Pos Kupang, 25 April 2010
PADA mulanya adalah cahaya. Cahaya itu bersumber dari rahim matahari. Cahaya itu bersama-sama dengan kami. Dan cahaya itu telah menjadi bagian dari kehidupan kami.
Di negeri ini, tanpa cahaya, tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Cahaya adalah denyut kehidupan kami.
Cahaya itu menerangi kegelapan dan kegelapan tidak menguasainya. Tapi, matahari telah lama menghilang dari langit kami. Dan malam pun seolah abadi di negeri kami. Hingga segala yang kami saksikan hanyalah gelap.
Hingga segala yang kami lakukan dinaungi gelap. Hingga kami terus-menerus berusaha memahami dan mulai menerima gelap sebagai bagian dari masa depan kami. Dan kami tahu, dalam waktu lama, kami tak akan lagi menikmati pagi. Dan matahari.
Semuanya terjadi seperti mimpi. Padahal baru kemarin rasanya kami melintasi sungai-sungai cahaya yang hangat dan menenangkan.
Cahaya-cahaya itu mengalir dari sumber matahari, menghasilkan aliran-aliran yang begitu kemilau dan agung. Kami begitu menikmati suasana ketika duduk di tepiannya sambil menikmati kicau burung-burung kaca dari arah pelangi yang seakan kian megah ketika hujan usai menetes.
Kami pun bahagia memandangi cahaya yang lumer di jemari kami seperti melihat lelehan keajaiban bertabur butiran-butiran kehangatan. Jemari pun kami gerakan dan cahaya-cahaya itu terasa menari di antara jemari kami.
Membentuk sebuah gerakan ritmik yang mengundang kebahagiaan. Rasanya, tak ada duka yang mesti kami ratapkan, seperti dulu, di tepi sungai-sungai Babilonia, ketika nenek moyang kami duduk sambil menangis. Seperti ketika mereka menggantungkan kecapi mereka di tetangkaian gandarusa. Meski kelak kami tahu bahwa harapan kami akhirnya memudar.
Di tepian sungai cahaya itu, tumbuhlah pepohonan keemasan dengan buah-buah kemilau yang kemudian kami petik sebagai bekal bila malam sesekali berkunjung ke tempat kami.
Dedaunan tua dari pepohonan itu kami awetkan sebagai bekal perjalanan bagi anak-anak kami yang hendak bepergian mengadu nasib, agar mereka tak tersesat. Bila kegelapan menjumpai mereka di jalan, masih ada cahaya yang dapat menuntun mereka menemukan jalan yang harus ditempuh atau sekadar untuk kembali pulang.
Kadang, ketika hujan perlahan menetes di tepian sungai, air hujan membaur bersama cahaya yang perlahan mengalir, kemudian menciptakan jembatan pelangi di langit.
Kami pun berlomba memilih warna-warna kesukaan ketika melintasi jembatan pelangi, sambil sesekali menjumput sedikit warna pelangi lalu kami simpan sebagai cinderamata bagi sanak saudara kami yang tak sempat berpelesir bersama kami.
Ketika selesai mendepa jarak bumi dari atas pelangi, kami pun kembali ke tepi sungai cahaya, dan dapat kami saksikan air hujan yang menetes di sela dedaunan keemasan menitis mutiara perak yang bening dan menyilaukan.
Di cecabang pepohonan itu, tumbuh tunas-tunas baru yang lebih kemilau, menghadirkan gemerlap baru yang lebih benderang.
Cahaya pun menjadikan kami hidup dalam gembira dan gempita, hingga semua kegiatan kami seakan mengambang mengalir bersama sungai-sungai cahaya. Kebahagiaan itu pun dirasakan anak-anak kami yang berlari gembira sepanjang tepiannya sambil meloncat berusaha menangkap kupu-kupu dengan sayap-sayap berlian yang menggoda mereka untuk menggerakkan jemari kecil mereka.
Mereka pun tertawa riang sambil memandang dengan mata jernih yang menyimpan cahaya harapan. Serat- serat cahaya bagaikan telah menyatu dalam mata mereka.
Meski demikian, malam kadang suka berkunjung ke tempat kami. Sesekali menempatkan kami dalam cekam yang padam, seperti menghadirkan sekat-sekat pekat di antara jarak kami yang dekat. Menyelubungi kami, seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayap-sayapnya. Melepaskan kami menghitam dalam kelam, sambil membiarkan kami berharap semoga matahari cepat hadir memadamkan malam.
Di saat-saat seperti itu, kami seolah dibawa ke dunia kematian yang paling pekat. Di mana-mana, kami seperti mendengar jeritan dari ketakutan kami sendiri. Kami mulai membayangkan erangan-erangan panjang di antara padang-padang api dan belerang. Suara-suara penderitaan yang tertindih sedih bersama amis darah yang mendidihkan perih.
Meski dulu, cahaya tak pernah meninggalkan kami dalam waktu lama, tapi kami mulai mengambil pelajaran singkat dari mimpi buruk itu. Agar kelak, ketika cahaya benar-benar sekarat akibat lambungnya ditembusi tombak malam, kami dapat berdiri sendiri tanpa harus terus bergantung pada percikan kemurahannya.
Dan bila cahaya memuntahkan warna-warna pelangi dari dalam lambungnya yang terbuka dan terluka, ketika sakrat maut hanya berjarak sehelai kabut, kami dapat menyimpan warna-warna itu sebagai kenangan akan kebaikannya, meski kami tak akan bisa menggunakannya. Sebab, kami tahu, pelangi dan seluruh laskar warnanya tak akan berguna di hadapan kelam yang menyimpan padam.
Dan kini, mimpi buruk itu menjadi kenyataan. Malam begitu setia mendekam dalam rahim negeri kami seperti bayi kegelapan yang tak ingin dilahirkan. Kami tak tahu telah berapa lama hal ini terjadi. Roda-roda waktu yang berputar bagaikan karat oleh guyuran kelam sehingga setiap sekon begitu lambat bergulir.
Bahkan ketika hitungan waktu kami ubah ke dalam skala yang lebih kecil. Milisekon, nanosekon... semuanya berakhir dengan kepastian yang sama; senantiasa hanyalah kelam yang kami jumpai. Dan tak sedikit pun ketenangan yang dapat diberikan kelam.
Jika dulu cahaya menjadikan waktu-waktu selalu kurang bagi kami, kini kegelapan menjadikan setiap waktu lebih panjang dan berharga. Lebih panjang, karena ketakutan pastilah lebih menyiksa daripada kebahagiaan, dan setiap yang menyiksa terasa lebih panjang daripada segala yang menyenangkan.
Lebih berharga, karena dalam kesengsaraan gelap ini, kami dipaksa untuk mengenang kembali perbuatan- perbuatan kami yang menyimpang dari kebaikan ketika kami menikmati euforia cahaya. Sebuah harga yang begitu menyiksa.
Segala daya kami kerahkan. Segala upaya kami panjatkan. Sekadar memperkecil dampak kelam yang mencekam negeri kami atau hanya untuk melihat cahaya wajah keluarga kami. Tapi gesekan-gesekan usaha yang kami lakukan tetap tak dapat memercikkan cahaya lebih lama dari yang kami bayangkan.
Meski tertinggal sedikit kemilau dari cahaya bebuahan dan dedaunan tepi sungai cahaya, tapi semakin lama, cahaya-cahaya itu semakin pudar kilatannya. Kalau pun mampu menerangi, tetap tak mampu memenuhi segala harapan yang kami gantungkan padanya untuk menggantikan matahari.
Dan setelah bercahaya sekian lama, bebuahan dan dedaunan kami pun pasti akan kehilangan nyalanya. Hingga cahaya wajah keluarga kami semakin lama semakin memudar, seperti tersedot ke dalam lubang hitam tanpa dasar.
Kami pun hidup dalam sebuah kebutaan. Kebutaan yang massal dan serempak. Kebutaan yang mampu mengambil cahaya-cahaya harapan dari mata anak- anak kami. Setiap kami hanya mampu saling meraba- raba dan memanggil, memastikan bahwa kami masih bersama keluarga kami. Mereka-reka relief-relief usia yang ditinggalkan waktu di wajah anak-anak kami.
Sekadar meyakinkan diri kami bahwa anak-anak kami masih berada dalam dekapan kami. Jika dulu, ketika cahaya menjadi inspirasi hidup kami, anak-anak kami menjawab panggilan kami dengan tawa riang mereka, maka kini tangisan merekalah yang memastikan keberadaan mereka di dekapan kami.
Semakin lama, tangisan-tangisan itu semakin mengeras. Airmata-airmata semakin deras. Seperti ingin menggantikan kuncup-kuncup hujan yang kini mulai memekarkan dingin dari langit yang kelam. Sebagian neraka seolah ditumpahkan ke negeri kami. Neraka yang begitu gelap dan dingin.
Maka kami, sembari menyelimuti tubuh kami dari dingin dan menundungi kepala kami dari hujan, hanya dapat berharap bahwa janji itu akan ditepati. Janji bahwa bulu yang terkulai tidak akan dipatahkan. Bahwa sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan.
Semoga, kami, bangsa yang berjalan di dalam kegelapan ini, nantinya akan melihat lagi cahaya yang agung. Semoga, nanti, cahaya bersinar lagi atas kami yang mendiami negeri kekelaman ini. Semoga...
https://kupang.tribunnews.com/2010/04/25/ketika-kelam-mendekam-dalam-rahim-negeri-kami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar