Rabu, 20 Januari 2021

MELIHAT KOTA, MEMBACA SASTRA

Imam Muhtarom *
 
Perkembangan kota sebagai sebuah ruang yang benar-benar berbeda dengan desa, telah mengubah bukan hanya di tingkat bagaimana penghuninya memenuhi kebutuhan ekonominya tetapi juga bagaimana kesadaran para penghuninya. Jika dalam masyarakat desa memiliki ketergantungan pada alam, maka masyarakat kota memiliki cara lain dalam memenuhi kebutuhannya. Sistem sebagai sarana pengelolaan segala kebutuhan masyarakat kota merupakan seperangkat cara agar segala kebutuhan dan kepentingan dapat terakumulasi dengan baik. Persoalan penyediaan tempat tinggal, kebutuhan makanan, dan sandang bukan lagi persoalan sederhana ketika semua itu melibatkan modal di satu sisi dan birokrasi di sisi lain. Modal adalah persekutuan dari berbagai jenis sumber yang semuanya mengarah pada pelipatan keuntungan. Sedangkan birokrasi mengurusi soal bagaimana mengelola kepentingan masyarakat secara administratif.
 
Kompleksitas muncul ketika persoalan akumumulasi modal berjalan sedemikian cepat dan menimbulkan tantangan baru bagi pola perkembangan sosial masyarakat. Pada perkembangan awal modal bergerak secara konvensional, pada tahap mutakhir modal telah bergeser ke arah bagaimana percepatan merupakan taruhan satu-satunya. Maka segala cara untuk menciptakan citra melalui iklan-iklan berupa baliho-baliho besar yang terpampang di sepanjang jalan hingga iklan-iklan yang menyerbu para pemirsanya melalui televisi di kamar-kamar pribadi merupakan bagian dari upaya pelipatan modal sebesar-besarnya. Karena itu persoalan modal di akhir abad 21 tidak hanya persoalan yang berkenaan dengan penindasan kelas pemilik modal dan kelas pekerja, tetapi perang citra yang berusaha menundukkan kesadaran masyarakat agar hanyut dalam “alam” konsumerisme. Di sinilah kemudian tesis tentang marxian mendapat sanggahan yang cukup meyakinkan bahwa kelas pekerja tidak dengan sendirinya akan menentukan pilihan-pilihannya berupa perebutan modal oleh kaum pekerja atas kaum pemilik modal. Kelas pekerja adalah bagian dari masyarakat yang menyenangi citra-citra sebagai sebuah gaya hidup. Sebuah bentuk kehidupan yang pada awalnya milik kelas menengah-atas namun kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari semua kelas, tak terkecuali kelas bawah.
 
Perombakan asumsi-asumsi dasar tentang pola hidup yang manual dengan digantikan dengan pola hidup yang bersifat simulatif dari sebuah kota adalah cara-cara yang utama dalam memahami pola hidup masyarakat kota. Salah satu pola simulatif yang tidak bisa diabaikan adalah bentuk ruang. Analisa mengenai ruang akan bergerak kepada pola ekonomi sekaligus bergerak pada pola kesadaran penghuninya sebagaimana akan tampak pada psikologi perkotaan. Sebagaimana laporan Newsweek edisi Oktober-Desember 2003 tentang perkembangan kota-kota di Asia Tenggara tidak lepas dari perkembangan ekonomi dunia ketiga yang belum mapan di satu pihak dan kesemrawutan sistem sosial yang tidak bisa dilepaskan dari ketidakmapanan sistem ekonomi-politik sebelumnya. Apakah, kemudian, kesadaran pada individu-individu penghuni kota bersifat determinis atas kecenderungan persoalan sosial-politik? Secara psikologi perkotaan jawabannya “ya”.
 
Ditilik dari perspektif di atas kita akan melihat kejanggalan pada buku kumpulan cerpen Kota Yang Bernama Dan Tak Bernama (Bentang Budaya dan Dewan Kesenian Jakarta, Desember 2003) jika menimbang tempat hidup pengarang di satu sisi dan tulisan yang mereka hasilkan pada sisi yang lain. Para pengarang cerpen tersebut, meskipun tidak asli di lingkungan metropolitan Jakarta, mereka tinggal di lingkungan metropolis. Tetapi kenapa tulisan-tulisan yang mereka hasilkan tidak menggambarkan pergulatan yang secara fisik dekat dengan mereka, malah menggambarkan nuansa pedesaan (ruralness). Atau jika tidak, menggambarkan kota tetapi lebih persoalan ketimpangan sosial yang terjadi di metropolitan Jakarta. Persoalan ketimpangan sosial bukan khas kehidupan kota tetapi bisa terjadi di manapun sejauh ada perbedaan kelas sosial yang memungkinkan adanya konflik-konflik sosial. Dalam arti ini, kesadaran kota sebagai implikasi ruang hidup tidak dilibatkan pada cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen Kota Yang Bernama Dan Tak Bernama.
 
Ketigapuluh teks cerpen dalam kumpulan ini memiliki kecenderungan untuk tidak menempatkan kota sebagai sebuah ruang di mana kesadaran individu berada. Kesadaran tokoh sebagai suatu ukuran sejauh mana ia terlibat dari segi latar, persoalan, dan menggambarkan implikasi yang bisa dilihat secara psikologis dalam ruang kota tidak mendapat penguraian yang memadai. Teks-teks tersebut bergerak dengan memperlakukan kota sebagai latar dan bukan memposisikan kota sebagai suatu unit kultural yang memungkinkan pola hidup tertentu dan, katakanlah, berbeda dengan kehidupan yang bukan kota. Dan dengan cara yang lebih spesifik memperlakukan persoalan kota Jakarta berbeda dengan, misal, kota Bandung atau kota Surabaya.
 
Upaya yang menonjol dari kota sebagai suatu persoalan khusus dalam kumpulan cerpen ini adalah cerpen “Kupu-Kupu Hinggap di Tangkai” karya Arie MP Tamba. Karya ini menampilkan persoalan kota berupa cerita hasil “tangkapan” seekor kupu-kupu kepada sebuah bunga atas perkelahian di sebuah halte antara seorang anak dan ayah tanpa mendapat tanggapan orang-orang di sekelilingnya. Sebuah karakteristik yang sulit ditemukan di wilayah pedesaan. Dimana norma-norma kebersamaan masih demikian melekat. Cerpen lain semisal “Keluarga Gerbong” karya Endang Supriadi, “Gaji” karya Humam S. Chudori, “Haji Imung” karya Yanuso Nugroho, “Percakapan Nomer-Nomer” karya Widyawati Oktavia, “Mauludan” karya S. Saiful Rahim, “Ode Untuk Selembar Rahim” karya Martin Aleide, “Cinta Begitu Senja” karya Asma Nadia merupakan karakteristik cerpen-cerpen di kota. Cerpen-cerpen tersebut berusaha meletakkan kota sebagai latar peristiwa, namun tidak menempatkannya sampai pada tingkat kesadaran tokoh-tokohnya. Tokoh masih berperan sebagai bidak yang dikendalikan oleh pandangan kelas sosial tertentu. Di sini tokoh masih seperti konsep dalam seni tradisional yang menempatkannya dalam stereotip baik-buruk atau memang-kalah.
 
Dikotomi ini sesungguhnya sama sekali mengabaikan pergeseran sosial dan budaya yang ekstrem tatkala terdapat “teori” yang hitam-putih dalam memperlakukan tokoh. Tokoh yang sesungguhnya lebih fiktif daripada latar karena sifatnya yang konstruktif dari permainan alur, sudut pandang, tema. Dengan adanya tokoh yang khas dengan karakter-karakternya maka sebuah cerpen sesungguhnya telah berhasil mengguratkan identitas. Pertaruhan atas identitas tokoh inilah yang menyebabkan cerpen Kafka, Marcel Proust, Marquez, Budi Darma maupun Sony Karsono mendapat penilaian tidak saja sebagai fase perkembangan dalam khazanah sastra tetapi juga peradaban. Sebab tokoh adalah gambaran yang lebih sublim karena ia menjadi sebuah “tanda” dari pendalaman suatu struktur ektrinsik cerita di satu sisi sebagai tahapan sejauh mana cerpen menautkan dirinya dengan persoalan dan struktur intrinsik pada sisi yang lain sebagai tahapan sejauh mana cerpen membangun kapasitasnya sebagai karya tekstual.
 
Kembali pada sastra kota, sesungguhnya tidak harus untuk membahas apakah ketigapuluh cerpen dalam Kota Yang Bernama Dan Tak Bernama menggunakan moda penceritaan realis atau non realis sebagaimana dituliskan oleh para penyunting. Berkaitan dengan sastra kota yang mestinya justru dipersoalkan adalah sejauh mana ketiga-puluh cerpen memiliki kecenderungan untuk menempatkan kota sekedar latar cerita hingga mengabaikan kota sama sekali dengan mengangkat persoalan di wilayah pedesaan. Di sini ada gejala keterbelahan (split) karena mengingkari antara apa yang didiami penulisnya dan apa yang dituliskannya. Terdapat jarak antara badan dan jiwa ketika hubungan penulis dan hasil tulisannya menunjukkan pengingkaran. Sampai di sini saya teringat cerpen Sony Karsono yang berjudul “Sukra” dalam Imsonia Masyarakat Hiperrealis (1996) yang menempatkan kota tidak sekedar latar tetapi telah menjadi kesadaran para tokoh-tokohnya. Kota bukan lagi ruang fisik tetapi menjelma imaji-imaji chaos yang merupakan salah satu kekhasan kehidupan individu dalam masyarakat kota. Secara sosiologis ataupun dalam studi-studi mengenai perkotaan cara cerpen tokoh utama “Sukra” mengalami diri dan dunianya demikian khas karena melibatkan sistem-sistem yang membentuk struktur di mana kesadaran tokoh tersebut berada. Berikut cuplikannya,
 
Ada gempar di Kota Lama. Suatu hari, seorang lelaki berkelanan di sebuah plaza tanpa busana. Ia hanya tersenyum ramah bila para pengunjung plaza mengoloknya sebagai orang gila. Ia duduk bertopang dagu pada tangga eskalator. Berendam dalam kolam air mancur lantai dasar. Bercengkerama dengan burung gereja di atap plaza. Dan di sebuah butik, ada mannequin yang gemetar ketika lelaki itu mengecup daun telinganya Telinga plastik?…
 
Adanya kebertautan antara artefak-artefak khas kota, yakni benda-benda di mall dengan tokoh menghasilkan cara tersendiri bagaimana dunia orang kota terbentuk. Hubungan semacam ini tentunya sama sekali berbeda dengan seorang yang tinggal di wilayah yang bukan kota, dan meskipun kota, ia tetap memiliki kekhasan. Katakanlah kota Jakarta atau kota Surabaya, atau bahkan kota New york. Sebagaimana dikatakan Edward W. Soja dalam Postmetropolis (2000) setiap kota memiliki caranya sendiri dalam hal mengelola hidupnya sebab hal ini berkait dengan sejarah yang menentukan arah perkembangan masing-masing kehidupannya.
 
Namun jika cerpen-cerpen dalam Kota Yang Bernama Dan Tak Bernama memiliki hubungan yang tidak korelatif karena adanya sebuah pengingkaran antara dimana penulis tinggal dan hasil tulisannya, persoalannya bukan berhenti pada masalah ketidakmampuan para penulis dalam hal menghadapi situasi kekiniannya. Namun persoalannya meluas dengan persoalan beban masa lampaunya, beban sejarahnya, sehingga seolah mereka gagu untuk berbicara kondisi kekiniannya, kondisi kotanya.
***

*) Imam Muhtarom, lahir 12 Mei 1977. Lulus dari fakultas sastra Unair tahun 2001. Menulis fiksi, resensi buku, artikel sastra, dan karya terjemahan. Berbagai tulisannya tersebar di pelbagai media antara lain Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Kalam, Jurnal Anarki, Majalah Bahana (Brunei), Kompas, Jurnal Nasional, Media Indonesia, The Jakarta Post, Koran Tempo, Suara Karya, Jawa Pos, Sinar Harapan, Republika, Surabaya Post, Surya, Surabaya News, BUSOS, Jawa Pos, Suara Merdeka, Bali Post, Lampung Pos, Riau Pos, Karya Dharma, Memorandum. http://sastra-indonesia.com/2009/04/melihat-kota-membaca-sastra/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita