Rabu, 11 Agustus 2021

Novel Orang-Orang Bertopeng (14)

Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002
 
Teguh Winarsho AS
 
DELAPAN
 
MESKI hati Salman diliputi perasaan bahagia, tapi ia masih sering merasa cemas. Terutama jika larut malam ketika ia kesulitan memejamkan mata. Bayang-bayang gerombolan orang bertopeng kerap hadir menghantui. Begitu menakutkan. Begitu mengerikan hingga sering terbawa dalam tidur. Dalam mimpi. Entah sudah berapakali dalam tidurnya Salman berteriak-teriak seperti orang kesakitan disiksa.

Diam-diam Salman merasa hidupnya terancam. Memang mulutnya masih  bisa tersenyum, tertawa dan bercanda, tapi sebenarnya hatinya selalu gelisah, tidak tenang. Bahkan jika kebetulan sedang berjalan seorang diri di jalan sepi, mendadak Salman sering merasa seperti ada seseorang atau sekelompok orang yang membuntuti di belakang dengan sorot mata tajam dan sepucuk senapan panjang siap ditembakan di kepalanya. Pada saat seperti itu bisa dipastikan tubuh Salman menggigil tenaganya terhisap lesap. Lemas.
 
Begitulah, Salman sangat takut dan cepat berkeringat dingin di tempat-tempat sepi. Tempat-tempat yang selalu mengingatkannya pada gerombolan orang bertopeng. Wajar jika Salman kemudian sering menghindari tempat-tempat seperti itu sekalipun jarak yang ditempuh semakin jauh. Atau kalau terpaksa harus lewat, Salman biasanya mengajak teman seorang atau dua orang lagi. Benar-benar menyakitkan. Salman tak pernah lagi bisa merasakan nikmatnya sebuah perjalanan.
 
Ya, bayang-bayang gerombolan orang bertopeng sangat sulit dihapus dari ingatan Salman meski kondisi kampung kini sudah mulai terlihat aman. Cukup lama Salman disekap gerombolan orang bertopeng yang membuatnya trauma. Masih beruntung Salman tidak sampai gila seperti Khamdin, Simar atau Hikman yang kemudian sering menjadi bahan ejekan dan tertawaan anak-anak kecil jika sedang melenggang di jalan. Bahwa kini ia masih sering dihantui gerombolan orang bertopeng, Salman sadar sepenuhnya itu hanya persoalan waktu saja. Kelak jika kondisi kampung benar-benar sudah pulih, atau dengan menyibukkan diri dengan berbagai macam kegiatan pasti bayang-bayang itu akan hilang dengan sendirinya.
 
Kedua orang tua Salman rupanya juga punya pikiran sama. Karenanya menurut mereka, yang paling mendesak harus dilakukan Salman ialah cepat-cepat menikah, berkeluarga. Meski kedua orang tua yang sudah mulai pikun itu masih kebingungan mencari gadis mana yang kira-kira cocok untuk mendampingi Salman.
 
Salman cukup tampan dan gagah. Karenanya sejauh ini kedua orang tuanya tak pernah memikirkan nasib Salman berkaitan dengan jodoh. Tidak saja akan memalukan, tapi juga melecehkan kebebasan Salman sebagai laki-laki dewasa yang mempunyai kebebasan penuh untuk menentukan pilihannya sendiri. Tapi bahwa sekarang mereka ingin mencarikan jodoh untuk Salman, semata-mata karena ada hal lain di luar itu yang lebih mendesak. Salman harus kembali hidup normal! Itu alasan utama kedua orang tua Salman yang diam-diam mulai bosan mendengar jerit kesakitan Salman hampir setiap malam tatkala tidur. Atau mendadak Salman bertingkah aneh di luar kontrol.
 
Orang tua mana yang tega melihat anaknya hidup kacau? Amburadul? Tidak ada. Kecuali jika si anak memang sudah keterlaluan. Tapi sejauh ini di mata kedua orang tuanya, Salman boleh dibilang termasuk anak yang baik. Kelakuan-kelakuannya yang belakangan kadang aneh, menurut orang tua Salman karena masih trauma diculik gerombolan orang bertopeng. Toh, di saat-saat lain, Salman bersikap normal, masih giat bekerja di sawah atau ladang. Bahkan jauh lebih giat dibanding ketika belum diculik. Entah motivasi apa yang membuat Salman bekerja begitu keras menguras tenaga. Tidak ada orang lain yang tahu kecuali Salman sendiri.
***
 
SALMAN tergeragap bangun. Rambutnya acak-acakan persis kain seprei dibawahnya. Untuk beberapa saat lamanya Salman masih termangu di atas tempat tidur. Salman ingat mimpinya semalam. Mimpi yang mengerikan. Dalam mimpi tersebut Salman didatangi pimpinan gerombolan orang bertopeng yang bertanya macam-macam perihal laki-laki bernama Zaini Paleun. Anehnya mulut Salman mendadak kaku tidak bisa dibuka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Membuat pimpinan gerombolan orang bertopeng itu marah besar. Berkali-kali kepala Salman dihantam dengan lonjoron besi sebesar lengan orang dewasa. Salman merintih kesakitan.
 
Ah, lagi-lagi mimpi buruk! Batin Salman jengah. Dengan perasaan tidak enak Salman bangkit membuka jendela. Cahaya matahari dengan leluasa masuk ke dalam kamar. Sesaat kedua bola mata Salman yang masih sipit mengerjit, silau, oleh bulatan putih keperak-perakan yang begitu menyengat. Lalu dikucek-kucek matanya sembari menghirup segar udara pagi. Kali ini Salman merasa sedikit lebih enak. Tubuhnya ringan. Dan, ketika Salman membuka matanya lebih lebar, tampak dikejauhan pohon-pohon jati yang menguning daunnya. Sebagian rontok ke tanah. Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang mengganggu pikiran Salman; seraut wajah cantik Fatma! Karena itu Salman segera beringsut mengambil langkah-langkah panjang menuju kamar mandi.
 
Sampai di dapur, Salman melihat Mamak sedang menyiapkan sarapan pagi. Di atas meja sudah terhidang dua cangkir kopi masih panas, mengepul.
 
"Baru bangun?" tanya Mamak sambil mengiris kacang panjang.
 
"He-eh," Salman mengangguk, meneruskan langkah menuju kamar mandi.
 
Tidak lebih dari lima menit Salman sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk dililitkan di leher. Sebagian rambutnya basah. Sebelum melangkah jauh, Salman sempatkan mencicipi kopi buatan Mamak.
 
"Hmmm, enak sekali....." gumam Salman menghirup aroma kopi dalam-dalam.
 
"Siapa dulu yang bikin," sahut Mamak di depan tungku.
 
Salman tertawa. Tapi tawanya terdengar aneh, ganjil.
 
Mamak merasa aneh mendengar tawa Salman yang lain dari biasanya. Ada sesuatu yang kemudian ingin ditanyakan Mamak pada Salman. Tapi ketika dilihatnya Salman masih menikmati kopi dengan begitu berselera, Mamak mengurungkan niatnya. Mamak kemudian justru membetulkan letak sanggulnya yang turun, membuat rambutnya sedikit acak-acakan, lantas berkata: "Setelah pekerjaan ini selesai aku akan menyusul Ayahmu ke ladang. Apa kamu mau ikut?"
 
Salman kurang mendengar pertanyaan Mamak sehingga perempuan tua itu merasa perlu mengulang lagi, "Aku akan menyusul Ayahmu ke ladang. Apakah kamu mau ikut?"
 
Salman menatap Mamak. Lalu menggeleng pelan.
 
Hari ini Salman punya rencana sendiri. Ia akan berkunjung ke rumah Fatma. Sudah hampir satu minggu ia tak melihat wajah cantik itu. Salman rindu sekali. Salman ingin menikmati kecantikan Fatma.
 
Hampir sepuluh menit Salman mematut-matut diri di depan cermin. Sesekali tersenyum dan bicara-bicara sendiri. Untung Mamak tidak dengar, jika dengar pasti Mamak semakin penasaran. Mamak pasti menduga anaknya sudah gila.
 
Setelah merasa puas dengan penampilannya, Salman berjalan menghampiri meja di sudut kamar. Lalu, dengan hati-hati dibukanya laci meja dan diraihnya bungkusan plastik kecil berikut amplop surat berwarna merah hati bergambar dua ekor kupu-kupu bercumbu. Sesaat diciumnya sampul amplop itu seperti mencium minyak wangi.
 
"Aku ke ladang dulu," suara Mamak mengejutkan Salman. Bungkusan plastik kecil di tangannya nyaris jatuh.
 
"Iii-ya," Tergagap Salman menjawab. Disembunyikannya bungkusan plastik kecil itu di bawah bantal, kawatir jika tiba-tiba Mamak masuk kamar.
 
"Jangan lupa, kunci semua pintu rumah jika kamu mau pergi!"
 
"Ya." Salman menarik nafas lega Mamak tidak masuk ke kamarnya.
 
Dan, sebelum benar-benar keluar kamar, untuk kesekian kalinya Salman memuaskan diri mematut di depan cermin seolah takut penampilannya berubah tidak menarik. Lalu, dengan jantung berdebar Salman mulai membuka pintu depan dan melangkah keluar. Perasaan bahagia dan haru campur aduk jadi satu membuat langkah Salman terlihat aneh. Keanehan itu semakin terlihat jelas saat bertemu dengan beberapa penduduk kampung yang menyapanya dengan hangat, tapi ia balas dengan senyum masam.
 
(bersambung)
***

http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-14/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita