Rabu, 12 Agustus 2020

CINTA YANG TERTINGGAL DI IMAJINASI CERASU CECEP

Imron Tohari *

TERASA BENAR

Terasa benar ketika Siti mencubit lenganku

: lenganku sakit,

tapi senyummu legit.


Terasa benar sejuknya malam,

ketika kau sandarkan kepalamu di bahuku.

Hangat nafasmu,

bergemuruh dadaku.


Terasa benar,

lalu apa yang terasa salah?

Terasa salah bila kuikuti hasratku 'tuk menciummu,

ketika pejam matamu,

seperti berharap pelukku.


Terasa salah,

saat malam makin dingin,

ketika membisikkan ingin.


Terasa benar,

pergimu dari hidupku

tak akan kembalimu

setutup waktu.


Terasa benar, laraku.

14 Maret 2014

Ada pergerakan kuat pada bahasa puisi ini pada bait 1 dan 2 dalam upayanya menggambarkan adanya pergerakan emosi dari si aku lirik, perubahan imaji rasa (imaji taktil) ke imaji penglihatan (imaji visual), dan kemudian bergerak kembali ke imaji rasa (bait 1).

Demikian pula pergerakan emosi juga diperlihatkan pada bait dua (bait 2), perubahan imaji taktil ke imaji visual dan bergerak ke imaji suara (imaji auditif). /ketika kau sandarkan kepalamu di bahuku/, penulisan /kau/, pronomina, yang ditulis secara terpisah, justru selaku penghayat, saya saat membacanya serasa ada jeda waktu sebelum sampai pada kata /sandarkan kepalamu/, hal ini secara ekspresi baca, saya sedikit kehilangan fellnya, sebab yang lebih menonjol imaji visualnya dari pada imaji rasa. Ini bisa jadi dikarenakan adanya perlambatan intonasi yang ditimbulkan oleh tipografi puisi yang dihadirkan kata /kau sandarkan/. Saya merasakan ada sensasi lebih, saat kata /kau/ ini saya rekat satukan dengan kata /sandarkan kepalamu/ /kausandarkan kepalamu/ pada perekatan ini saya mendapatkan percepatan intonasi yang sangat kuat menghadirkan citraan imaji rasa, sekaligus imaji visual dari satu kesatuan utuh hubungan kata dalam larik termaksud.

Terasa benar ketika Siti mencubit lenganku

: lenganku sakit,

tapi senyummu legit.


Terasa benar sejuknya malam,

ketika kau sandarkan kepalamu di bahuku.

Hangat nafasmu,

bergemuruh dadaku.

Pada puisi agak panjang atau bahkan yang teramat panjang, bait tengah biasanya dimanfaatkan kreator untuk menghadirkan suatu fragmen penting yang bisa mengaitkan atau menciptakan suatu pertalian alur ruang dan waktu menjadi hidup dan bernas. Bait tengah ini biasanya diisi dengan pergulatan batin (baca: konflik peran), sehingga akan memberikan suatu citraan utuh di rasa imaji pikir pembaca saat sampai pada akhir puisi. Namun sayang, justru pada segmen penting ini (bait 3 & 4) ketidakstabilan emosi aku lirik terbawa dalam bagaimana dia menyusun idea gagasan dengan lompatan yang demikian tiba-tiba (kalau tidak boleh dikatakan terlalu prematur/awal/cepat) pada pertautan antar larik yang demikian rapat pada bait 3. / Terasa benar/ adalah citraan imaji rasa yang difungsikan aku lirik untuk menimbulkan efek citraan imaji visual dari suatu kejadian masa lampau.

Terasa benar,

lalu apa yang terasa salah?

Terasa salah bila kuikuti hasratku 'tuk menciummu,

ketika pejam matamu,

seperti berharap pelukku.


Terasa salah,

saat malam makin dingin,

ketika membisikkan ingin.

Namun, citraan yang terbangun pada larik 1 bait 3 ini yang sebenarnya sangat efektif untuk menghadirkan citraan lanjutan pada larik selanjutnya dengan kian ekspresif dalam menguatkan struktur bangun citraan suasana yang ada pada larik 1 bait 3 /terasa benar/ tadi. Justru berseakan ditebas putus dengan hadirnya pertanyaan retoris /lalu apa yang terasa salah?/, tanpa ada hal yang menggambarkan adanya konflik peran dari aku lirik, apakah peran aku lirik di sini sebagai pacar atau sebagai suami? Dan pada bait awal (bait 1 & 2), aku lirik tenggelam pada permainan rasa imajinasinya saja terhadap sosok pribadi bernama /Siti/, tidak ada sama sekali yang menyentuh peran aku lirik sebagai apa dengan Siti tadi. Namun pada bait ini tidaklah menjadi masalah menurut saya, sebab bait awal ini hanya berperan menampilkan citraan suasana imaji rasa dan visual dari aku lirik pada saat puisi ini ditulis, yang sangat tegas ditampakan pada kata / Terasa benar/.

Tapi hal ini tidak menjadi benar pada bait tengah yang terasa alur ruang waktunya terkesan terputus dengan hadirnya larik retoris / lalu apa yang terasa salah?/ tadi, diikuti kata pada larik di bawahnya / Terasa salah bila kuikuti hasratku 'tuk menciummu,/, sementara citraan peran aku lirik dengan Siti tidak tergambarkan pada bait ini pun pada bait awal sebelumnya. Di sinilah citraan suasana hadir serasa kurang tegas (kalau tidak boleh dikatakan kegamangan pemuisi dalam menampilkan suatu citraan utuh).

Ketidak tegasan pencitraan idea, gagasan, tema (khususnya pada bait 3 & 4) ini bisa jadi karena pemuisi terseret pada pusaran arus emosional ruang waktu yang begitu kuat, dalam artian pada saat itu dua citraan suasana muncul secara bersamaan dan pemuisi terdorong untuk menuliskannya dalam satu citraan untuk dua nuansa yang berbeda tadi.

Citraan ruang waktu yang hilang ini menimbulkan suatu tanya pada rasa imaji pikir saya selaku salah satu dari sekian penghayat, apakah salah jika saya mengikuti hasrat saya untuk mencium, jika ianya adalah istri saya? Ataukah terasa salah jika saya mengikuti hasrat mencium di sini, tersebab sosok pribadi yang bernama Siti hanya merupa bayangan dari kenangan saja? Yang artinya itu sudah masuk ke dimensi ruang saat ini (saat puisi monolog suasana hati ini ditulis). Tapi kenapa muncul kata // ketika pejam matamu,/seperti berharap pelukku.// pada larik empat dan lima pada bait yang sama? Walaupun frasa ini bisa dimaknai suatu kepergian Siti (meninggal dunia). Tapi bukankah dua larik tersebut merupakan petanda dari adanya reaksi berupa gerak isyarat yang nyata dari larik sebelumnya / Terasa salah bila kuikuti hasratku 'tuk menciummu, ketika pejam matamu /, pada bait ketiga tersebut? Dalam artian citraan yang dihadirkan adalah suatu momen dimana aku lirik dan Siti ada pada waktu dan tempat yang secara fisik mengada secara bersama-sama.

Apakah mungkin kata retoris /lalu apa yang terasa salah?/ ini sengaja dimunculkan untuk sengaja membelokkan saluran primer (yang bisa jadi bayangan dalam bayangan yang dihadirkan pemuisi pada puisi ini, si aku lirik sudah menjadi suami Siti) dengan tujuan untuk menciptakan saluran sekunder? Iakah kesengajaan munculnya kata /lalu apa yang terasa salah?/ dimaksudkan sebagai bentuk moral value pada pembaca bahwa pengendalian nafsu sahwat semasa pacaran sangat luhur nilai budi pengertinya (artinya, aku lirik pada citraan bait ini belum berperan sebagai suami), apa lagi kalau pembacaan secara fisik teks puisi dilanjutkan pada bait empat // Terasa salah,/ saat malam makin dingin,/ ketika membisikkan ingin//.

Ataukah munculnya kata // lalu apa yang terasa salah?// justru bentuk dari ketidakmampuan pemuisi menahan tusukan-tusuakan imaji rasa serta imaji visual yang bersamaan namun menyodorkan citraan suasana lampau dan saat ini yang semuanya ingin dituliskan, dan demikian saling menusuk untuk bersegera dituangkan, sehingga emition quality control pemuisi jadi tidak stabil dalam menuangkan letupan atau tusukan rasa imajinasinya pada teks puisi?

Lagi-lagi rasa pikir imaji saya bertanya, bagaimana kalau bait keempat tadi sama halnya dengan pembacaan saya pada bait ke tiga, yakni bayangan yang mengada pada bayangan puisi, dalam artian gejolak ingin aku lirik kini hanya sekedar ilusi, sebab keinginan itu tidak mungkin untuk diwujudkan saat ini, sebab hanya berupa sebuah bayangan (baca: kenangan, abstrak).

Bait empat sebenarnya akan menjadi titian yang manis memasuki ending puisi pada bait akhir ( 5 & 6), juga lara aku lirik akan kehilangan itu akan semakin syahdu mengiris jika saja pemuisi berani tegas memberikan konflik peran pada aku lirik sebagai kekasih atau sudah menjadi suami saat pergulatan batin aku lirik pada peran konflik bait tiga tersebut. Sehingga bait 5 yang terdiri dari 4 larik, dan bait 6 yang larik tunggal akan kian memberi daya sugest yang dalam dan kuat pada penikmat baca atas pedihperihnya lara kehilangan seseorang yang teramat dicinta.

Dan bait lima akan kian kuat impresi nada jika pemuisi tidak mengejar rima /u/ pada setiap akhir lariknya, cukup di tulis pada larik tiga bait lima dengan /tak akan kembali/, namun semua itu kembali lagi pada perihal pilihan—perihal nyaman dan tidak nyamannya penyair dalam memutuskan sebuah pilihan kata.

Puisi, sajak, dan juga syair dibuat (Dipandang dari tujuan yang utama/ tujuan primer), saya pikir semua pemuisi niatan awalnya sebagai bentuk pelepasan dari adanya kegelisahan rasa pikir pemuisi/ creator akibat adanya dorongan kuat dari dalam batinnya. Dan dorongan-dorongan kuat tadi (baca: kegelisahan rasa tadi) saat berenkarnasi dalam wujud bahasa puisi, di sana, teks puisi tadi membawa makna niatan (makna yang bertujuan untuk menarik/ mengajak pembaca ikut memahami, mengikuti, atau memberikan reaksi seperti apa yang menjadi pokok pikiran creator), makna suratan (makna yang bertujuan menghantarkan citraan suasana agar pembaca bisa ikut masuk atau ikut larut pada apa yang tengah dirasakan dan juga dipikirkan), dan makna siratan/ tersirat (makna hayatan dari teks puisi guna memberikan kebaharuan pikir yang baik [dalam tanda kutip] pada pembacanya).

Dan terkait puisi /TERASA BENAR/ di atas, secara garis besar saya pikir Cerasu Cecep sudah cukup berhasil mendapatkan makna niatan tersebut. Walau tidak bisa dikatakan puisi ini sempurna, namun puisi ini tidaklah tepat jika dianggap sebagai puisi yang setengah matang atau puisi yang gagal ungkap.

Memang secara pembacaan subyektif saya “makna niatan—tujuan primer sang kreator” tadi cukup sulit menghasilkan sesuatu citraan yang utuh seperti yang diinginkan/ dimaui oleh kreatornya. Tapi inilah uniknya mahluk yang bernama puisi (hehe, canda), sifat bahasa puisi dengan karakteristiknya yang sangat unik, sangat memungkinkan munculnya saluran kedua (sekunder) yang merupakan pecahan dari saluran utama (primer), dari adanya saluran sekunder inilah kreator mendapatkan makna niatan kedua (tujuan sekunder) pada individu-individu baca karya puisinya lewat ungkapan-ungkapan bahasa kias, bahasa lambang, serta bahasa imajis. Atau bisa dikata saluran sekunder ini merupakan hal yang tak kalah penting yang didapat creator dari penikmat baca atas keluasan ruang tafsir puisi dimaksud (dengan catatan: selama puisi tadi memberikan/menawarkan kebaharuan pikir pembacanya).

Dari opini subyektif saya di atas, lantas saya berfikir, masih perlukah memperdebatkan puisi gagal dan tidak gagal? Sedangkan gagal dan tidak gagalnya puisi ada pada pemahaman creator dalam meyakini makna niatan dari puisi yang dia ciptakan, juga terletak pada pemahaman individu baca berkaitan dengan tafsir puisi, yang karena sifat unik bahasa puisi sangat memungkinkan hadirnya makna kedua (makna sekunder) karya puisi termaksud.


Salam Lifespirit!

Mataram, 31032014rev21042016


Referensi:

• Dokumen Group GPRS (GELANGGANG PENYAIR RAMPAI SASTRA)

• SENJA DI NUSANTARA, Soeria Disastra – Penerbit PT. KIBLAT BUKU UTAMA, BANDUNG 2004.

• Esai lifespirit: Cara Mudah Mencipta Puisi Ala lifespirit.

• Wikipedia Indonesia

***

[Diposting ulang sabagai bentuk penghormatan terakhir pada Cerasu Cecep yang diberitakan meninggal dunia pada tanggal 8 Agustus 2020]

*) Imron Tohari, penyuka sastra khususnya menulis dan menikmati puisi dengan nama pena “lifespirit!” Kelahiran Malang Jawa Timur - Indonesia, yang sekarang tinggal menetap di Mataram Lombok NTB - Indonesia.

http://sastra-indonesia.com/2020/08/cinta-yang-tertinggal-di-imajinasi-cerasu-cecep/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita