Latief S. Nugraha *
caknun.com, 24 Mar 2018
Sebuah panggung di tengah
kampung — sebagaimana rutin digelar sesudah dan selanjutnya, lampu menyala
terang-benderang, permadani dihamparkan, alat musik serta pengeras suara telah
rapi tertata. Di hadapannya, halaman luas membentang. Di sekitarnya, berdiri
rumah-rumah warga yang rapat dan hangat.
Tempat itu seperti magnet
yang menarik minat orang-orang dari segala penjuru, dari beragam latar
belakang, baik lelaki maupun merempuan, berbondong-bondong datang. Sebagian
besar dari mereka masih berusia muda dengan energi yang kuat bergelora. Ada
ciri khas yang mendominasi, para lelaki mengenakan peci berwarna merah putih di
kepala. Semakin malam semakin banyak orang berdatangan. Mereka menamakan diri
Jamaah Maiyah.
Ya, latar yang saya
ceritakan ini adalah suasana Mocopat Syafaat yang digelar setiap tanggal 17 malam
di halaman TKIT Alhamdulillah, Tamantirto, Kasihan, Bantul. Begitulah gambaran
yang terekam mata ketika untuk pertama sekaligus terakhir kali saya menghadiri
acara tersebut. Oleh karena itu, sungguh saya tidak berani mendaku sebagai
bagian dari Jamaah Maiyah. Saya bukan bagian dari para pencari kesejatian ilmu
itu.
Benar-benar kewanen jika
kemudian saya menyiarkan bahwa telah menyusun buku tentang Emha Ainun Nadjib
dan akan menerbitkannya. Gendon, Pèncèng, dan Beruk pasti kemekelen
menertawakan saya. Apa yang bisa saya sampaikan mengenai magnet dengan daya
tarik luar biasa besar yang telah membuat majelis mulia masyarakat Maiyah
berlangsung bertahun-tahun?
Tentu saja apa yang saya
ketahui mengenai sosok Cak Nun, dunia, dan karyanya hanya sepanjang kuku ireng
di jemari tangan. Itulah sebabnya, buku yang mula-mula adalah penelitian tesis
dengan judul “Emha Ainun Nadjib dalam Arena Sastra dan Arena Sosial” yang
dikerjakan selama tahun 2013 hingga 2014 itu diubah judulnya menjadi Sepotong
Dunia Emha.
Yang sepotong tentu saja
pengetahuan saya tentang Cak Nun. Sehingga hanya sepotong kecil dunia, hanya
secuil dunia Cak Nun yang dengan sok-sokan saya ulas menggunakan teori seorang
ahli filsafat dan sosiologi Prancis bernama Pierre Bourdieu. Semoga saja pemahaman
mengenai pendekatan itu benar dan baik. Jika pun tidak, semoga sedikit hal yang
saya ketahui dan ketengahkan mengenai Cak Nun dapat memberi manfaat.
Sungguh, sebenarnya saya
sangat tidak percaya diri untuk mengulas hal ini. Oleh karenanya sebelum menulis
catatan mengenai buku Sepotong Dunia Emha, terlebih dahulu saya meminta
pendapat kepada Asef Saeful Anwar yang telah merelakan waktu dan ilmunya untuk
membaca naskah buku ini dan menyuntingnya.
Sebuah pertanyaan saya
ajukan, dan Asef Saeful Anwar menyodorkan bayang-bayang jawabannya. Pertanyaan
saya sederhana, “Kira-kira bagaimana tanggapan Cak Nun setelah membaca buku
Sepotong Dunia Emha, buku tentang sosoknya?” Ia pun menjawab, “Barangkali Cak
Nun akan berkata begini: Saya tidak pernah memikirkan diri saya sendiri. Apa
yang saya lakukan semuanya mengalir. Saya hanya berusaha memanusiakan manusia,
baik lewat dialog budaya, aktivitas sosial, maupun dalam tulisan, dalam sastra.
Jadi, saya tidak menyangka kalau langkah saya sedemikian terstruktur seperti dalam
buku ini.”
Bisa jadi demikian
kiranya tanggapan Cak Nun setelah membaca dirinya dalam buku yang diterbitkan
oleh Penerbit Octopus ini. Sekali lagi, itu hanyalah sebuah bayang-bayang
perkiraan. Maka, bukan suatu hal yang berlebihan kiranya jika pada suatu hari
nanti, pada peringatan ulang tahun Cak Nun ke-65 tanggal 27 Mei 2018 misalnya,
digelar acara untuk membicarakan buku ini. Dan pada forum itu kita dengar
bersama bagaimana tanggapan beliau.
Namun, sebelum menggapai
imajinasi-imajinasi itu, ada baiknya saya paparkan latar belakang yang
melandasi pikiran saya untuk mengulas Cak Nun, dunia, dan karyanya.
Sesungguhnya pemantik api
yang mengobarkan gagasan ini amat sangat sederhana, yakni catatan mengenai Cak
Nun tidak lebih banyak dari catatan yang ditulis oleh Cak Nun mengenai banyak
hal. Sungguh tidak sebanding apa yang telah dilakukan oleh Cak Nun dengan apa
yang telah dilakukan untuk Cak Nun.
Meskipun demikian,
sebagaimana telah saya sampaikan di muka, buku kecil yang saya susun ini hanya
menjelaskan sepotong dari semesta Emha Ainun Nadjib. Untuk menerang-jelaskan
Cak Nun sama halnya membaca kembali lembar demi lembar tulisan-tulisan beliau
dan tulisan-tulisan tentang beliau.
Membaca kembali lembar
demi lembar tulisan-tulisan beliau dan tulisan-tulisan tentang beliau sama
halnya membaca kembali beragam peristiwa sejarah yang tertindih, ditindih,
luput, lepas, hilang, dimusnahkan dari narasi besar yang ada di Indonesia.
Melalui catatan kecil ini
saya ingin menyampaikan bagian kecil isi buku kecil yang tidak sebanding dengan
kebesaran nama Cak Nun beserta segala predikat yang tersemat di pundak beliau.
Saya sadar betul siapa sosok yang namanya tengah saya ketik dengan ujung jemari
tangan ini. Yang saya tulis hanya sesobek buku harian Indonesia dari buku tua
yang sesungguhnya amat sangat tebal.
Emha Ainun Nadjib yang
kemudian lebih karib disebut Cak Nun, rasa-rasanya sudah sering saya jumpai di
masa kecil dahulu. Beliau sering nongol di televisi nasional kala itu. Nama dan
wajah beliau kemudian juga saya temui di koran dan majalah langganan orang tua
saya, serta di sejumlah buku sastra di perpustakaan sekolah. Seingat saya,
beberapa waktu beliau memancarkan sinar yang teramat terang lantas menghilang
dari pandangan seperti meteor di angkasa.
Kaya dudu karepe dhewe,
seperti bukan kemauan sendiri, saya dipertemukan lagi dengan beliau melalui
karya lawasnya Syair Lautan Jilbab di pusat buku murah Shopping saat belajar
sastra di Universitas Ahmad Dahlan. Buku tersebut kemudian menjadi objek
material skripsi saya. Tidak perlu saya sebutkan judulnya, jujur saya malu mau
menuliskannya di sini.
Saya juga tidak tahu apa
yang membuat saya kelak di kemudian hari ketika melanjutkan belajar sastra di
Universitas Gadjah Mada berpikir untuk memakai objek material karya-karya Cak
Nun dalam semua tugas-tugas yang diberikan, selain tugas Filologi dan Sastra
Lisan. Hingga kemudian saya menemukan pendekatan yang cukup pas dan luas untuk
membicarakan Cak Nun, dunia, dan karyanya–seperti yang sudah saya singgung,
yakni sosiologi sastra Pierre Bourdieu. Pengampu mata kuliah ini Dr. Aprinus
Salam.
Bukan suatu kebetulan,
waktu itu kakak kelas saya yang kemudian mengeditori buku Sepotong Dunia Emha
ini, Asef Saeful Anwar, tengah menyusun tesis menggunakan pendekatan sosiologi sastra
Pierre Bourdieu mengenai Persada Studi Klub berjudul “Persada Studi Klub:
Disposisi dan Pencapaiannya dalam Arena Sastra Nasional” yang kemudian
diterbitkan menjadi Persada Studi Klub dalam Arena Sastra Indonesia.
Selain itu, satu teman
lagi yang mengerjakan penelitian dengan pendekatan yang sama ialah I Made
Astika dengan judul tesisnya “Pergulatan Umbu Landu Paranggi dalam Arena Sastra
di Bali: Tinjauan Sosiologi Sastra Pierre Bourdieu”.
Sebagaimana telah
diketahui bersama, Malioboro mungkin telah kehilangan Cak Nun, tetapi Cak Nun
tidak pernah kehilangan Malioboro. Cak Nun tidak bisa dilepaskan dari Persada
Studi Klub dan Umbu Landu Paranggi.
Melihat dua kakak kelas
saya mengerjakan penelitian yang saling berkait itu, mengapa tidak saya
melengkapinya dengan menghadirkan Cak Nun. Semakin yakin saya gunakan
pendekatan sosiologi sastra Pierre Bourdieu untuk menelisik lebih dalam
mengenai Cak Nun. Berbekal koleksi buku-buku Cak Nun dan buku-buku tentang
beliau, saya dedah struktur arena sastra dan arena sosial Cak Nun.
Cak Nun merupakan sosok
multitalenta dan multidimensi yang tidak dapat dilepaskan dari dua perannya
sebagai penulis dan aktivis sosial. Citra karismatik Cak Nun di arena sastra
dan arena sosial bersinar terang, sebagai lintang panjer wengi sekaligus
lintang panjer rina. Meskipun, berdasar pendekatan sosiologi sastra Pierre
Bourdieu, berkenaan dengan arena produksi kultural, arena seni, dan arena
sastra beliau harus dilepaskan dari dilema citra karismatik. Padahal citra
karismatik Cak Nun ada dalam sosoknya dan lekat dengan kehidupan pribadinya.
Beliau seperti dilimpahi karomah oleh Tuhan. Menjumpai hal ini, saya merasa
kesulitan melepaskan pakaian yang dikenakan oleh Cak Nun.
Emha Ainun Nadjib
berbeda. Cak Nun melakukan “perlawanan budaya” yang disebut beliau dengan
melakukan dekonstruksi pemahaman nilai, pola komunikasi, metode perhubungan
kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi masalah
masyarakat.
Oleh karenanya, meskipun
tidak terjadi tubrukan langsung antara pendekatan yang saya gunakan dengan
hasil temuan dari sosok Cak Nun, ada garis lurus yang menghubungkan antara
dasar dan puncak temuan-temuan itu, yakni sastra. Sebagai sebuah kajian sastra
mendapatkan kesimpulan bahwa Cak Nun tidak pernah akan bisa dilepaskan dari
sastra (baik dunia maupun pola pikir) tentu saja menjadi sebuah hasil akhir
atau kesimpulan yang sesuai dengan harapan.
Sepotong Dunia Emha,
sepotong Indonesia dari sepotong tempat dan sepotong waktu.
***
Latief S. Nugraha, lahir
Rabu Pahing 6 September 1989 di Gebang, Sidoharjo, Samigaluh, Kulon Progo.
Tahun 2007 hijrah ke Yogyakarta, menempuh pendidikan di Prodi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia UAD. Tahun 2012, melanjutkan pendidikan di Program
Pascasarjana Ilmu Sastra UGM. Sejak akhir 2010, bergabung di Studio Pertunjukan
Sastra, yang rutin setiap bulan menggelar Bincang-Bincang Sastra. Mengelola
acara sastra yang diselenggarakan beberapa komunitas dan lembaga; Teater JAB,
PKKH UGM, Balai Bahasa DIY, Rumah Maiyah, Taman Budaya Yogyakarta, dan Dinas
Kebudayaan DIY. Bersama beberapa sastrawan, tahun 2015 menggagas sekaligus
merintis berdirinya Himpunan Sastrawan dan Komunitas Sastra DIY.
Tulisan-tulisannya
dipublikasikan di beberapa media massa cetak, daring, diikutsertakan lomba, dan
terhimpun di sejumlah buku antologi bersama. Buku-bukunya: Menoreh Rumah Terpendam
(kumpulan puisi, Interlude, 2016), Sepotong Dunia Emha (hasil penelitian, Octopus,
2018), dan Pada Suatu Hari yang Mungkin Tak Sebenarnya Terjadi (kumpulan puisi,
Interlude, 2020).
Menyusun dan menyunting
sejumlah buku sastra dan kebudayaan: Antologi Puisi 99 Penyair Yogyakarta,
Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya (Iman Budhi Santosa dan Mustofa W. Hasyim,
ed.), Antologi Geguritan 33 Penggurit Yogya, Sesotya Prabangkara ing Langit Ngayogya
(Iman Budhi Santosa dan Mustofa W. Hasyim, ed.), Tiga Belas: Catatan Perjalanan
Studio Pertunjukan Sastra, Astana Kastawa (I dan II), Antologi Karya Sastra
Leluhur Sastrawan Indonesia di Yogyakarta, Metiyem: Pisungsung Adiluhung untuk
Umbu Landu Paranggi (Latief S. Nugraha, ed.), Ngelmu Iku Kalakone Kanthi Laku:
Antologi Proses Kreatif Sastrawan Yogyakarta (Iman Budhi Santosa, Herry
Mardianto, Latief S. Nugraha, ed.), Mata Khatulistiwa: Antologi Puisi Penyair
Nusantara, Direktori Seni Budaya Yogyakarta, dll.
Terlibat di keredaksian
majalah sastra maiyah Sabana, kalawarti basa Jawa Pagagan Balai Bahasa DIY, dan
majalah budaya Mata Jendela Taman Budaya Yogyakarta. Nomor ponsel: 085292588555,
e-mail: snugrahalatief@gmail.com, @latiefsnugraha (Instagram), Latief S. Nugraha
(Facebook/YouTube). http://sastra-indonesia.com/2020/12/secuil-dari-sepotong-dunia-emha/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar