mana-mana. Orang-orang bisa setiap hari mentahbiskan diri
mereka sebagai sastrawan. Tak bisa jadi sastrawan buku, jadi sastrawan koran.
Gagal jadi sastrawan koran, jadi sastrawan blog. Tak bisa jadi sastrawan blog,
jadi sastrawan Facebook. Hari ini begitu mudah.
Untuk menjaga proses
kreatifnya, dia menulis catatan harian. Dia juga mengakrabi anak-anak remaja
dan memotivasi mereka untuk gemar membaca dan menulis. Beberapa bagian catatan
hariannya dia terbitkan jadi buku. Dia terbitkan sendiri. Dia sebar luaskan sendiri.
Lebih dari lima tahun dia
di Kalimantan. Dia merasa tidak boleh lebih lama lagi berada di kampung
halaman. Dia merasa harus kembali berjalan. Bukankah sejak lahir dia sudah
dididik untuk menjadi pejalan? Dia ingat petuah bapaknya di hari pertamanya masuk
SD, “Jika kau merasa sudah cukup berada di dalam kelas, keluarlah, berjalanlah
sejauh mungkin. Sebab, di tempat-tempat yang jauh itu, kau akan banyak
menemukan hal baru.”
Dia kembali memutuskan
untuk berjalan. Ke tempat yang sangat jauh. Menyebrangi banyak pulau, bahkan
menyeberangi benua. Dari Asia ke Eropa, dari kampung kecil di Kalimantan,
menuju kota besar bernama Sofia, ibu kota Bulgaria.
***
Musim dingin di Sofia
baru saja berakhir. Hari itu langit cerah. Matahari menjadikan tumpukan salju
mencair. Orang-orang memilih berada di luar rumah. Bertemu dengan sahabat, atau
sekadar menghangatkan diri di pinggiran boulevard. Beberapa laki-laki terlihat
mengerumuni dua orang pemain catur jalanan. Cericit burung di pepohonan kering
menjadi isyarat bahwa musim semi telah datang. Musim yang dinanti-nantikan
siapa saja. Musim yang penuh gairah.
Setelah dua jam berjalan
kaki di bawah hangat matahari, dia memutuskan untuk mampir di National Art
Gallery yang terletak di tengah kota Sofia. Di tempat itu sedang berlangsung
pameran fotografi dari para fotografer Timur Tengah. Foto-foto itu terlihat
begitu cantik. Tapi dia tidak terlalu tertarik. Temanya tentang perang. Ada
senjata, darah, tangis anak-anak dan wanita. Dia tidak habis pikir, kenapa
orang-orang suka memamerkan kekerasan seperti ini.
Hanya sebentar dia di
dalam National Art Gallery. Dia memutuskan untuk keluar, menuju The Garden of
Grand Hotel Sofia yang lokasinya tepat berada di depan galeri. Taman kota ini
adalah salah satu taman kota yang paling sering dikunjungi saat matahari sedang
cerah di Kota Sofia. Hari itu garden terlihat begitu ramai. Semua bangku penuh
diisi orang-orang. Puluhan burung dara berkerumun di depan seorang tua yang tak
henti melemparkan remah roti. Beberapa turis sibuk memotret. Sepasang remaja
asyik berciuman. Di tempat itu, semua orang punya dunia mereka sendiri-sendiri.
Setelah tak menemukan
bangku yang kosong, dia menghampiri seorang perempuan yang sedang asyik
membaca. Perempuan itu hanya sendiri, masih ada celah untuknya duduk di bangku
itu.
“Permisi, tak ada lagi
bangku yang kosong. Boleh aku duduk di sini?” Dia menyapa. Perempuan
menghentikan membaca sebentar. Setelah menatap wajahnya beberapa detik,
perempuan itu menggeser pantatnya sedikit.
“Silakan,” kata
perempuan.
“Terima kasih.” Dia
duduk. Mengeluarkan sebuah buku. Tapi baru saja dia akan membaca, perempuan di
sebelahnya bersuara, “Apakah kau dari Asia?”
“Ya,” dia menjawab
singkat, kembali mereka saling tatap.
“Tepatnya dari mana?”
“Borneo.”
“Really? Borneo adalah
negeri yang jauh sekali.”
“Ya. Sangat jauh. Kau tau
tentang Borneo?”
“Aku tau. Kakakku
beberapa kali ke Borneo.” Perempuan itu begitu bersemangat.
“Selain hutan tropis,
Borneo juga dilewati garis equator.”
“Ya. Aku juga mendengar
tentang itu. Pasti di sana sangat panas. Aku akan senang menghabiskan waktu
berlama-lama di tepi pantai Borneo. Di tempatmu ada pantai?”
“Tentu saja. Tiga jam
dari pusat kota.”
Lalu mereka saling
berjabat. Dia menyebutkan namanya. Perempuan itu juga.
“Kalau asalmu dari mana?”
dia balik bertanya.
“Aku asli Sofia. Kota tua
yang ribuan tahun tak akan pernah lekang sebab orang-orangnya begitu rapi
merawat sejarah.”
Lalu kedua orang itu
saling bercerita. Mereka terlihat akrab seperti sudah lama saling kenal. Dia
bercerita tentang Kalimantan dengan ratusan anak-anak sungai. Garis
khatulistiwa. Hutan-hutan tropis. Dan juga sejarah kelam tentang fasisme yang
dilakukan Jepang terhadap satu generasi di Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak,
Kalimantan Barat 1).
Sementara perempuan itu
bercerita tentang Sofia dari masa ribuan tahun sebelum Masehi, sampai hari ini.
Pertama kali, ribuan tahun lalu, daerah ini diduduki Suku Thrakian Serdi,
kemudian kedatangan Alexander Agung yang membuat Sofia dikuasai Romawi dan
menjadi pusat administrasi daerah. Peperangan demi peperangan terjadi, hingga
kemudian kota ini menjadi daerah kekuasaan kekaisaran Byzantium selama ratusan
tahun sekaligus pertanda kejayaan Kristen di wilayah ini. Namun, perang tak
pernah selesai. Tahun 1382, Sofia ditaklukkan pasukan Islam dari Turki di bawah
bendera Ottoman Empire dan kemudian menduduki Bulgaria lebih dari 500 tahun.
Tahun 1878 pasukan Rusia membebaskan Bulgaria dari tentara Ottoman yang
berdampak hingga hari ini betapa banyaknya orang-orang Bulgaria menyimpan
simpati mendalam kepada orang-orang Rusia 2).
“Tapi simpati tersebut
ternyata tak juga mampu membebaskan seluruh penderitaan masyarakat Bulgaria.”
Perempuan itu menghentikan ceritanya. Diam sejenak, lalu lanjut bercerita, “Aku
sedih, karena setelah Sofia dibebaskan Rusia, negara ini kemudian berkembang
menjadi negara komunis. Bermula dari The Kingdom of Bulgaria yang berdiri tahun
1908, kerajaan ini sepenuhnya mengabdi kepada segala kehendak Rusia. Aku adalah
generasi yang dibesarkan oleh peraturan-peraturan komunisme. Di masa itu, tak
banyak yang bisa kami lakukan. Semuanya serbaterbatas.”
“Tapi bukankah sekarang
Bulgaria tak lagi berada dalam sistem komunisme?”
“Ya, sekarang kami sudah
sedikit terbuka. Bahkan belum lama ini kami sudah tergabung dalam Uni Eropa,
yang kata banyak orang ini adalah harapan baru bagi Bulgaria. Padahal
menurutku, sampai hari ini, secara ekonomi, kami masih sangat terjajah.”
Percakapan mereka
terhenti sebab sayup-sayup terdengar suara musik perkusi dari halaman gedung
National Theater Ivan Vazov yang tak jauh dari garden.
“Kau suka perkusi?” tanya
perempuan itu.
“Sangat.”
“Aku juga.”
“Mari kita ke sana.”
Kedua orang itu beranjak
menuju asal suara. Di halaman gedung, lima remaja beraksi. Seorang memetik
gitar, tiga orang menabuh jimbe, seorang lagi memainkan tamborin. Kelima remaja
itu serta merta menghentikan langkah orang-orang yang berjalan. Orang-orang tak
hanya melihat dan mendengarkan. Satu per satu kaki mereka bergoyang. Satu per
satu tangan mereka bertepuk.
“Kau mau ikut berdansa?”
Dia terkejut, sebab perempuan itu tiba-tiba menarik tangannya.
“Tidak. Aku tidak terlalu
percaya diri. Kau sajalah, biar aku memotret.” Dia menolak. Perempuan itu
melepaskan tangannya. Lalu maju sendirian.
Dia kemudian mengambil
kamera. Menembakkan lensanya ke wajah perempuan itu, ke arah orang-orang yang
bergoyang, juga ke arah pemain musik. Tapi baru tiga kali jepret, tiba-tiba dia
berhenti. Matanya mengarah ke para pemain perkusi. Tapi tatapannya kosong.
Tiba-tiba kepalanya dirasuki kenangan. Suara-suara jimbe yang ditabuh Serikat
Pengamen Indonesia di lembah UGM hari minggu pagi, waktu itu dia pernah ikut
membaca puisi di sana. Petikan gitar dari Untung Basuki, waktu itu dia pernah
mengantarkan bekas kekasihnya ikut latihan menyanyikan lagu-lagu puisi. Gemulai
penari di Pendopo Agung Tamansiswa.
Kenangan-kenangan itu
menyergap. Tiba-tiba dia rindu teman-teman lama. Menghabiskan malam bersama di
bawah beringin Paku. Makan di angkringan depan kampus yang dibayar setelah
mengambil honor puisi atau cerpen yang terbit. Wajah-wajah yang tak hirau
dengan lapar demi menemukan diksi yang paling seksi.
Dia terdiam. Dadanya
bergemuruh dengan kenangan beberapa tahun silam.
***
Setelah menyeruput, dia
menyalakan rokoknya. Kembali diletakkan jemarinya di tuts laptop. Membuka situs
jaringan sosial. Facebook. Betapa senangnya dia bertemu teman-teman lama.
Teman-teman yang rajin ke loper-loper koran setiap minggu pagi. Hasta
Indriyana, si penyair muda. Di facebook dia juga bertemu dengan Teguh Winarsho
A.S., yang dulunya hampir setiap minggu cerpennya ada di koran. Dia juga
bertemu Satmoko Budi Santoso, Sapardi Djoko Damono. Orang-orang ini sering
menjadi inspirasi dia waktu rajin-rajinnya menulis sastra di semester-semester
awal perkuliahaan. Bahkan dia bertemu dengan Agus Noor, cerpenis idolanya, yang
betapa piawainya mem-fiksikan perselingkuhan.
Entah kenapa tiba-tiba
dia kembali ingin menulis sastra. Barangkali karena rindu, betapa ingin dia
menulis dan dibaca teman-teman lamanya.
Di hari yang lain, ketika
gerimis pertama musim semi jatuh di Kota Sofia, lewat internet dia
bercakap-cakap dengan teman. Dari teman ini dia mendapat beberapa e-mail
redaktur sastra koran di negaranya. Kemudian kepada salah satu redaktur dia
menulis:
Mas, bagaimana kabar di
Indonesia? Sungguh saya teramat rindu. Berikut ini saya kirimkan sebuah cerpen,
semoga bisa terbit di surat kabarmu. Maafkan aku, jika ceritanya bukan soal
perselingkuhan.
Sofia, Maret 2010
1) Peristiwa Mandor:
Pembantaian besar-besaran yang dilakukan fasisme Jepang saat berada di
Kalimantan Barat (1942-1945). Pada saat itu dikenal juga dengan istilah
pembunuhan satu generasi Kalbar, kerabat kerajaan, para cendikia, sampai ke
rakyat kecil tewas dibunuh. Salah satu data menyebutkan 21.037 orang menjadi
korban.
/22 January 2012 http://sastra-indonesia.com/2012/01/sofia-cerpen-tentang-selingkuh-dan-kenangan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar