Minggu, 22 November 2020

Chairil, si Penyair “binatang jalang”

Zul Afrita
padangekspres.co.id                              
 
Tuhanku/ Dalam termangu/ Aku masih menyebut namaMu// Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh// cayaMu panas suci// Tuhanku// aku hilang bentuk/ remuk// Tuhanku // aku mengembara di negeri asing// Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling. (Doa, Chairil Anwar). Meskipun telah tiada, namun Penyair “binatang jalang” itu tetap hidup bersama sajaknya. Ia menyampaikan sebentuk renungan, bahwa manusia sehebat apa pun, sekuat apa pun, setegar apa pun, tak seseorang pun mampu berpaling dari kekuatan yang Maha Kuasa. Penghambaan “aku” sempurna terlukis dalam sajak “Doa” di atas. Dengan sangat tulus dan jujur.
 
Seakan menampakkan kesadaran, Chairil memunajatkan doa kepada Sang Khalik. Ia merasakan dirinya tersalah, tersesat di negeri asing, terjebak dalam kehidupannya bebas, petualangan kumuh, morat-marit, kekacauan moral, bahkan kurang ajar. Seperti tak tanggung-tangung Chairil membandingkan dirinya dengan binatang jalang atau binatang buas dan liar. (dalam lirik sajak “Aku”: Debu Campur Deru).
 
Meskipun dikenal seorang bohemian, Charil seorang pujangga yang keras memagang prinsip, suka bekerja keras, teguh pendidirian, pada pilihan hidupnya. Ketika ia menulis pada lirik penutup sajak “Aku”: aku mau hidup seribu tahun lagi, namun di tengah kekerasan prinsipnya, ia sadar ada kekuatan Tuhan yang membuat ia tak mampu berpaling ketika Yang Maha Kuasa itu memanggilnya. Ia dijemput pada tanggal 28 April 1949 meskipun meninggal pada usia yang sangat muda, dalam usia 26 tahun 9 bula ia telah mewariskan karyanya: 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli dan 4 prosa terjemahan. Karena sangat berjasa dalam bidang sastra, maka Dewan Kesenian Jakarta memberikan hadiah anugerah sastra kepada sastrawan dan penyair dengan nama Anugerah Sastra Chairil Anwar, telah diterima oleh Moctar Lubis (1992) dan Sutarji Calzoum Bachri (1998).
 
Puisi merupakan cerminan masyarakat pada zamannya. Sehingga Chairil sebagai penyair angkatan ‘45 tidak takut akan sensor yang keras. Ia bebas menyatakan pendapat setelah diproklamirkan kemerdekaan Indonesia, maka gerak menjadi bebas, dinamis, relealistis, revolusioner, serta memancarkan sastra bernafaskan ‘45 yang dipeloporinya. Nursito (2000).
 
Ia merasakan ada sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya, budaya lama ia rasakan mengekang dirinya dalam berkarya. Kehidupan bebas telah membentuk ia tegar dan keras pada alasan dianggap benar. Meskipun akhirnya hatinya keras bak batu kembali lunak ketika dalam bermenung ia merasakan ada Tuhan seharusnya ia hambakan, ia anggap paling keras, bahkan ia terlarut dalam dunia asing adalah kehidupan membuat dirinya sering tidak mensyukuri nikmatnya dengan cahaya.
 
Pun dengan segala kekuatan Tuhan ia bisa menjadi seorang penyair yang mulanya ditentang orang-orang, dibenci, namun akhirnya ketika ia telah berpulang dan telah tiada orang-orang merasakan benar bahwa telah banyak yang diberikannya untuk kemerdekaan, untuk revolusi, untuk kehidupan ini, terlebih lagi dalam perjalan sastra Indonesia, ia berhasil menciptakan nilai baru dalan persajakan Indonesia dengan melepaskan diri dari budaya persajakan lama yang terikat dengan aturan baku. Akhrinya ia menciptakan dan menemukan gayanya sendiri sepanjang perjalanannya berkarya. Ia tidak terlalu mementingkan persajakan, bentuk, namun ia telah menciptakan sajak-sajak indah dan penuh nilai.
 
Emha Ainun Nadjib (1982), mengemukan ada beberapa kontribusi yang telah ditinggalkan si penyair “binatang jalang,” yang ditorehkan dalam sejarah perpuisian Indonesia modern dengan menggebrak gaya perpuisian lama, pertama, pembebasan dari konvensi puisi lama (pujangga baru dan seterusnya), kedua, pembebasan dari tekanan kepentingan propoganda politik, ketiga, perjuangan menegakkan apa yang dinamakan kemerdekaan berkreatifitas.
 
Sebagai manusia, Chairil bebas menentukan pilihan hidup sendiri seperti halnya orang lain. Semenjak dilahirkan di Medan, 26 Jui 1922, dari pasangan Toeloes (berasal dari Taeh, Kabupaten Lima Puluh Kota) dan Saleh (Koto Gadang, Bukittinggi). Sebagai penyair, ia merangkai kata-kata mencipta metafor, dari ungkapan sehari-hari yang lebih sederhana dan mudah dipahami, namun terkadang keras, optimistis, enerjik, mengetuk hati, memiriskan perasaan, terkadang juga ungkapan-ungkapan yang meledak-ledak, semangat yang meluap-luap. Sehingga ruh dari perpusian itu mudah dicerna oleh pembaca. Meski ia telah melabuhkan hidupnya pada sajak, walau pada waktu yang sebentar.
 
Agaknya ia menjadi selegendaris itu tidak lain karena cita-cita besar dalam hidupnya yang keras memegang prinsip. Ia tak mau mendustai dirinya sendiri dengan tidak jujur dalam berkarya, sehingganya ia mencitakan gaya penulisan sajak sendiri berdasarkan kejujurannya, kebebasannya bersajak, sehingga ia menciptakan “dunia sendiri”, ia terus berkreatifitas dalam dunianya tanpa harus dirongrongi oleh “para penjajah”, dalam arti lebih luas, pembebasan berkreatifitas tanpa berbasa-basi. Hal ini tercermin dalam sajak-sajaknya banyak bercerita tentang kehidupan sehari-hari, perenungan, kesia-sian, kekacauan, kebrutalan, romantisme dan kegagalan.
 
Kehidupan pedih, keras dan mungkin ia rasakan sebentar, sehingga ia mengungkapkan, kerja belum selesai, belum apa-apa, (Kerawang-Bekasi) kemudian pada lirik sajak “Aku, Aku mau hidup seribu tahun lagi.” Nampaknya ada sebuah kerja besar yang mesti harus diembannya, mungkin juga kita semua. Kerja besar itulah mempertahankan kemerdekaan, mengerjakan pekerjaan, persoalan hidup yang tak kunjung selesai sementara manusia dibawah aturan Tuhan tak bisa berbuat banyak karena kelemahan manusia sebagai makhluk yang serba terbatas.
 
Setelah Chairil tiada, orang-orang akhirnya menyadari dan merasakan betul bahwa ia masih tetap ada di sekitar kita meski hanya ruh karya-karyanya yang disumbangkan untuk kita semua. Ia memang telah tida namun pada hakikatnya ia tetap hidup, ia memberikan semangat enerjik tentang kehidupan, pelajaran berharga dalam sajak-sajaknya, memberikan kontribusi besar pada kemerdekaan, untuk kesusastraan modern Indonesia. Sajak-sajaknya tetap dibaca, dipahami, dipelajari, diambil hikmahnya, pelajaran, sejarah, inspirasi baru setelah membaca karya-karyanya yang tak akan pernah mati. Maka selamanya warisan budaya itu akan selalu dikenang.
 
Meski ia tak dinobatkan sebagai seorang pejuang. Menurut penulis ia tak kalah dengan para pahlawan kemerdekaan membela tanah air ini dengan memanggul senjata. Namun setidaknya perjuangannya dalam memerdekakan kebudayaan dengan puisi-puisinya, menyumbangkan pikiran untuk revolusi, pencapaian kemerdekan. Namun ia berjuang dengan caranya pula yaitu dengan “senjata kata” yang sangat tajam bahkan lebih tajam dari bambu runcing, lebih pedih dari sembilu. Kata-kata yang terangkai dalam sajaknya sangat hebat penuh dengan estetika berbahasa. Ia telah memperkaya rasa kata dengan caranya yang akrab dan sederhana.
 
Kelegendarisan seorang Chairil tak terlepas dari orang lain, bisa itu pembaca yang membuat karyanya terus hidup, para kritikus, paus sastra H.B Jassin yang banyak mengulas karya-karyanya, juga para pakar pencinta sastra Indonesia, dari dalam dan luar negeri terhadap hasil kerja Cairil. Jassin mengatakan bahwa keberhasilan Charil adalah karena keseriusannya dalan menggeluti pilihan hidup, serius dalam menekuni karya sastra. Jadi pelajaran berharga telah dihadiahkan kepada kita bahkan keberhasilan dicapai dengan kerja keras dan tak mengenal henti, apalagi sampai berputus asa.
 
Namun secara khususnya, Agus S. Sardjono, mengungkapkan kehebatan Chairil karena ia menulis sajak bermutu tinggi dan dua hal yang melatarbelakanginya. Pertama, jenis Sastara Mimbar, sastra yang mengandung suatu ideologi atau pemikiran besar tertentu, seperti revolusi, perang, dan sejenisnya dengan demikian “sastra mimbar” adalah sastra yang tematis sangat erat hubungannya dengan keadaan dan persoalan zaman. Seperti, puisi “Aku”, “Catetan Tahun 1946”, “Perjanjian dengan Bung Karno”, dan “Kerawang-Bekasi”. Kedua, Charil menciptakan karya jenis “Sastra Kamar”, yang menggarap tema-tema keseharian serta berlatar situasi keseharian. Seperti, “Derai-Derai Cemara”, “Senja di Pelabuhan Kecil”, “Penghidupan”.
 
Selain itu hal yang sangat mempengaruhi kekaryaan Chairil adalah kebiasannya yang haus akan bacaan, ia gila membaca sampai-sampai kegilannnya itu ia suka mencuri buku. Tidak saja buku-buku dalam negeri namun juga buku-buku luar negeri seperti Eropa telah disantapnya. Karena suka membaca, ia menguasai tiga bahasa asing, Inggris, Belanda, Jerman. Sehingga ia bisa menikmati karya-karya penulis besar dunia seperti, John Steinbeck, Ernest Hemingway, Andre Gide, Rainer Maria Rilke, Willem Elsschot, Edgar du Peron, J. Slauerhoff, Arcibald Mac Leish, W.H Auden, Conrad Aiken, Hsu Chih Mo. Sehingga karena kesentimenan orang-orang terhadapnya ia dianggap telah memplagiat sajak dari penyair terkenal dari Eropa.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/01/chairil-si-penyair-%E2%80%9Cbinatang-jalang%E2%80%9D/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita