Indrawati Jauharotun Nafisah
Pertama kali saya tahu tentang beliau, yaitu dari salah
satu santri alumni yang memberikan motivasi menulis kepada saya, “Kalo kamu
nulis, kemudian dikirim ke penerbit, anggaplah tulisanmu itu ludah yang
dilepas. Gak usah dipikirkan lagi, biarkan!,” katanya.
Mendengarnya, saya masih plonga-plongo, “Gitu ya?”... “Ia,
itu kata guru saya. ‘Karya bagi penulis sejati, bagaikan ludah yang dilepas.
Hanya orang linglung yang kerjanya mencari-cari kembali ludah yang basi,’
begitu pesan beliau.”
Zainal Arifin Thoha, begitulah nama lengkapnya. Di dalam
buku yang saya baca ini, beliau akrab dengan panggilan Gus Zaenal. Bisa
dianggap seorang Gus yang langka, sulit ditemui di zaman sekarang. Kenapa?...
Gus Zainal tinggal di Jogja bersama keluarganya, ia hidup
mandiri tanpa bantuan orang tuanya, padahal bisa dibilang orang tuanya berada.
Selain menjadi Dosen di salah satu kampus Islam di Jogja, ia juga berdagang
layaknya orang biasa, demi menghidupi keluarga dan para santrinya.
Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari adalah
pesantren yang didirikan oleh Gus Zainal. Santrinya, hanya terdiri dari kaum laki-laki
saja. Uniknya, Gus Zainal melarang para santrinya bergantung pada orang tuanya
selama di pesantren. Jika melanggar, maka si santri harus angkat kaki. Ada pula
keringanan buat santri baru, yakni selama tiga bulan bolehlah menerima kiriman
dari orang tua, tetapi lebih dari itu tidaklah diperkenankan. Kenapa seperti
itu?...
Usut punya usut, Gus Zainal ingin mengajarkan kemandirian
kepada para santrinya. “Jika engkau mengaku sebagai laki-laki sejati, maka
camkanlah! Engkau bukan anak perempuan, maka tidak pantas bagimu menadahkan
tangan kepada orang tua,” katanya, “Laki-laki sejati adalah lelaki yang mandiri,
dan pantang menyerah melawan keadaan.” Begitulah, salah satu pesan yang
disampaikan beliau kepada para santrinya.
Gus Zainal, tidak hanya berperan sebagai seorang Kiai
yang mengajarkan ilmu agama, tapi juga mengajari ilmu kepenulisan,
kewirausahaan, dan kemandirian. Ya, dari sanalah, para santri bisa bertahan
hidup tanpa meminta kiriman dari orang tua. Terkadang Gus Zainal
membagi-bagikan uang kepada mereka yang benar-benar butuh. Semisal ada santri
yang tulisannya belum dimuat di koran, sehingga tak mendapatkan bayaran sepeser
pun.
Pesantren Kutub, begitulah nama pesantren itu dikenal. Tempatnya,
tidaklah seluas pondok pesantren pada umumnya, lebih mirisnya lagi, pesantren
yang ditempati para santri tersebut masihlah ngontrak. Untuk mencukupinya, Gus
Zainal menjual kerupuk yang dititipkan pada beberapa toko. Ya, sesederhana itulah
beliau.
Bagi para santrinya, Gus Zainal bukanlah hanya sosok
guru, melainkan juga seorang Ayah, sekaligus teman. Dan banyak para alumni yang
sekarang sukses dibidang kepenulisan, tidak lain berkat didikan beliau.
Membaca buku ini, rasanya ikut merasakan nyantri di PPM.
Hasyim Asy’ari, merasai perhatian, dukungan, serta canda tawa Gus Zainal.
Semoga, ada banyak “Gus Zainal lain,” yang semangat dibidang kepenulisan,
sekaligus menjadi teladan yang patut dicontoh. Akhirnya, semoga beliau khusnul
khotimah, dan diberikan tempat terbaik di sisi-Nya, Aamiin...
27 Juni 2020
http://sastra-indonesia.com/2020/06/jagatnya-gus-zainal/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar