Yasin Susilo
takalarterkini.com
Di kalangan orang Makassar, sejak dahulu telah mengenal tentang bahasa
berirama atau sastra. Mereka menggunakan sejak dahulu sebagai bahasa
sehari-hari, suatu contoh apabila seseorang akan meminang biasanya dicari orang
yang mampu bersilat lidah danmelontarkan bahasa-bahasa kiasan atau bahasa
tutur, agar pinangannya dapat diterimadipihak wanita. Sama halnya seorang ibu
yang menidurkan anak dalam buaian, biasanya didengar irama lagu yang penuh
harapan- harapan. Lagu yang dituturkan agar anak dapat dirasuki dengan irama
tersebut, kelong atau pantun masih sering diucapkan orang-orang tua kita,
pantun yang penuh pesan, pantun yang penuh pendidikan, pantun yang penuh
petuah-petuah, sekarang ini telah banyak dilupakan oleh generasi muda, banyak
dipinggirkan oleh petuah-petuah yang datang dari barat, kalau didengar isinya
malah mengajak ke jalan yang kurang etis.
Suku Makassar sebagai kelompok terbesar kedua etnis masyarakat di Sulawesi
Selatan, juga memiliki kekayaan naskah karya sastra, baik yang ter-golong puisi
maupun prosa. Sastra Makassar yang tergolong jenis puisi, yaitu doangang
(mantera), paruntuk kana (peribahasa), kelong (pantun), pakkiok bunting
(sanjak), dondo (sanjak), aru (puisi), dan rapang (perumpamaan); yang tergolong
jenis prosa, yaitu rupama (dongeng), pau-pau (hikayat, riwayat, roman),
patturioloang (silsilah), dan lontarak bilang (buku harian kerajaan); dan yang
tergolong bahasa berirama, yaitu royong (nyanyian) dan sinrilik. Pada umumnya,
semua jenis karya sastra Makassar tersebut sudah terinvertarisasi dan
terdokumentasi.
Ragam karya sastra Makassar yang sedemikian kaya tersebut merupakan potensi
kekayaan Nasional yang berkearifan lokal yang dapat dikembangkan dalam rangka
merawat kebudayaan. Selain itu, sebagai karya sastra, Sastra Makassar memiliki
watak dan karakter sebagaimana karya sastra lainnya. Karya sastra, sejatinya,
tidak hanya menyajikan bentuk tulisan imajiner saja, melainkan karya sastra
menyarikan hasil sublimasi, adaptasi, dan representasi dari realitas yang
melatarinya. Tulisan karya sastra juga merupakan respons dari pengalaman
personal maupun sosial dari kejadian dan kondisi yang terjadi di sekeliling
kita.
Dengan kata lain, sastra bukan hanya sekumpulan artefak (barang mati),
tetapi sastra merupakan sosok yang hidup. Sebagai sosok yang hidup, sastra
berkembang dengan dinamis menyertai sosok-sosok lainnya, seperti politik,
ekonomi, kesenian, dan kebudayaan. Sastra dianggap mampu menjadi pemandu menuju
jalan kebenaran karena sastra yang baik adalah sastra yang ditulis dengan penuh
kejujuran, kebeningan, kesungguhan, kearifan, dan keluhuran nurani manusia.
Sastra yang baik tersebut mampu mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan
manusia ke jalan yang semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam usaha menunaikan
tugas-tugas kehidupannya.
Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Hal itu dikarenakan
sastra ditulis dalam kurun waktu tertentu yang langsung berkaitan dengan norma-
norma dan adat istiadat zaman itu dan pengarang sastra merupakan bagian dari
suatu masyarakat atau menempatkan dirinya sebagai anggota dari masyarakat
tersebut. Dengan demikian, Sastra Makassar merupakan sarana yang memungkinkan
dalam menjaga kearifan lokal suatu daerah dengan wataknya yang mampu memahami
perkembangan sejarah dan masyarakatnya, tentu juga dapat berselancar di era
milineal kita ini.
Pandangan di atas juga senafas dengan regulasi yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah sebagai representasi Negara, misalnya dalam Undang-undang Nomor 24
Tahun 2009 Pasal 41 ayat 1, dijelaskan bahwa pemerintah wajib mengembangkan,
membina, dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia agar tetap memenuhi
kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
sesuai dengan perkembangan zaman. Selain itu, pada pasal 42 Undang-undang
tersebut diuraikan bahwa Pemerintah Daerah wajib mengembangkan, membina, dan
melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya
dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap
menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
Sastra Makassar sebagai endapan dari kearifan lokal masyarakat pemiliknya,
termasuk di Bumi Panrannuangku (Takalar) adalah totalitas hasil pemikiran dan
tingkah laku yang dimiliki oleh masyarakat Makassar tentang sistem atau tatanan
yang berlaku pada interaksi sosial dalam masyarakat Takalar dan dapat
diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya melalui belajar. Hasil
pemikiran tersebut berupa nilai-nilai budaya Makassar yang telah diwujudkan
dalam pola tingkah laku masyarakat Makassar dalam kehidupan keseharian.
Nilai-nilai budaya Makassar yang dimaksud antara lain nilai kejujuran, nilai
keadilan, nilai kecendikiaan, nilai kepatutan, abbulosibatang, sipakatau, siri’
dan pacce.’
Dengan demikian, kearifan lokal manusia Makassar merupakan penggambaran
dari totalitas hasil pemikiran dan tingkah laku yang dimiliki oleh masyarakat
Makassar tentang sistem atau tatanan yang berlaku pada interaksi sosial dalam
masyarakat Makassar yang diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya. Hasil
pemikiran tersebut berupa nilai-nilai budaya Makassar yang telah diwujudkan
dalam pola tingkah laku masyarakat Makassar dalam kehidupan keseharian.
Nilai-nilai budaya Makassar yang dimaksud terangkum dalam budaya siri’,
pacce’, abbulosibatang dan sipakatau. Bekal kearifan lokal yang demikian itulah
yang memungkinkan, Sastra Makassar mendapat ruang untuk diadaptasi,
disublimasi, dan direpresentasikan melalui kegiatan apresiasi sastra bagi
pemuda, khususnya siswa di sekolah.
Ada beberapa fungsi Sastra Makassar sebagai salah satu khazanah sastra
Daerah yang dihimpun dari berbagi sumber, sebagai berikut: a) Sebagai sebuah
bentuk hiburan. b) Sebagai pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga
kebudayaan. c) Sebagai alat pendidikan anak-anak. d) Sebagai alat pemaksa dan
pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
e) Sastra daerah sebagai wahana ekspresi budaya daerah mempunyai fungsi merekam
pengalaman budaya, estetik, religious, dan sosial politik masyarakat serta
menumbuhkan solidaritas kemanusiaan. f) sastra daerah sebagai cermin/refleksi
kehidupan masyarakat pemilik sastra daerah tersebut. g) Sastra daerah dapat dijadikan
sebagai sarana pendidikan budi pekerti untuk membentuk karakter anak bangsa. h)
Sastra daerah dapat dijadikan sebagai pedoman kehidupan berumah tangga dan
berinteraksi sosial, dan i) Sastra daerah pun dapat dijadikan sebagai wahana
peningkatan keteguhan iman dalam kehidupan beragama.
Adapun peran kita dalam rangka merawat, membina, dan mengembangkan Sastra
Makassar sebagai upaya pembangunan kearifan lokal daerah dapat dilakukan dengan
pelbagai upaya dan pendekatan. Di antaranya: a) Melakukan inventarisasi dan
eksplorasi terhadap ragam sastra daerah (baik lisan atau tulis) yang masih
tersebar luas di masyarakat. b) Ragam sastra daerah yang terwujud lisan perlu
segera ditraskripsi ke dalam bentuk tertulis sehingga tidak punah seiring
dengan berkurangnya penutur sastra lisan. c) Ragam sastra daerah tertulis yang
berwujud naskah – naskah di dokumentasikan. d) Dilakukan pengkajian atau
penelitian. e) Hasil penelitian atau pengkajian di sosialisasikan kepada
masyarakat. f) Sastra daerah yang menggunakan bahasa daerah diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia agar dapat dibaca dan dipahami masyarakat di daerah
lain. g) Sosialisasi dapat dilakukan melalui publikasi penerbitan sastra
daerah, sosialisasi melalui seminar, dan siaran-siaran radio atau televisi
lokal sehingga dapat dikonsumsi oleh publik. h) Pembelajaran sastra dalam dunia
pendidikan. i) Menggalakkan kembali kegiatan-kegiatan adat yang di dalamnya
terdapat penuturan sastra. j) Mengadakan perlombaan atau kompetisi dikalangan
masyarakat pemilik sastra itu sendiri. k) Pemerintah perlu merumuskan Peraturan
Daerah yang berisi mengenai pembinaan dan pengembangan sastra daerah, dan l)
Adanya kerja sama antara pemerintah daerah, masyarakat, akademis dan
tokoh-tokoh adat.
Akhirnya, Sastra Makassar sebagai pendulum kearifan lokal Manusia Makassar
di Bumi Panrangnuang, sejatinya diharapkan dapat menjadi etos kebudayaan yang
dapat menjawab problematika kehidupan berbangsa dan bermasyarakat serta dapat
berdialog dengan jujur terhadap gerak sejarah dan zaman milenial dewasa ini.
Takalar, 16 Oktober 2020 http://sastra-indonesia.com/2021/08/sastra-makassar-sebagai-etos-kebudayaan-di-butta-panrannuangku/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar