Badaruddin Amir
Sastra Bugis memang belum banyak ditulis. Di tengah konstelasi sastra
nasional sastra Bugis seolah-olah berhenti pada periode sastra klasik. Setelah
itu tak ada generasi yang melanjutkan tradisi
bersastra dari para empu atau bujangga ‘anonim’ yang pernah menciptakan
Pau-Pau Rikadong, atau menyusun kembali Sureq Meong Palo Karellae, atau
syair-syair lagu (yang juga boleh disebut sastra) seperti Bulu Alau’na Tempe,
Indo Logo, Ongkona Sidenreng dan sebagainya. Lagu-lagu Bugis klasik itu juga
dikarang oleh para empu ‘anonim’.
Satu-satunya karya sastra Bugis klasik yang dapat disebut memiliki
identitas yang jelas adalah I La Galigo karena ia sempat diselamatkan oleh
Colliq Pujie, sehingga Colliq Pujie hampir identik dengan penyusun I La Galigo.
Sebagai ‘empu’ sastra Colliq Pujie konon memiliki beberapa karya sastra lagi
yang semuanya dapat disebut sebagai sastra klasik Bugis. Tapi karya-karya
tersebut tenggelam di bawah kemilau dan kepopuleran I La Galigo sebagai karya
‘saduran’ Colliq Pujie. Tentu karena beberapa sebab, antara lain I La Galigo
menjadi kajian sastra klasik Bugis, sedang karya-karya (asli dan saduran)
Colliq Pujie yang lain seperti “Sureq Baweang”, “Lontarak Bilang”, “La Toa”,
“Sejarah Tanete” jarang ada yang membicarakannya.
Disamping sulit menemukan karya-karya sastra Bugis sekarang ini,
karya-karya esai, kritik sastra, ataupun studi sastra Bugis juga susah
ditemukan. Kecuali buku yang disusun oleh para ahli seperti “Retna Kencana
Colliq Pujie Arung Pancana Toa, 1812-1876 : intelektual penggerak zaman” karya
Nurhayari Rahman yang lebih merupakan karya penelitian terhadap sejarah dan
kultus pribadi Colliq Pujie, satu-dua buku teori atau buku kajian tentang
sastra Bugis –yang biasanya berasal dari skripsi atau disertasi yang
diterbitkan menjadi buku, tak ada yang benar-benar memiliki landasan teori
kajian sastra Bugis yang berangkat dari sastra Bugis itu sendiri. Referensi
yang kebanyakan menjadi pembanding untuk mengkaji keberadaan sastra Bugis
adalah referensi kajian sastra Melayu Klasik atau sastra Indonesia klasik.
Sehingga demikianlah kita bisa melihat periodisasi sastra Bugis mengikut pada
periodisasi sastra Melayu atau sastra Indonesia klasik. Demikian juga dengan
klasifikasi genre sastra Bugis tak jauh berbeda dengan genre sastra Melayu atau
sastra Indonesia klasik yang terdiri dari puisi klasik, prosa klasik dan prosa
liris. Contoh genre sastra Bugis seperti “Pau-Pau ri Kadong” telah dimasukkan
ke genre sastra dongeng (prosa klasik), “elong mpugi” telah dimasukkan ke dalam
genre syair (puisi klasik), demikian seterusnya. Padahal pembagian sastra
Melayu klasik atau sastra Indonesia kalasik sendiri masih menyisakan distorsi
meski para ahli tak ada lagi yang berminat meluruskannya.
Langkanya buku studi sastra Bugis dipengaruhi oleh tak berkembangnya
karya-karya sastra Bugis dari masa ke masa. Ini bisa dilihat dari perkembangan
penerbitan karya-karya sastra (di) Sulawesi Selatan ataupun di luar Sulawesi
Selatan yang ditulis oleh generasi penulis (ber)etnis Bugis atau Makassar. Di era sastra modern ini
hampir tak ada kabar penerbitan karya-karya sastra berbahasa Bugis atau
Makassar, kecuali konon sebuah novel berbahasa Makassar berjudul “Karruq Ri
Bantilang Phinisi” yang ditulis oleh budayawan Drs. Muhannis Ara Daeng Lawaq
dari Bulukumba dan berani menyandang gelar ‘Sastrawan Bugis (Makassar)’. Yang
lainnya adalah novel-novel Indonesia modern yang bersetting atau bermutan lokal
budaya Bugis (Makassar), seperti novel “Perempuan Poppo” karya Dul Abdul Rahman, “Natisha” karya
Khrisna Pabbicara, “Lontara Rindu” karya S.Gegge Mappangewa atau kumpulan
cerpen seperti “Gadis Pakkarena” (Khrisna Pabbicara), “Benarkah Istriku
Parakang” (antologi cerpen Komunitas Parepare Menulis) dan juga kalau mau
disebut kumpulan cerpen “Latopajoko & Anjing Kasmaran” (Badaruddin Amir)
dan lain-lain. Buku-buku tersebut hanya bermuatan lokal “Bugis atau Makassar”
tapi tidak ditulis dalam bahasa maupun aksara Bugis. Tak jauh beda dengan
kumpulan puisi. Penyair dan dramawan Ram Prapanca pernah menerbitkan sekumpulan
puisi berlatar belakang Bugis (Makassar) berjudul “Berita dari Karaeng” dalam
bahasa Indonesia dan Chaeruddin Hakim menerbitkan “Danau Semesta” sebuah kumpulan
puisi berlatar budaya Bugis tapi juga ditulis dalam bahasa nasional bahasa
Indonesia. Begitu pula dengan “Binrolle” kumpulan puisi Tomy Tamara.
Tak adanya generasi dari etnis Bugis (Makassar) yang berani menjadi pelaku
sastra Bugis (Makassar) tentu karena beberapa faktor. Salah satunya karena
kebanyakan generasi Bugis (Makassar) sekarang tidak menguasai bahasa Bugis
(Makassar) dengan baik sebagaimana penutur bahasa Bugis (Makassar) terdahulu.
Banyak kata-kata Bugis klasik yang indah-indah sebagaimana dalam ‘ada-ada
sulassana ugi Masagalae’ dan ‘Lontarak’ tak lagi digunakan sekarang karena
telah tergantikan dengan bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa lain yang konon
lebih praktis. Dan yang terutama karena penutur bahasa Bugis (Makassar) –di
daerah (ber)etis Bugis/Makassar sendiri,
jauh lebih sedikit dari pengguna bahasa Indonesia. Hal ini juga menjadi sebab mengapa tak ada
perusahaan penerbitan pers yang mau menerbitkan media khusus berbahasa
Bugis/Makassar. Bahkan tak ada lagi media yang berani membuka rubrik bahasa
daerah semacam rubrik “Coto Mangkasara” yang sangat terkenang dengan
celoteh-celoteh bahasa Makassarnya di harian Pedoman Rakyat dahulu.
Jika komunitas penutur sedikit maka segencar apa pun upaya sosialisasi
sastra Bugis (Makassar) tidak akan memungkinkan untuk berkembang secara luas
kecuali melalui terjemahan ke dalam bahasa yang memiliki penutur lebih luas.
Karena itulah banyak penulis yang sesungguhnya dapat menulis karya-karya sastra
Bugis lebih memilih untuk langsung menulis dalam bahasa Indonesia saja, meski
yang diungkapnya atau yang menjadi tema tulisannya adalah hal-hal yang
berkaitan dengan budaya Bugis atau Makassar.
Karena itu jangan diartikan bahwa tak ada generasi dari etnis Bugis
(Makassar) yang berminat pada sastra. Peta sastra secara nasional
memperlihatkan sastra di Sulawesi Selatan telah menjadi salah satu bagian
penting dari pembangunan konstelasi sastra nasional kita. Lihatlah “9 Jawaban
Sastra: sebuah Orientasi Kritik” (Maman S. Mahayana, 2005) di sana sastra
Sulawesi Selatan mulai dimunculkan. Demikian pula dalam “Apa Siapa Penyair
Indonesia” (yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017), sejumlah sastrawan (penyair)
Sulawesi Selatan telah tercatat di dalamnya. Dan pada beberapa antologi puisi
dan cerpen yang terbit secara nasional sastrawan-sastrawan Sulawesi Selatan
yang beretnis Bugis dan Makassar pun tak pernah luput menjadi bagian di
antaranya. Para penyair, esais, cerpenis hingga novelis Sulawesi Selatan saat
ini sudah diperhitungkan sebagai sastrawan nasional. Sastra Sulawesi Selatan
yang dibangun oleh anak-anak beretnis Bugis (Makassar) ini tidak lagi dilihat
sebelah mata di tingkat pusat. Meski demikian ini tidak berarti bahwa “sastra
Bugis/Makassar” dengan sendirinya telah terbopong ke sana.
Rata-rata anak Bugis yang menjadi sastrawan (penyair atau penulis prosa)
tidak menulis dalam bahasa daerah Bugis(Makassar). Sehingga demikianlah sastra
Bugis (Makassar) adalah sastra yang tidak berkembang atau dapat disebut sebagai
sastra yang tetap ketinggalan zaman. Sastra Bugis (Makassar) tidak mengikuti
perkembangan sastra modern dan kebanggaan kita pada sastra Bugis (Makassar)
adalah kebanggaan mengelap-ngelap barang antik. Sastra Bugis (Makassar) yang
sudah ada dianggap sebagai sebuah artefak atau barang antik yang harganya mahal
sehingga harus tersimpan di sebuah bufet antik berwarna gelap dan menjaganya
sepanjang zaman tanpa upaya penulisan kembali secara historiografi, rekonstruksi,
atau reinterpretasi. Kita menerima sastra Bugis/Makassar sebagai warisan,
sebagai sebuah tradisi yang biasanya tidak disertai dengan pemikitan kritis.
Padahal sesungguhnya warisan budaya—termasuk sastra—mestinya diterima secara
terbuka dan disertai dengan sikap kritis terutama pada pemaknaan secara
sosio-kultural.
Prof. Dr. Abdul Hadi WM dalam sebuah diskusi sastra nasional (Munsi II)
mengatakan, “tradisi biasanya dipatuhi oleh semua anggota masyarakat tanpa
pemikiran yang kritis. Demikian pula dalam dunia sastra. Tradisi menulis sastra
dimiliki oleh setiap etnik yang tumbuh
di daerah seperti di Bali, Sunda, Madura, Bugis dan di etnik-etnik lain.
Tradisi menulis pantun, tembang macapat, singir (syair Jawa), si’ir (syair
Madura), kelong (syair Bugis) memiliki konvensi dan norma-norma yang telah
dirumuskan secara lisan dan mengikat. Kondisi yang seperti inilah yang
memunculkan istilah ‘tradisionalisme’ dan diterima oleh para pengarang
Indonesia pada abad ke 20 M.
Dari pemahaman seperti itu muncul perbedaan tajam antara tradisi dan
modern, antara tradisional dan modernitas, dan antara paham ‘tradisionalisme’
dan paham ‘modernisme’. Perbedaan seperti itu pulalah yang mendorong semangat
Sutan Takdir Alisjahbana menerbitkan antologi ‘Puisi Lama’ dan ‘Puisi Baru’
serta label-label yang lain seperti ‘Pujangga Lama’ dan ‘Pujangga Baru’,
‘Sastra Lama’ dan ‘Sastra Baru’ pada tahun 30-an yang diamini pula oleh
peneliti sastra seperti C.Hooykaas”.
Cara memandang seperti itu, kata Abdul Hadi WM lagi, adalah cara memandang
sastra yang sangat linear. Meletakkan tradisi sepenuhnya sebagai bagian dari
masa lalu akan membuat karya-karya sastra masa lalu itu kehilangan eksistensi
pada masa kini. Apalagi dengan hadirnya istilah sastra modern dengan berbagai
identitas itu. Sastra masa lalu menjadi terpinggirkan, norma-norma dan konvensi
penulisannya harus ditinggalkan, begitu pula cara penilaiannya. Padahal tidak
sedikit karya-karya sastra masa lalu yang memiliki nilai universal dan
eksistensinya masih sangat relevan hingga masa sekarang ini. Sebutlah
karya-karya besar seperti Oedipus Rex karya Sopocles, Bhagavat Gita yang
dikarang pada abad ke-3 SM dalam bahasa Sanskerta telah mengilhami sekian
banyak kitab-kitab modern yang bukan hanya kitab sastra, tapi juga kitab-kitab
filsafat. Demikian pula dengan epos Lagaligo dari Tanah Bugis, yang seharusnya
mengilhami karya-karya sastra di tanah air kita.
Pandangan dikotomi ‘Sastra Tradisional’ dan ‘Sastra Modern’ dengan segala
ekses yang ditimbukannya seharusnya tidak menjadi paham atau anutan dalam
berkarya bagi para sastrawan sekarang ini. Sastra tradisional harus dipahami
sebagai sastra nusantara, sebuah khasanah (kekayaan) sastra yang dimiliki oleh
bangsa kita. Hanya dengan berbicara tentang sastra nusantara, kita dapat mengetahui
apa yang dimaksud dengan ‘sastra tradisional’” sebagai sebuah kultur budaya
yang berkembang hingga hari ini. Sastra yang kini bertumbuh dan berkembang di
pelosok-pelosok daerah adalah sastra nusantara yang memproyeksikan kebinekaan
dalam bingkai keindonesiaan kita. Dan kita, generasi Bugis (Makassar) cukup
berbangga apabila sastra Bugis (Makassar) yang disakralkan itu sekali-kali
dikeluarkan dari lemari antiknya untuk diseminarkan. Kebanggaan kita pada
sastra Bugis (Makassar) di tengah konstelasi sastra nasional sekarang ini
adalah kebanggaan “seminar”, bukan kebanggaan “kreatif” karena lahirnya sebuah
karya sastra Bugis(Makassar) yang baru.
Sangat berbeda dengan sastra nusantara lain seperti sastra Jawa Kuna yang
mulai berkembang di abad ke-9 hingga abad ke-14 Masehi maupun Sastra Sriwedari
(Sastra Jawa) yang sudah ada sejak 1924 dengan tokoh penting seperti R.M. Ng.
Poerbatjaraka (1884-1964). Atau Sastra Sunda yang terus menerus berkembang
secara kreatif dengan dukungan media, penerbitan dan penghargaan bagi
tokoh-tokohnya seperti yang diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage. Sastra
Sunda terus berkembang dari periode ke periode sejak sebelum perang dan
melahirkan beberapa tokoh penting seperti Muh. Musa (lahir 1822), P.H.H.Mustapa
(lahir 1852), D.K. Ardiwinata (lahir 1866), Sayudi (lahir 1932), Yus Rusyana
(1938), Ajip Rosidi (1938), R.H.Hidayat Suryalaga (lahir 1941), hingga Godi
Suwarna (lahir 1956) dan Etty R.S (lahir 1958). Mereka menulis dalam bahasa
Sunda (disamping ada juga yang menulis dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia)
dan mereka justru merasa bangga disebut sebagai sastrawan Sunda. Mereka pun tak
merasa lebih penting untuk menjadi sastrawan Indonesia atau sastrawan nasional
karena karya-karyanya juga banyak dibaca orang setelah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Hal yang tak pernah kita dengar ada sastrawan Bugis yang
menulis sastra Bugis modern semisal puisi, cerpen maupun novel dalam bahasa
daerah Bugis. Persoalan ini tentu saja akan panjang jika kita menelusuri atau
menganalisis lebih jauh sebab musababnya mengapa tak ada sastrawan entis Bugis
yang mau menulis dalam bahasa Bugis atau Makassar dan bangga untuk disebut
sebagai sastrawan Bugis.
Pada kenyataannya sastra Bugis itu adalah stereotip sastra lama yang pernah
ditulis oleh para empu sastra Bugis zaman dahulu. Tak ada puisi bugis modern
yang ada adalah elompugi (Catatan: Chaeruddin Hakim telah memulai menulis
sastra Bugis tapi masih tak berani keluar dari pola-pola sastra Bugis klasik
yang disebut ‘Kelong’), tak ada cerpen Bugis maupun Makassar modern yang ada
adalah “Pau-Pau ri Kadong” (dongeng), demikian pula tak ada novel Bugis modern.
Yang dimaknai oleh kebanyakan orang sebagai karya sastra Bugis adalah
karya-karya sastra modern seprti puisi, cerpen dan novel yang mengambil
“setting” atau latar belakang kebudayaan Bugis; nama-nama Bugis, adat istiadat
Bugis, upacara-upacara Bugis, mitologi Bugis yang ditulis dalam langgam bahasa
dan sastra Indonesia modern. Kalau kita mengambil definisi sastra Bugis adalah
karya sastra yang ditulis dalam bahasa daerah Bugis maka tentulah karya-karya
sastra yang berlatar belakang kebudayaan Bugis tapi ditulis dalam bahasa
Indonesia ini bukanlah sastra Bugis, melainkan karya sastra Indonesia yang
bermutan lokal. Atau karya sastra Indonesia kontekstual: yang merujuk pada
konteks budaya daerah.
Strategi Politik Bahasa Nasional sebenarnya berlaku juga pada “Politik
Sastra Nasional” meski ini jangan diartikan secara juridis formal. Jika pada
strategi Politik Bahasa Nasional menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertama, bahasa daerah sebagai bahasa kedua dan bahasa asing sebagai bahasa
ketiga, maka strategi perkembangan sastra pun demikian halnya. Karena bahasa
dan sastra tidak bisa dipisahkan. Pada sastra nasional Sastra Indonesia menempati
posisi sebagai klas sastra pertama, sastra Daerah yang ditulis dalam bahasa
daerah menjadi klas sastra kedua, dan sastra asing yang kebanyakan diterima
sebagai sastra terjemahan sebagai klas sastra ketiga. Meski demikian pada
kenyataannya antara sastra nasional dan sastra asing telah terjadi “perebutan”
kekuasaan disebabkan karena kualitas dan gencarnya penerjemahan karya-karya
sastra asing di Indonesia. Meski demikian sastra tidak perlu diatur dalam
sebuah regulasi dan undang-undang karena sastra tidak mengembang amanat
“politik”, konteksnya tidak berkaitan dengan faktor-faktor ekologi
kemasyarakatan beraspek “Ipoleksosbudmil” dan tak ada kaitannya dengan strategi
bela negara. Sastra mengemban amanah ‘kemanusiaan’ secara universal yang
berkaitan dengan kepentingan-kepentingan personal appreciation. Yang perlu
diwaspadai hanyalah masuknya isme-isme atau ajaran-ajaran yang dapat
menyesatkan umat dan tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa, yang dapat saja
merangsek melalui sastra asing terjemahan.
Barru, 2018
*gambar: La Galigo, foto kkssnunukandotwordpressdotcom
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar