Sabtu, 31 Oktober 2020

TENTANG PUISI EPIK

Maman S Mahayana *
 
Pembicaraan puisi epik biasanya selalu dikaitkan dengan kisah-kisah klasik peperangan dan kepahlawanan yang menakjubkan. Mengingat kisah-kisah itu terdiri dari serangkaian peristiwa dan sejumlah episode, maka bentuk puisi epik hampir selalu berupa puisi naratif yang panjang. Di dalam perkembangannya kemudian, panjang pendeknya puisi itu, bukanlah merupakan ukuran mutlak. Ia juga bukan merupakan ciri satu-satunya. Oleh karena itu, puisi naratif yang panjang itu, harus diikuti pula oleh ciri lainnya, baik yang menyangkut isi, maupun gaya atau style yang digunakan. Jadi, puisi naratif yang panjang, belum tentu dapat disebut puisi epik, jika di dalamnya kita tidak menjumpai peristiwa besar peperangan, kisah kepahlawanan, kehebatan tokoh-tokoh digdaya atau campur tangan makhluk supernatural.
 
Sekadar contoh, sebutlah puisi Priangan Si Jelita karya Ramadhan K.H. Ia adalah puisi naratif yang panjang. Di dalamnya, kita dibawa pada keindahan panorama alam pegunungan Priangan. Tetapi, adakah kita menjumpai peristiwa besar yang mengangkat kepahlawanan seseorang? Sebutlah Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi. Ia puisi naratif yang lebih panjang dari Priangan Si Jelita. Kita hanya menjumpai sosok tokoh Pariyem yang naif dan lugu. Tidak ada kedigdayaan yang menakjubkan dalam diri tokoh itu. Sebaliknya kita justru prihatin dan berduka pada nasib tokoh Pariyem. Itulah dua contoh puisi naratif yang tidak termasuk puisi epik. Lalu, apa yang dimaksud dengan puisi epik?
***
 
Kata epik berasal dari bahasa Latin, epicus dan dalam bahasa Yunani, epikos yang kemudian menurunkan kata epos. Dalam bahasa Indonesia, kata epik dan epos sering digunakan untuk pengertian yang sama, yaitu yang berkaitan dengan cerita kepahlawanan atau wiracarita. Padahal, epik merupakan kata sifat dari kata benda epos. Jadi, untuk mengacu pada sifatnya kita memakai epik, sedangkan untuk mengacu pada bendanya kita memakai epos. Hal yang sama terjadi dalam bahasa Inggris. Epos dimaknai sebagai puisi epik (epic poetry), sedangkan epik (epic) dimaknai sebagai puisi naratif yang panjang yang mengisahkan sebuah tradisi atau sejarah kepahlawanan yang ditempatkan dalam kedudukan yang tinggi. Dalam bahasa Perancis, maknanya lebih jelas. Epik (epique) dimaknai yang bersifat syair kepahlawanan atau bersifat kidung perwira. Jadi pengertian puisi epik berkaitan dengan kisah-kisah epos, seperti epos Mahabarata atau epos Ramayana.
 
Berdasarkan asal-usul cerita yang diangkatnya, puisi epik dibagi ke dalam dua jenis, yaitu epik primer dan epik sekunder. Yang pertama disebut epik tradisional, epik anonim, epik rakyat (folk epics) yang semuanya termasuk ke dalam sastra lisan. Yang kedua disebut epik seni (art epics) atau epik sastra (literary) yang termasuk ke dalam sastra tertulis. Yang membedakan keduanya, terletak pada siapa pengarangnya dan bagaimana cara penyebaran.
 
Epos Ramayana dan Mahabarata yang konon disusun Valmiki dan Vyasa, misalnya, keduanya dipercayai berasal dari sastra lisan, Pancatantra yang muncul sekitar abad ke-3. Siapa pengarangnya? Tidak ada yang tahu, karena Valmiki dan Vyasa hanya penyusunnya. Lalu, bagaimana pula penyebarannya? Dari mulut ke mulut. Jadi, pada mulanya keduanya berasal dari sastra lisan yang tidak diketahui pengarangnya. Bahwa kemudian kita menemukan banyak naskah (tertulis) Ramayana dan Mahabarata dalam khasanah sastra Melayu klasik, ia tetap termasuk jenis epik primer karena keanoniman pengarangnya dan cara penyebarannya yang dari mulut ke mulut.
 
Mengenai contoh puisi epik, hampir semua sumber Barat menyebut mahakarya Yunani klasik, seperti epos Iliad dan Odyssey yang mengisahkan kepahlawanan Achiles dan Odysseus. Iliad mengangkat peperangan Yunani dan Troya, dan Odyssey mengangkat pengembaraan Odysseus yang pulang ke tanah airnya, Ithaca, selepas perang Troya.
 
Di antara sumber Barat, hanya satu-dua yang menyebut Mahabarata sebagai contoh puisi epik. Sesungguhnya, dalam khasanah kesusastraan klasik Nusantara, terdapat begitu banyak epos seperti itu, di antaranya dapat disebutkan, Lutung Kasarung, Babad Sunda (Sunda), Babad Banten, Babad Cerbon (Jawa), Anak Dalom dan Si Dayang Rindu (Sumatra Selatan), Syair Perang Mengkasar (Palembang), Syair Perang Johor (Riau), Hikayat Muhammad Hanafiah (Melayu), dan niscaya banyak banyak lagi.
 
Dalam epik sekunder yang diperlakukan sebagai sastra tertulis, tema yang diangkat bersumber dari sastra tradisional, baik yang berasal dari mitologi, legenda, atau sejarah yang berkembang di masyarakat. Paradise Lost karya John Milton (1608–1674), misalnya, dianggap paling mewakili jenis puisi epik sekunder. Puisi ini mengangkat tema jatuhnya manusia, Adam dan Hawa, dari surga karena tergoda bujukan setan. Karya yang terdiri dari 12 bagian ini, tidak hanya menggambarkan kehidupan di surga, neraka, dan alam semesta, tetapi juga mengangkat pikiran-pikiran yang bernafaskan keagungan ilahiah.
 
Puisi panjang Javid Namah karya Mohammad Iqbal, sebenarnya juga termasuk ke dalam jenis puisi epik. Dalam karya itu, Iqbal menggambarkan pengembaraannya ke berbagai planet yang membawanya pada diskusi panjang dengan berbagai tokoh dunia.
 
Secara ringkas, dapat disebutkan ciri-ciri puisi epik sebagai berikut: (1) Tampilnya sosok pahlawan atau manusia digdaya yang mengagumkan. Kehebatannya masyhur, baik di lingkungan bangsanya, maupun di masyarakat dunia. (2) Latar yang diangkat meliputi wilayah yang luas atau bersifat universal yang berlaku di sembarang tempat. (3) Keberanian dan kehebatan tokoh yang digambarkan menjadi bagian penting dalam keseluruhan tema. (4) Adanya keterlibatan kekuatan supernatural. (5) Gaya (style) tinggi tidak dapat dipisahkan dari penyajian puisi bersangkutan. (6) Tindakan kepahlawanan yang digambarkan bersifat objektif.
***
 
Ciri-ciri tersebut di atas, tentu saja tidak harus semuanya ada dalam satu puisi epik. Sangat mungkin, ada satu-dua ciri yang tidak terdapat di dalamnya. Yang penting adalah bahwa puisi itu berupa puisi naratif panjang yang di dalamnya terkandung beberapa ciri sebagaimana yang disebutkan di atas.
 
Dengan pemahaman ciri-ciri yang seperti itu, kita dapat pula mengamati puisi-puisi Indonesia yang termasuk jenis puisi epik. Sungguhpun demikian, harus diakui, bahwa puisi epik dalam sastra Indonesia, boleh dikatakan terlalu sedikit dibandingkan dengan jenis puisi lainnya. Dari yang sedikit itu, Jante Arkidam karya Ajip Rosidi, agaknya dapat dijadikan contoh yang baik untuk jenis puisi epik. Puisi naratif yang terdiri dari 119 larik dari 40 bait itu, mengisahkan kedigdayaan dan kehebatan Jante Arkidam di dalam meloloskan diri dari kepungan mantri polisi. Meskipun tokoh itu bukan pahlawan, gambaran kesaktian tokoh itu, termasuk dalam ciri-ciri puisi epik.
 
Sebuah drama berjudul Prabu dan Puteri karya Mh. Rustandi Kartakusuma, sebenarnya juga termasuk ke dalam puisi epik. Naskah drama itu, ditulis dalam bentuk puisi naratif yang panjang yang mengisahkan kerajaan Pajajaran abad ke-15. Drama yang ditulis dalam bentuk puisi naratif yang panjang, juga pernah ditulis Rustam Efendi dalam dramanya, Bebasari yang menggambarkan perkelahian Rawana dengan Rama yang berusaha menyelamatkan Sita.
***
 
Pengenalan serba sedikit mengenai puisi epik ini, penting artinya bagi kita untuk membedakannya dengan puisi naratif yang lain. Sayang sekali, khasanah puisi Indonesia sangat kekurangan jenis puisi epik, padahal kisah-kisah kepahlawanan dan kehebatan tokoh-tokoh legenda kita, banyak bertebaran di hampir setiap daerah di Nusantara ini.
 
_____________________

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000). https://sastra-indonesia.com/2008/10/tentang-puisi-epik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita