Rabu, 18 November 2020

LELAKI CACAT ITU

Arafat Nur
Harian Aceh, 21 Des 2008
 
SUARA lelaki itu mengingatkan Nur pada seseorang. Suara yang akrab, yang datangnya dari masa lalu. Nur berusaha meraba-raba, menerka-nerka, siapakah pemilik suara yang sama itu. Tapi terlalu sulit menangkap kenangan lalu. Sebab dia sudah melupakan semua itu setelah Jamali suaminya hilang atau mungkin meninggal tiga tahun lalu….
 
“Apa Bapak pernah tinggal di sini?” selidik Nur.
 
“Saya lupa. Barangkali saja saya pernah singgah sebentar di sini. Banyak tempat yang saya singgahi. Saya jadi lupa,” jawabnya.
 
Nur jadi maklum. Dia yakin kalau lelaki itu bukan teman sekolahnya. Atau temannya masa remaja. Terlampau banyak untuk dihitung, siapa-siapa saja temannya dulu. Memang sebagian banyak sudah terlupakan, barangkali karena jarang bertemu. Apalagi dia sering berpindah-pindah tempat pula, mengikuti suaminya.
 
Ingatan Nur dalam dua tahun terakhir ini memang sulit setelah dia terjatuh dan kepalanya membentur tembok. Menurut psikiater kemungkinan besar Nur terkena amnesia ringan. Dia memang sering lupa-lupa ingat terhadap kejadian masa lalu, yang kadang sering membingungkan.
 
“Bapak pesan apa?” tanya Nur tersadar.
 
“Mi rebus. Jangan terlalu pedas ya?”
 
Perempuan itu menyiapkan sepiring mi rebus. Sepeninggalan suaminya dia membuka usaha kecil-kecilan di halaman rumahnya yang sempit itu. Tak ada yang bisa dikerjakan lain untuk menutupi kebutuhan hari-hari dan biaya sekolah anaknya. Jika saja suaminya masih hidup, tentu saja kehidupannya tak jadi begini.
 
Kehidupan janda itu terus morat-marit sejak suaminya pergi. Tak ada tanah atau peninggalan lain selain rumah yang ditempati saat ini. Lagi pula suaminya bukan pegawai negeri. Pekerjaannya serabutan, dari kenek bus umum, penjaga toko, sopir, dan pengumpul barang bekas. Terakhir dia sering memasok barang-barang dari Medan ke Banda Aceh.
 
Sejak ombak raya laut menghantam kota Banda Aceh itu, suaminya tak pernah muncul-muncul lagi, juga teman-teman kerja yang biasa sering muncul menjembut suaminya di rumah. Nur tidak mengenal dekat teman-teman suaminya itu, mungkin juga karena kurang peduli urusan suaminya di luar rumah. Sejauh ini dia cukup mengenal suaminya sebagai lelaki yang paling baik dan setia. Itu lebih dari cukup bagi Nur.
 
Lelaki yang mengaku bernama Rustam itu merupakan penghuni baru di kampung itu. Semula Nur mengira kalau dia seorang pengemis. Sebab hampir sekujur fisik lelaki itu cacat. Selain tangan kirinya yang tanpa jari, bentuk wajahnya pula tidak seimbang. Mata kananya terkatup, bagian hidung kanan seperti sompel, letak bibir itu tidak semetris, dan jalannya pincang.
 
Sulit baginya membedakan antara cacat bawaan atau cacat kecelakaan. Nur tidak ingin bertanya, apakah cacatnya itu karena pembawaan sejak lahir atau oleh kecelakaan. Dia takut pertanyaan itu menyinggung perasaan, atau mengembalikan ingatan lelaki itu pada sesuatu kejadian yang tidak menyenangkan.
 
Sekarang Nur ingat kalau dia tidak pernah memiliki teman cacat, apalagi yang bernama Rustam. Jadi sungguh mustahil kalau lelaki itu pernah akrab dengannya. Mungkin saja suaranya yang sedikit serak itu menyerupai suara salah satu temannya. Siapa ya? Nada dan getar suara itu seperti begitu kental dalam kehidupannya. Ah, tapi untuk apa semua itu dipikirin!
 
Namun, kehadiran lelaki itu seperti mengungkit suatu kenangan. Bukan wajahnya, tapi suaranya yang terasa begitu akrab dan kental. Memang banyak manusia yang memiliki kemiripan suara yang kadang sulit dibedakan. Bisa saja kalau suara Pak Rustam itu mirip dengan suara salah satu temannya masa sekolah dulu. Tapi cuma suaranya, bukan fisiknya.
 
Perempuan itu meletakkan pesanan di meja lelaki itu dan berusaha menatap wajahnya sesaat. Lelaki itu pura-pura sibuk, terkesan menghindari tatapan janda itu. Barangkali dia malu pada dirinya sendiri yang cacat. Nur berpikir, alangkah malangnya lelaki itu. Barangkali dia terbuang dari keluarganya.
 
“Maaf, apa Bapak punya keluarga?”
 
Sesaat dia berpikir, menghentikan kunyahannya, “Ada. Tapi sudah pisah,” jawabnya.
 
“Kenapa?”
 
Lelaki itu berpikir kembali, “Ceritanya panjang….”
 
“Apa…” Nur tak jadi melanjutkan pertanyaan, sebab dia menangkap kesan kalau lelaki itu agak terganggu dengan pertanyaannya.
 
Lelaki yang sekarang tinggal di meunasah itu memang sudah menjadi langganan tetapnya. Tempat jualan Nur cuma berjarak belasan meter dari meunasah. Sejak kehadiran lelaki itu anak-anaknya Faril, Nuril, dan Fadel biasa main ke meunasah, asyik melihat pekerjaan lelaki itu yang merajut daun rumbia untuk dijadikan atap. Cuma itu keterampilan Pak Rustam.
 
Pokok rumbia banyak bertebaran di kampung itu. Pelepah-pelepah rumbia memberikan bahan baku yang cukup baginya. Halaman belakang meunasah itu yang tidak terlalu luas sudah cukup bagi tempatnya bekerja. Setiap masuk waktu salat, lelaki itu menghentikan pekerjaannya. Suaranya yang parau mengalut lewat cerobong pengeras suara. Sudah lama memang azan tak lagi berkumandang dari sana, kecuali pada waktu magrib saja. Orang-orang mengasihinya sebab dia peduli pada meunasah, dan hidupnya tidak jadi peminta-minta.
 
Melihat kondisi keluarga Nur, Pak Rustam merasa bertanggung jawab. Meskipun tidak banyak membantu, seringkali dia memberikan uang saku dan biaya sekolah. Jika atapnya laku banyak, dia juga membelikan beras dan keperluan dapurnya bagi Nur. Lagi pula Fadil sering mengantarkan rantang ke meunasah. Secara tak langsung lelaki itu sudah menjadi bagian dari keluarga itu.
 
Suatu hari saat Pak Rustam menyantap hidangannya di warung Nur, sekelompok orang datang menagih utang. Memang tidak terlalu banyak, tapi bagi Nur uang sejumlah itu begitu berat. Orang-orang yang datang dengan mobil bak terbuka itu tidak mau mendengar alasannya lagi. Mereka mengobrak-abrik dagangan Nur, dan mengangkut meja, rak mi, dan kursi-kursi ke atas mobi.
 
Melihat kejadian di depan mata itu, lelaki cacat yang sedari tadi diam itu mendadak bangkit. Dia membuka dompet, tapi uangnya tidak cukup untuk membayar hutang itu.
 
“Ini saya bayar sebagian. Datanglah dua tiga hari lagi, saya akan melunasinya,” ucapnya pada seorang laki-laki yang berbadan atletis.
 
Lelaki itu menatapnya sinis, rendah, mungkin karena lelaki itu cacat, “Boleh saja kau bayar. Ini untuk menutupi hutangnya yang kurang. Tapi barang-barang ini tetap kami bawa,” ucap lelaki itu seraya menyambar uang yang ada pada tangannya.
 
“Tak bisa begitu. Ibu ini kehilangan pekerjaanya,” Pak Rustam berusaha menahan diri.
 
“Itu urusan kamu sendiri, Pengemis!”
 
Mendengar hinaan lelaki itu, tangan kanan Pak Rustam yang masih kekar itu menghantam wajah si Atletis. Segera saja lelaki itu membalasnya. Hanya beberapa saat terjadi perkelahian yang tak seimbang. Lelaki itu dikeroyok ramai-ramai. Akhirnya orang-orang itu pergi setelah Pak Rustam terkapar.
 
Janda itu segera berlari, menghampiri lelaki cacat itu yang meringkuk kesakitan di pinggir jalan. Darah keluar dari hidung dan mulutnya. Nur merasa begitu kasihan, semua itu karena dia telah membelanya mati-matian.
 
“Kenapa Bapak sampai berbuat begitu?” tanya Nur terisak.
 
Lelaki itu memalingkan wajah, “Karena aku tidak bisa melihat kesewenang-wenangan mereka terhadapmu.”
 
“Tapi Bapak dipukuli begini….”
 
“Biar saja. Saya lebih suka dipukuli daripada diam saja.”
 
“Bapak tak perlu mati-matian membela begitu,”
 
“Perlu!”
 
“Kenapa?”
 
“Karena itu tanggung-jawab saya,” ucap lelaki itu dengan bibir bergetar.
 
“Siapakah Bapak sebenarnya,” tanya Nur curiga karena dia hampir bisa menangkap getaran suara yang pernah cukup akrab dengannya.
 
“Saya bukan siapa-siapa….” lelaki itu menyembunyikan wajahnya.
 
Ketika melipat lengan baju itu, Nur terkejut melihat tanda tahi lalat di lengan kanan lelaki itu. Pikirannya pun begitu deras mengejar ingatan antara tanda itu dan getaran suaranya.
 
“Bang Jamali!” ucapnya, “Kau suamiku!”
 
“Bukan. Aku bukan suamimu. Suamimu tidak cacat!” ucap lelaki itu bangkit.
 
“Aku menerimamu apa adanya, Bang. Pulanglah!”
 
Lelaki itu berbalik, tapi sesaat kemudian tubuhnya rebah. Nur berlari memangkunya, “Seharusnya Abang mengatakan apa adanya….”
 
“Maafkan aku Nur…. Maafkan aku…. Aku tak ingin kau terbeban dengan kondisiku. Bebanmu mengurus anak-anakku sudah cukup berat….”
***
 
Lhokseumawe, 29 April 2008.
 

ARAFAT NUR, lahir di Lubuk Pakam (Deli Serdang-Sumut), 22 Desember 1974, berdarah Aceh asli, Arafat besar dan menempuh pendidikan di Aceh. Pernah jadi tenaga pengajar di Dayah Babussalam (1992-1999), dan menjadi pegawai honorer SMU Meureudu-Aceh Pidie (1994-1999). Lalu pindah ke Lhokseumawe bekerja sebagai jurnalis. Dia dipercaya sebagai Ketua Divisi Sastra pada Yayasan Komunitas Ranub Aceh (KRA). Menulis puisi, cerpen, dan artikel di berbagai media massa. Ia pernah mengikuti pertemuan Sastrawan se-Sumatera yang di selenggarakan DKA/Lempa di Banda Aceh (1999). Pernah mendapatkan hadiah terbaik lomba penulisan cerpen Taman Budaya Aceh (1999), Harapan I Lomba Cerpen Telkom Online 2005 menyambut hari Kartini, juara III Nasional lomba penulisan novel Forum Lingkar Pena (2005). Puisinya ikut dalam antologi “Keranda-keranda” (DKB, 2000), “Aceh dalam puisi” (Assy-syaamil, 2003), “Mahaduka Aceh” (PDSHB.Jassin,2005), sedang cerpennya dimuat dalam antologi cerpen “Remuk” (DKB,2000). Novelnya yang telah terbit “Meutia Lon Sayang” (dar! Mizan, 2005), “Cinta Mahasunyi” (dar! Mizan, 2005), “Percikan Darah di Bunga” (Zikrul Hakim,2005), dll. https://sastra-indonesia.com/2020/11/lelaki-cacat-itu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita