Sabtu, 18 Juli 2020

Potret Pantura dalam Karya Sastra Telembuk

Judul Novel : TELEMBUK Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat
Penulis : Kedung Darma Romansha
Penyunting : Dian Dwi Anisa
Pemeriksa aksara : Maria Puspitasari
Cover : Nugroho Daru Cahyono
Penata letak : Azka Maula
Penerbit : Indie Book Corner
Cetakan : Pertama, Mei 2017
Tebal Buku : xiv + 414 hlm
Nomor ISBN : 978-602-3092-65-9
Peresensi : Faris Al Faisal

JARANG sekali ada karya sastra yang membicarakan Pantura apalagi Indramayu. Adalah Kedung Darma Romansha, penulis kelahiran Indramayu yang lama merantau ke Yogyakarta ini menulis sebuah novel yang memotret kehidupan masyarakat pantura Indramayu dengan judul TELEMBUK.

Entah dari mana sumbernya, konon selain dikenal sebagai kota mangga, Indramayu juga diketahui sebagai daerah penghasil telembuk terbanyak dan tercantik. Telembuk adalah istilah lokal Indramayu untuk menyebut perempuan Pekerja Seks Komersial (PSK) yang cenderung memiliki konotasi negatif seperti halnya lonte dan perek. Sesuatu yang tidak bisa ditutup-tutupi atau dibiarkan terbuka begitu saja. Kedung Darma Romansha dengan berani dan penuh perhitungan justru memberi judul Dwilogi Slindet yang keduanya setelah yang pertama Kelir Slindet yaitu TELEMBUK Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat. Lalu seperti apa jadinya bila telembuk diangkat ke dalam sebuah karya sastra?

Dalam Prolog, Kedung Darma Romansha menuliskan, “Bagi yang belum mendengar cerita “Kelir Slindet,” saya akan ceritakan sedikit di bawah ini. Dan bagi yang sudah mendengarnya, langsung saja buka “Telembuk”nya. (halaman ix).

Ini sebenarnya dengan sangat halus, penulis novel TELEMBUK ini mengajak pembacanya untuk mengetahui terlebih dahulu ringkasan atau bila mau membaca terlebih dahulu novel Kelir Slindet agar cerita yang dibaca akan saling berkelanjutan sehingga tidak ada yang terpotong.

Novel TELEMBUK Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, Kisah Cinta yang Tak Selesai dibagi menjadi 43 sub bab dan bagian kedua, Sepenggal Kabar dari Kota Mangga dibagi menjadi 29 sub bab. Kedua bagian novel itu, sub babnya ditulis dengan penomoran tanpa judul seperti ditemukan dalam novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana cetakan pertama, 1937 penerbit Balai Pustaka.

Ketika membuka paragraf awal, Kedung Darma Romansha sengaja mengawali dengan pembukaan latar tempat dan suasana yang melibatkan tokoh cerita dalam romantisme alam, walaupun kemudian ia menyatakan jika gaya seperti itu terlalu banyak dipakai dalam novel-novel. Hampir ratusan kali saya menemukan cerita dengan pembukaan semacam ini. Saya tidak menghina, itu hak siapa pun untuk menulis gaya semacam ini. Tapi sebagai anak muda bajingan seperti saya, cerita di atas bukanlah selera saya. (halaman 3).

Maka akan kita dapati, penuturan cerita yang benar-benar berbeda. Kontradiktif dengan sebagian selera pembaca misalnya, terutama penikmat novel yang menyukai genre romance. Beberapa percakapan atau dialog yang di antaranya menyelipkan umpatan, makian dan kata-kaka tidak senonoh yang memang tidak bisa dipungkiri masih begitu kental dalam percakapan-percakapan masyarakat Pantura seperti kirik, kopok, koplok dan lain sebagainya.

“Kirik! Diva terperanjat. Ia baru ingat kalau hari ini manggung di Organ Tunggal Langlang Buana pimpinan Mang Dasa dari desa Haurgeulis. (halaman 4).

Cerita bergulir. Semenjak kabur dari Cikedung, Safitri memilih menjadi seorang telembuk sekaligus penyanyi dangdut. Suara yang merdu, kecantikan wajah dan keseksian tubuhnya, ia menjadi bintang dangdut dengan nama Diva Fiesta. Dalam kehidupannya yang baru itu, ia kenal dengan Mak Dayem, seorang wanita tua mantan telembuk yang banyak mengajarinya. Ia juga dipertemukan dengan Mang Alek, seorang laki-laki yang menolong Safitri dan membuatnya jatuh hati tetapi tidak pernah mau bercinta dengan Safitri dan justru lebih memilih telembuk lain.

Dari sinilah kisah ini kemudian terus bergulir jauh, rahasia-rahasia Diva Fiesta dan kaitannya dengan menghilangnya Safitri perlahan mulai terungkap. Perjalan hidup Diva Fiesta, kisah pilu Safitri, cinta Govar yang lama terpendam, kenangan Aan akan gadis yang pernah dipujanya, Mukimin dan cintanya pada Safitri yang timbul tenggelam, perasaan-perasaan yang muncul di benak mereka masing-masing, semua berkelindan dan membentuk jalinan cerita yang kian kelam dan makin suram.

Aku buka perutku di hadapan semua orang dan aku teriak kalau aku memang hamil. Pasti kalian ingin tahu siapa yang menghamiliku. Kenapa kalian harus tahu? Sepenting itukah aku bagi kalian? Lalu ketika kalian tahu siapa yang menghamiliku, kalian akan merasa puas? (halaman 192).

Membaca novel TELEMBUK ini akan membawa kita mengenali dunia prostitusi, panggung dangdut yang seronok, pergaulan para pemabuk dan tukang kelahi. Sudah pasti adegan seks dan kata-kata kasar bertaburan sebagaimana bau asap rokok, wangi parfum murahan, alkohol, suara dangdut tarling, perkelahian dan segala hal yang memiliki kaitan dengan dunia telembuk. Semoga penggambaran ini bukan menjadi kekurangan dari novel TELEMBUK.

Novel ini juga memberikan pandangan bagi pembaca bahwa telembuk dan prostitusi, punya sisi lain yang kerap membuat orang tutup mata dan telinga. Tidak ingin melihat dan mendengar. Padahal tidak ada yang tahu alasan, kenapa Safitri memilih menjadi telembuk? Sringnya orang-orang terlalu mudah menghakimi dan tergesa-gesa memberikan kesimpulan akan sebuah penilaian kehidupan.

Gaya penceritaan penulis dalam novel ini sesungguhnya menjadi daya tarik tersendiri. Penulis menempatkan beberapa sudut pandang. Satu dari pencerita atau narator dan beberapa dari para tokohnya. Dari sisi pencerita atau narator, penulis menyajikan kisah dalam posisi netral. Tidak menghakimi ataupun membela para tokoh. Tidak ada penilaian moral apapun. Sedangkan dari sisi para tokohnya; Safitri, Sapitri, Saritem, Sukirman, Mukimin, Kaji Nasir, Abah Somad, Kiai Sadali, Kaji Darmawan, Kaji Warta, Sondak, Govar, Kriting, Casta, Carta, Mak Dayem, Mang Alex, Kartam, Beki dan Aan lebih pada pergulatan batin mereka sendiri. Yang paling menarik dari menarik adalah justru tokoh Aan adalah pencerita atau narator itu sendiri.

Menyelesaikan membaca novel ini pada akhirnya bukanlah untuk menghakimi Safitri, Mukimin, Carta, Mang Alex, Mak Dayem, Govar, Sini, Saritem, Sondak atau siapa pun juga. Pembaca akan masuk ke kisah panjang perjalanan seorang telembuk yang dikemas Kedung Darma Romansha dengan eksperimental namun berdasarkan riset lapangan yang tidak sebentar. Masuk berarti mencoba memahami, masuk berarti berusaha menjadikan rahasia dari kelok kehidupan Safitri sebagai pelajaran hidup. Pilihannya adalah menyimpannya untuk diri sendiri atau menyebarkan cerita ini kepada orang lain.
***

https://www.harianbhirawa.co.id/potret-pantura-dalam-karya-sastra-telembuk/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita