Senin, 10 Agustus 2020

APAI TUAI

Khatijah * 

“Apai Tuai mati, Apai Tuai mati, Apai Tuai mati” teriak Supri. Kabar kematian Apai Tuai mengegerkan sekecamatan Jawai Selatan. Tetua yang dianggap oleh orang tidak akan mati. Dipercaya oleh warga kampung malaikat pencabut nyawa selalu berkelahi dengan makhluk halus peliharaan yang diturunkan oleh kakek buyutnya ketika datang berkunjung ke tetua itu. Semenjak menjelang usia 109 tahun, masalahnya ialah kesulitan mendapat cucu laki-laki, ke 7 anak perempuannya menghasilkan anak perempuan. Kesal ia, berbagai cara, bermacam sesajen yang diberikan kepada leluhurnya untuk mendapatkan cucu laki-laki, tetap saja ketika anaknya berojol yang keluar betina.

Bahkan pernah sekali, harapan yang terakhir setelah anak sulung, kakak kedua, dan bungsu yang dituntut untuk menjadi keturunan berbakat selanjutnya tidak melahirkan anak laki-laki, anaknya yang no 6 akan melahirkan. Ia potong ayam hitam kampung 3 ekor lalu di asapkan dengan kemenyan dan ritual lain yang di percayainya cucu kali ini ialah laki-laki. Ayam-ayam tersebut dihanyutkannya ke pantai putri serayi 1 ekor, Gunung Ramayadi 1 ekor, dan tempat yang dipercayai penunggunya kuat yaitu di Batu Lapak diletakkannya di bebatuan itu 1 ekor. Cukup 3 ekor. Setelah itu ia tidak tidur menunggu anaknya untuk melahirkan, mulutnya komat-kamit tak henti membaca mantra agar penantiannya tidak sia-sia.

Biasanya, orang kampung maupun di luar kampung yang ingin keturunan diberikannya mantra tersebut, diperintahkannya melakukan ritual yang dilakukannya, tak lama ia mendapat kabar bahwa pasiennya telah mendapatkan keturunan laki-laki. Heran juga ia kenapa mantra dan rirual itu tak berpengaruhpada dirinya sendiri.

Hingga waktu cucunya akan keluar, tak sabar ia mendengar tangisan, dan melihat kelamin cucu yang ditunggunya. Tepat jumat malam, ia yakin sekali jika cucu kali ini laki-laki akan menjadi lebih tangguh dari dirinya, menjadi yang terbaik dari keturunan sebelum-sebelumnya, tenang juga ia melepaskan peliharaannya.

Pukul 00:03 wib, suara tangis bayi membuat merinding satu kampung. Orang-orang tahu bahwa dini hari akan lahir cucu yang akan menggantikan Apai Tuai mereka. Apai Tuai yang sejauh ini sangat baik hati membantu semua kebutuhan warga kampung, tetua yang dipercaya menjaga keamanan kampung dari segala perihal yang membuat kekacauan baik dari makhluk yang kasat mata,hingga makhluk yang tidak di mengerti keberadaannya.

Apai Tuai kembali kecewa, setelah dukun beranak di kampung membiarkan kepala, tangan, hingga seluruh tubuh cucunya keluar dieran oleh anaknya, melihat kelamin cucunya ternyata perempuan lagi.

“Akai, perempuan lagi” ujarnya menepuk kening. Keluar ia dari kamar tempat anaknya melahirkan cucu perempuan yang kelima belas.

Takut orang-orang kampung mendengar cucu terakhir Apai Tuai mereka perempuan lagi, tak ada generasi Apai Tuai. Tidak ada orang kampung yang mau berguru, takut tidak mati, takut tidak diterima bumi, takut dengan nyai pantai putri serayi.

***

Penuh rumah Apai Tuai oleh warga, makanan di masak sebanyak-banyaknya untuk orang-orang yang hadir, tak bisa dibedakan mana yang hadir karena berbelasungkawa dan mana yang penasaran bagaimana Apai Tuai yang di label tak bisa mati akhirnya mati. Tak peduli pukul berapa mereka memasak sayur, daging, dll berkawah-kawah. Karena malam itu orang yang hadir memang sangat banyak.

Penjagaan berlangsung dengan damai. Anak kecil yang brsama ibunya duduk didekat jasad Apai Tuai terkejut, melihat tangan Apai Tuai bergerak. Tak yakin ia dengan penglihatannya, diperhatikannya lagi dengan saksama tangan Apai Tuai, cukup yang ketiga kalinya. Ia melaporkan pada ibunya apa yang dilihatnya langsung dengan mata kepalanya.

“Mak, kalau kucing melangkah Apai Tuai. Bergerak lagi dak tangannya?”

“Ssst” respon ibunya, meletakkan telunjuknya di bibir mendesis.

“Mak, jari Apai Tuai bergerak”. Ibu anak tersebut hanya memandang anaknya, memberi kode agar anaknya tidak berisik. Tak lama keadaan yang riuh menjadi tenang, tiba-tiba sunyi. Orang yang berjaga, main catur, main kartu, bercerita, semuanya tertidur termasuk ibu dari anak tersebut.

Melihat suasana itu, anak tersebut pura-pura tertidur, dipeluk ibunya erat-erat. Ia melihat Apai Tuai bangun, menuju ke dapur. Penasaran ia, lalu di ikutnya Apai Tuai. Apai Tuai tak tersenyum, melihat dengan tatapan lurus, memeriksa dapur yang penuh dengan makanan, di kawah ada nasi, sayuran, daging, serta masakan yang lain. Dicicip oleh Apai Tuai.

Anak itu masih melihat Apai Tuai, tak sama sekali ia ketakutan karena tidak ada yang aneh dari wajah Apai Tuai. Setelah dicicipnya satu per satu makanan yang disiapkan oleh tamu-tamu yang datang kerumahnya, ia kembali ke tempat berbaring semula. Anak itu juga kembali ke pelukan ibunya. Dicobanya membangunkan ibu, bukan ibunya yang terbangun melainkan dia yang di goncang-goncang ibunya. Anak itu bermimpi.

“Mak, Apai Tuai tadi bangun. Dia makan” ujar anak kecil itu. Ibunya tidak merespon. Tak mengerti ia apa yang dikatakan anaknya, karena yang ada dipikirannya bukankah anak kecil tak pernah berbohong, lagipula jika memang tidak benar yang dikatakan anaknya kenapa ia bisa berbicara seperti itu.

Di dapur, teras, dan seluruh sudut rumah Apai Tuai terdapat lendir yang orang-orang tidak mengerti lendir apa. Yang pasti semua makanan yang telah disiapkan tadi malam semuanya basi, nasi yang baru di tanak juga berlendir, tak bisa di makan. Melihat situasi yang ribut, ibu dari anak laki-laki tadi semakin merinding, sebab ia mengetahui apa yang membuat makanan tersebut basi, dan lendir apa yang mengotori rumah Apai Tuai. Di benarkannya kata anaknya, bahwa tadi malam ketika semua orang tak sadar Apai Tuai bangun dan mencicipi semua masakan maka dari itu pagi ini semua makanan itu basi.

Setelah kasak-kusuk yang semakin mengegerkan kampung, ada yang bilang kalau Apai Tuai tidak diterima bumi, ada yang bilang semua itu ulah peliharaan Apai Tuai yang tidak terima ditinggal pergi, ada yang bilang ini azab seperti di televisi-televisi, dan banyak lagi. Mereka terdiam, membereskan semua kekacauan, mengemaskan mayat sebagaimana semestinya.

Semuanya berjalan lancar, hanya saja anak kecil yang melihat Apai Tuai bangun tadi malam masih bersikeras mengatakan kepada ibunya kalau Apai Tuai tidak boleh dikubur, sebab ia masih hidup. Ia mendekati mayat Apai Tuai, melihat lagi dengan saksama, bahwa apa yang dilihat dan dikatakannya itu benar, ia tidak berbohong.

Didekatinya mayat yang pucat itu, dilihatnya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki Apai Tuai, tak ada tanda-tanda kehidupan di jasad itu. Didekatkannya telinga ke dada Apai Tuai semakin dekat semakin dalam, semakin ia tak menemukan apa yang dicarinya. Slep tangan Apai Tuai memeluk anak laki-laki itu. Semua orang panik, ia menangis memanggil nama ibunya, ketakutan, nafasnya semakin sesak dipeluk tanpa ada kelonggaran, erat, tak bisa ia bernafas. Orang-orang menyaksikannya dengan ngeri, ibunya menangis memohon bersujud di samping mayat Apai Tuai yang memeluk anaknya, meminta untuk melepaskannya. Sudah ditarik sekuat tenaga tangan Apai Tuai oleh warga tetap tidak bisa. Hingga anak laki-laki tersebut tidak menangis lagi, tak bernafas lagi, hilang nyawanya.

Sungaijawi, 9 Oktober 2019

*) Khatijah, mahasiswa IAIN Pontianak, asal Jawai Selatan, Kabupaten Sambas. Ia anggota Club Menulis yang sudah menerbitkan 11 Buku, antara lain: Misteri Jawai Selatan, Masyarakat Muara Kubu Kal-Bar, Jingga Senja pantai Jawai, Wanita Sastraku, Damai di Jantung Borneo, Bukan Pria Sastra, Cerite Biak Sambas, Napak Tilas Hutan Kalimantan, Kisah Perjalanan Ke Perbatasan (Indonesia-Malaysia), dan Pelet Borneo. Ia juga mempunyai chanel youtube yang berkonten mereview buku-buku yang sudah dibacanya. Menerima kritik dan saran atas karangan via instagram (ktijh_) dan facebook (khatijah).

http://sastra-indonesia.com/2020/07/apai-tuai/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita