Sabtu, 15 Februari 2020

OMAYGAD! Sutardji Presiden Puisi Abadi dan Mau Keluarkan Kredo Baru!?

Shiny.ane el’poesya

Seperti tak mau kalah dari Sapardi yang menerbitkan buku dengan berkolaborasi (Prokem: Tik-Tok-an) bersama Rintik Sendu, dikabarkan oleh KOMPAS-Sabtu 8 Februari 2020, dalam tulisan milik Putu Fajar Arcana di rubrik Sosok halaman 12, bahwa Sutardji ternyata diam-diam tengah mempersiapkan sebuah buku dengan sebuah Kredo baru, Maret nanti.“Omaygad!” Ya, di balik meja kerja, sontak saya berteriak lirih seperti tiba-tiba tercekik: “Omaygad!”

Ya, “Omaygad!” Sebab jujur saja, saya merasa benar-benar kaget mendengar kabar tersebut, terlebih dalam keterangan lebih lanjut, kita mendapatkan semacam gambaran apa yang sedang ada di kepala Sutardji dari kutipan-kutipan pernyataan yang dibuatnya. Seperti dari penggalan Puisi yang coba ditunjukkan oleh Sutardji kepada PFA berikut:

“//Cukup sejengkal Saja/akan bisa melipat dunia/Dan seribu tahunmu/dapat tersimpan luas/Dalam satu larik pendek saja/Tak maksudku untuk mengagung-agungkan puisi/Kemahamaknaannya itulah/yang menjadikannya berharga/Karena itu acungkan tabik takzim/Kepada kata-kata/Tak lain tak bukan kita juga//.”

Atau pada penggalan pernyataan berikut:

“Pertama-tama, seorang penyair bercakap-cakap dengan kata-kata, bukan dengan pembaca. Ketika percakapan itu selesai, barulah kata-kata itu bercakap-cakap dengan pembacanya.”

Atau juga pada pernyataan berikut:

“Kata-kata, meski telah memiliki makna yang mapan, di tangan para penyair, bukan tidak mungkin ia bergeser. Menurut Sutardji, kita membawa lidah kita kemana-mana Ini soal selera. Hari ini kita suka Bakso, esok lusa belum tentu. Dulu kita menyukai masakan ibu di kampong, tetapi suatu hari karena lama di Eropa, sudah tidak suka lagi.”

Atau satu lagi pada parafrase di bawah ini:

“Kata juga selalu membuka kemungkinan terhadap tafsir yang berbeda, yang sangat dipengaruhi oleh biografi seseorang. Kata ‘mawar’ tak pernah diresepsi secara sama oleh beberapa orang. Ia bisa berarti traumatic, bisa pula nostalgik. Misalnya, kata Sutardji, bagi seorang gadis yang dicium paksa oleh pacarnya di sebuah taman mawar dan dia berusaha memberontak, kata ‘mawar’ bisa sangat traumatic. Berbeda halnya kalau seorang gadis lainnya diperlakukan secara lembut oleh pacarnya, dia akan mengenang kata ‘mawar’ sebagai sesuatu yang nostalgik.”

“Omaygad!” Apa yang sebenarnya ada di kepala Sutardji dengan mengungkapkan berbagai hal yang--jika kita tinjau dari sejarah panjang perbincangan perpuisian di Indonesia--telah menjadi sesuatu yang hampir pasti diketahui oleh publik sastra yang terliterasi pada umumnya? Apa yang dibayangkan oleh Sutardji, mengenai perjalanan sejarah perbincangan sastra Indonesia sejauh ini, jika yang ia ungkapkan adalah hal yang benar-benar usang seolah-olah mengasumsikan publiknya masih hidup di zaman kegelapan? Padahal, apa yang diungkapkan Sutardji tersebut adalah hal yang mesti telah diketahui bahkan oleh kalangan pegiat sastra yang, bahkan oleh mereka yang tak mendalami ilmu kesusastraan secara serius, atau oleh mereka yang memang mengenyam ilmu kesusastraan di bangku-bangku perkuliahan.

Apakah Sutardji menganggap publik sastra kita saat ini (catat, saat ini) adalah publik sastra yang memang begitu rendah pengetahuan kesusastraannya sehingga persoalan kata dan kandungan psikologi makna yang mengiringinya, adalah sesuatu yang perlu ditekankan dalam sebuah perbincangan yang hendak dikedepankan? Apakah Sutardji menganggap publik sastra kita (sekali lagi) saat ini adalah publik sastra yang tidak terliterasi sehingga persoalan yang beginner course semacam itu perlu diberikan aksentuasi khusus dalam perbincangan yang hendak dimajukan? Padahal, apa yang diungkapkan oleh Sutardji bukanlah perkara yang untuk benar-benar mengetahuinya diperlukan penelusuran literatur linguistik yang mesti serius. Tidak pula untuk mengetahuinya diperlukan sebuah kerja penelusuran hingga kepada literatur-literatur klasik yang tak jarang merepotkan sehingga tidak mudah diakses oleh banyak orang, kecuali memang bagi mereka yang tekun dan sabar. Apa yang diungkapkan oleh Sutardji, adalah apa yang biasa-biasa saja dan tidak pula sedang terjadi kekeliruan persepsi publik mengenainya di tengah-tengah kita.

Dengan kenyataan yang agak anakronik lagi skizofrenik (seakan-akan dihantui oleh masalah) tersebut, alih-alih kita mendapatkan sebuah penyegaran dari yang akan dihadirkan, kita justru telah merasakan kembali satu situasi di mana memang pergulatan wacana kesusastraan tidak mungkin kita harapkan dari generasi pendahulu yang hidup hanya dalam zeitgeist dan zeitgehalt zamannya belaka. Alih-alih kita mengharapkan sebuah wacana kesusastraan saat ini yang dapat memboyong masa lalu sekaligus masa depan ke dalam presensi di hari ini secara eksistensial (sebagaimana Daseinnya Heidegger yang mampu menunaikan tugasnya sebagai manusia untuk melakukan sebuah refleksi menyeluruh dalam kehidupannya dengan masuk ke dalam sebuah kondisi yang dinamakan Sorge; untuk mengantisipasi kecemasan masa lalu dan kecemasan akan masa depan sekaligus) justru lagi-lagi kita nampaknya akan menemukan generasi pendahulu yang memboyong romantisisme intelektual masa mudanya ke masa kini seakan-akan menjadikan zaman kita saat ini layaknya panti asuhan yang harus siap-siaga untuk meladeni masa pubertas kedua mereka.

Sudah barang tentu, kenyataan demikian adalah kenyataan yang jelas merugikan bagi generasi kita di zaman ini yang sebenarnya layak untuk mengemban masa depan yang lebih baik dan berkesempatan untuk menyetirnya dengan lebih progress. Terlebih, jika kita hendak iseng dengan coba memblejeti penggalan puisi yang telah dibuat oleh Sutardji di atas sebagai sampel kemandekan, kita akan dengan mudah mengatakan bahwa apa yang ditulisnya tidak sama sekali menghadirkan selain nuansa pemikiran sebagaimana telah diungkapkan, juga nuansa penyegaran teknik perpuisian di sana. Justru, sebaliknya kita akan menemukan beberapa kerancuan dalam susunannya. Sebagai contoh:

Dalam rangkaian kalimat ini: “//Cukup sejengkal Saja/akan bisa melipat dunia/Dan seribu tahunmu/dapat tersimpan luas/Dalam satu larik pendek saja/” Jika kita perhatikan baik-baik dan dengan teliti, maka kita akan menemukan ketidaktepatan diksi yang digunakan oleh Sutardji pada penggunaan kata “luas,” yang seharusnya adalah kata “padat.” Mengapa? Karena Sutardji hendak melipatnya dalam bentuk sesuatu. Jika ia gunakan kata “luas,” maka ia sebenarnya telah melakukan penabrakan imaji “lipat” dengan imaji “luas” di sana, juga tentu dengan kata “pendek” yang terdapat setelahnya. Kemudian pada rangkaian kalimat berikutnya: “Tak maksudku untuk mengagung-agungkan puisi/Kemahamaknaannya itulah/yang menjadikannya berharga/Karena itu acungkan tabik takzim/Kepada kata-kata/Tak lain tak bukan kita juga//,” yang menempatkan kata “acungkan” mendahului frasa “tabik takzim.” Lagi-lagi kita boleh mengajukan pertanyaan, baik pertanyaan puitik (atau mungkin bolehlah sedikit pertanyaan moral), “Apakah tepat, seseorang yang hendak mengadakan sebuah pentakdziman terhadap sesuatu dengan cara mengacungkan sesuatu?” Tentu, jawabannya, hanya orang kurang ajar yang justru melakukan hal tersebut. Untuk menghormati kemerdekaan Indonesia, tentu orang Indonesia terlarang mengatakan “mengacungkan bendera” alih-alih “pengibaran bendera,” akan terlarang ia mengajungkan tiang dan senjata, alih-alih menegakkannya.

Sebagian pembaca lain mungkin akan bantu berdalih, bahwa maksudnya tidak begitu, tetapi seperti mana “pengibaran bendera,” dipilihkan kata lain yang lebih cocok. Nah! Justru di situ masalahnya, ada persoalan ketidaktepatan puitik di sana. Atau mungkin Sutardji sendiri akan berdalih, penggunaan kata tersebut hendak diasosiasikan dengan simbolisme yang ada dalam praktik Tahiyatus Sholah yang mana ketika pada penyebutan kata tertentu dilakukan secara bersamaan sebuah praktik “pengacungan jari telunjuk.” Namun, lagi-lagi, jika asosiasi itu diarahkan ke sana, maka Pertama, Sutardji pada dasarnya menjadi kuat bahwa ia telah melakukan sebuah pemulihan imannya terhadap kedudukan kata di dalam puisi, dan sedang benar-benar merasa telah melakukan deklarasi pertobatan dari Kredo pertamanya; dengan kata lain, yang ia lakukan saat ini bukanlah merupakan sebuah pembaharuan, melainkan sebuah pertobatan, yang mundur kembali dari langkah yang pernah dilakukannya, dan Kedua, Sutardji justru kembali terjebak kepada kesalahan yang pernah ia lakukan ketika ia melakukannya pada Mantra; jika memang Sutardji benar-benar hendak mengatakan pertobatan. Apa itu? Yaitu, menggunakan khazanah masa lalu masa lalu yang di dalamnya sebenarnya mengandung unsur kegaiban, menjadi hanya sesuatu yang sifatnya hanya simbol kultural; dalam sebuah hadits shahih, disampaikan bahwa praktik mengacungkan jari (terlebih sambil menggerakkannya berkali-kali) adalah praktik yang jika dilakukan akan membuat payah sekelompok jin-jin kafir. [Duh! Sutardji!]
***

Dalam tulisannya, Putu Fajar Arcana menggunakan judul: “Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Puisi Abadi.” Pemilihan judul yang demikian teranglah menunjukkan bahwa PFA tidak sama sekali melihat persoalan ini dengan benar-benar serius dan kritis. Terlebih, dalam keseluruhan tulisannya sendiri, pokok pembicaraan tidak sama sekali benar-benar membicarakan bagaimana problem Kepresidenan Sutardji ini sebenarnya dipermasalahkan, bahkan sangat-sangat dipermasalahkan terutama oleh generasi 2000an dan yang lebih muda lagi. Jika ingin dibandingkan, dengan judul demikian, PFA hanya terlihat menyinggung (catat: menyinggung bukan membahas) dalam tiga paragraph saja, selebihnya, hampir dari 20 paragraf membahas persoalan lain. Betapa buruknya penjudulan yang dilakukan oleh PFA ini, bahkan untuk dimuatkan bagi media sekelas KOMPAS.

Hal yang perlu kita beri catatan penting pula adalah, dari tiga paragraf yang coba dihadirkan oleh PFA mengenai duduk soal penyematan Presiden Penyair bagi Sutardji, adalah tiga paragraf yang justru hendak mendelegitimasi kedudukan kepenyairan Sutardji sebagai Presiden, sebab diungkapkan kembali bagaimana sebenarnya, pada mulanya Sutardji melakukan hal tersebut karena risau terhadap penyematan-penyematan yang dilakukan oleh H.B. Jassin kepada Amir Hamzah sebagai Raja Penyair Pujangga Baru, dan kepada Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan 45, atau oleh beberapa pihak penyematan Umbu Landu Paranggi sebagai Presiden Penyair Malioboro.

Tentu, PFA juga bisa mengelak bahwa tulisannya itu bukanlah tulisan yang ditulisnya untuk rubrik opini—budaya, melainkan sebagai tulisan feature biasa untuk rubrik sosok yang sifatnya cenderung apresiatif ketimbang kritis. Tetapi, tentu, lagi-lagi, dengan penjudulan yang justru bernuansa hiperbolis dan tulisan yang tak proporsional dengan judul, pada dasarnya PFA telah menyesatkan pembaca dengan mengabaikan berbagai perbincangan sastra terkait, hingga perkembangan terkini atas fakta-fakta perjalanan kesusastraan belakangan; tak hadirnya Sutardji dalam berkali-kali polemik pemelintiran sejarah sastra Indonesia yang dilakukan oleh sebagian pihak yang tak bertanggung jawab. Jauh peran daripada yang telah dilakukan oleh Saut Situmorang yang dengan itu juga turut memotivasi banyak kalangan muda untuk senantiasa awas terhadap praktik politik sastra di Indonesia yang melibatkan berbagai lembaga kesusastraan. Juga di luar itu, jauh lebih kreatifnya Afrizal Malna dalam terus mengembangkan-ke depan gagasan-gagasannya berkaitan dengan puisi, yang mana, Afrizal sendiri di awal karirnya pernah berpijak dari Kredo Sutardji yang kini oleh Sutardji justru terus makin dikhianatinya sendiri.

Sebagai penutup, saya hendak mengatakan. Ya, jangankan julukan Presiden Penyair, julukan Presiden Perusahaan saja jika kita hendak perlakukannya sebagai main-main, maka itu bisa kita katakan sebagai julukan “main-main” dalam dunia yang memang “main-main” ini. Tetapi, apa iya “main-main” itu semain-main ini—dimana Sutardji sendiri tidak pernah secara publik berani untuk melepaskan julukan main-mainnya itu, alih-alih memanfaatkan situasinya di berbagai tempat, waktu dan kesempatan?!

Babakan, Ciwaringin, Cirebon, 08 Februari 2020. #SainsPuisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita