Minggu, 22 Agustus 2021

Tubuh Kota dalam Representasi Seni Pertunjukan “Outdoor”

Sepotong Catatan dari Journal of Moment Arts 2003 di Makassar
 
Yanto le Honzo
sinarharapan.co.id
 
Journal of Moment Arts (JOMA) adalah program rutin tahunan yang diadakan Sanggar Merah Putih Makassar. Tahun ini adalah kali keempat mereka mengadakannya, mulai tanggal 20-25 Oktober 2003. Untuk tahun ini, mereka memilih wilayah kesenian outdoor sebagai pernyataan dan ekspresi berkesenian, dengan tema “Kota dalam Tubuhku”. JOMA menempatkan visinya pada ruang-ruang publik kota dalam memandang seni pertunjukan sebagai representasi dari kebudayaan kota.
 
Selain peserta dari Makassar dan sekitarnya, mereka juga mengundang beberapa seniman untuk meramaikan acara tersebut. Semua peserta dari luar Makassar kemudian mereka inapkan di dalam kompleks Benteng Fort Rotterdam(FR) yang dulunya pusat Kerajaan Makassar dan menjadi tempat pengasingan P. Diponegoro. Benteng itu langsung berhadapan dengan pantai Biring Kassi (BK), yang juga tidak terlalu jauh dari gedung kesenian Societeit de Harmonie.
 
Acara JOMA secara resmi dimulai sejak 20 Oktober pagi hari, meski kenyataannya pada malam sebelumnya, Halim HD dari Solo sudah melakukan performance dengan cara berjalan dari bandara Hasanuddin ke gedung kesenian yang berjarak lk. 20 km, sejak dia turun dari pesawat udara. Semacam napak tilas setelah beberapa tahun lalu dia menetap sementara di Makassar.
 
Pagi hari, menjelang kedatangan matahari dari ujung timur, diadakanlah apanaung ri jene, yaitu upacara turun ke air. Semua peserta dari benteng FR. beriring berbaris menuju ke pantai BK dengan mengenakan kain sarung. Upacara dipimpin Ridwan Aco, seorang koreografer dari Makassar. Di dalam iring-iringan itu ada tujuh tampah berisi sesaji yang masing-masing terdiri dari beberapa kepal ketan berwarna dan sesisir pisang. Tiba di pantai, sesaji ini akan dilarungkan. Juga tujuh dupa yang dibawa seorang satu. Tapi sebelum itu, ada sebuah performance upacara ritual oleh Ridwan Aco dengan judul “Mencari Sumber Mata Air”.
 
Kentongan Bambu
 
Sebuah kentongan bambu bisa bermakna apa saja tatkala dibunyikan. Bisa bernada panggilan, kematian, atau kebakaran. Oleh Arifin Manggau, pemusik Makassar, kentongan kemudian menjadi sesuatu yang lain. Dengan kentongan, dia ingin berbicara, bahwa kita harus waspada, baik terhadap diri sendiri juga generasi yang akan datang. Maka banyak kentongan dia buat dan dibawanya itu ke sekolah dasar Mangkura di Jl. Botolempangan. Dia menamakan repertoar musiknya “Waspada dalam Irama Kebersamaan”.
 
Bersama teman-temannya, dia bunyikan kentongan-kentongan itu di halaman sekolah dasar. Mereka bunyikan itu hingga menarik perhatian murid-murid. Dengan cara yang komunikatif, beberapa murid lalu merespons untuk ikut membunyikan. Bebunyian itu terus berlangsung sampai masuk ke halaman. Akhirnya semua kentongan dimainkan oleh murid-murid itu menjadi irama yang riuh penuh semangat. Arifin mampu mengajak anak-anak SD Mangkura terlibat dan aktif. Kewaspadaan yang awalnya menjadi tema utama, berubah menjadi optimisme dan keriangan. Dalam hal ini, tema menjadi tidak penting, tapi Arifin cukup berhasil untuk memancing respons penontonnya, yaitu anak-anak SD.
 
Zulkifli Pagessa (Uun), perupa dari Palu yang biasa mengorganisasi acara kesenian di daerah Palu dan Donggala, membuat suatu ritual dengan judul “Metamegalithikum 6.0”. Seorang perempuan terbungkus plastik hitam, dengan tubuh penuh gambar simbol Kaili di sekitar Teluk Palu, berjalan dengan membawa piring berisi seonggok hati. Uun mengiring di belakang sebagai penjaga. Mereka berjalan kaki ke arah barat, menuju gedung kesenian, di bawah siang Makassar yang garang menyengat. Kepada setiap orang yang terlewati, perempuan itu menawarkan, “Ini nuraniku, makanlah sepuas hatimu”.
 
Di pantai BK, sambil menikmati matahari di sudut barat, di antara deretan perahu yang tertambat di ayun gelombang, Katharina dari Swiss dengan dibantu Fitri memulai pertunjukan gerak di atas perahu dengan judul “Missing Home”. Sebuah eksplorasi gerak yang ingin bicara tentang tubuh-tubuh yang kehilangan rumah ketika harus ada yang mengemudikan berlangsungnya kehidupan di dalam rumah. Ketika tubuh harus terombang-ambing diempas gelombang, bagaimana rumah harus dijaga, bahkan saat waktu telah senja dan terang mulai redup.
 
Ke arah Selatan dari pantai BK, kita akan menemui pantai Losari yang ramai dan terkenal itu, tempat para warga kota bercengkerama, berkencan sambil memandang matahari yang lingsir ke laut, atau merasakan desiran angin laut malam. Ternyata suasana pantai itu menjadi kegelisahan seorang penari Makassar, Ani Satriani. Dengan judul “Good Night”, Ani berjalan perlahan di atas dudukan beton yang sempit dengan iringan gitar, pui-pui dan kendang. Bersumber dari gerak tari Pakarena, Ani ingin mengungkapkan kegelisahannya bagaimana napas Makassar sudah hilang dari pantai Losari, menjadi sekedar tempat kencan dan musik dangdut yang mewarnai hari-hari di pantai Losari.
 
Di sebelah kanan pintu gerbang benteng FR, ada reruntuhan bangunan yang terbiarkan merana. Pagi itu, di hari ketiga JOMA, jam menunjukkan angka 8. Sutradara Teater Tetas Jakarta, AGS. Arya Dipayana (Aji) sudah sibuk merajang bumbu dan mengaduk bubur. Di tangga bambu yang sudah rusak dan tersandar di tembok, terpampang kertas karton putih bertulis “I Love You My Son”. Di atasnya terselempang kain warna merah. Aji ingin membagi sebagian dari rahasia pribadinya ke ruang publik yang baru dia kenal. Sebuah biografi kepedihan dan kerinduan seorang ayah, ketika dia tidak bisa lagi menemui anak satu-satunya saat dia harus mengalami keruntuhan rumah tangganya. Dan anaknya, terbawa bekas isterinya, sementara dia tahu, anaknya paling suka dengan bubur ayam buatan dia. Kompleks benteng yang luas dan terbuka; sebuah ruang publik, tiba-tiba kemudian menyempit menjadi ruang pribadi Aji, di mana para penonton ikut merasakan kegetiran yang meruap. Ada yang membantu mengiris ayam, menggoreng kedelai. Ada yang ikut mengaduk bubur. Semua menjadi bagian dari diri Aji. Dia terus bercerita tentang keluarganya, tentang anak yang dirindukannya, tentang duka yang terpendam selama bertahun-tahun.
 
Ketika bubur sudah jadi, dan semua menikmatinya sebagai sarapan pagi, menikmati bubur ayam duka cerita Aji, tiba-tiba datang empat polisi yang sedang mencari seorang pelaku penganiayaan yang terjadi tadi malam. Dan ternyata, pelaku itu adalah Aji sendiri. Di antara kegemparan itu, Aji diborgol dan dibawa petugas keluar benteng, diiringi puisi yang dibacakan oleh Yanto le Honzo.
 
Menjelang jam 22.30 WIB, obor-obor dari botol telah berjajar setengah melingkar di bawah pohon, di depan kaf’ di pantai BK. Sebuah karya tari Fitri Setyaningsih dari Solo yang berjudul “Kali” dibawakan oleh Fitri sendiri dengan dibantu oleh Katharina. Sebuah tarian kontemporer dengan dasar gerak tari jawa yang menggambarkan tentang penyembuhan seseorang saat dia sedang kerasukan roh halus. Sebuah proses penyembuhan dengan siraman dari air kendi dan beras yang ditebar-tebar ke segala penjuru dengan disertai kepingan uang logam.
 
Ibu Andi Ummu Tunru, seorang penari tradisi yang mempunyai sanggar tari di daerah Parantambung, di pinggiran kota Makassar. Di situ ada baruga kaluarrang atau pendopo besar, tempat mereka berlatih tari. Andi Ummu menjamu peserta JOMA dengan sebuah tarian dengan judul “Appatala”, yang artinya perjamuan, dan ditarikan oleh Andi Ummu sendiri dengan intensitas seorang penari yang sudah “menjadi”: kesenian sebagai jalan hidup.
 
Pantai BK ternyata adalah ruang publik yang menarik perhatian sebagian peserta JOMA 2003 ini, sehingga Asia Ramli Prapancha pun, sutradara Teater Kita Makassar, juga memanfaatkannya bagi pertunjukannya hari kelima. Di pelataran depan kafe, Asia memanfaatkannya sebagai ruang bermain bagi orang-orang yang ingin dengan bebas terlibat pertunjukan sore itu. Setiap orang bebas menyikapi area itu sebagai ruang bermain, seperti judulnya “Aku Bermain di Ruang Kecil Ini”. Setiap orang bisa bermain dengan seluruh mimpi dan pengalaman hidupnya masing-masing. Berpesta untuk dapat melepaskan hari-hari yang penat dan melelahkan. Seperti keriuhan pesta jalanan festival Rio de Jenairo yang penuh musik dan tarian.
 
Dalam sejarahnya, P. Diponegoro pernah diasingkan di dalam benteng FR, sampai dia meninggal. Hal itu menjadi inspirasi bagi Agung Wibowo dari Semarang, dalam pertunjukannya.
 
Di pasir pantai, ada lima tiang salib. Di depannya seseorang berjubah putih dengan gerakan kuda kepang melompat-lompat gelisah. Perlahan tiang-tiang salib mulai terbakar. Lelaki itu terus berlari hingga lelah tersungkur di tepi jalan dan merangkak sampai di depan pintu benteng. Saat itulah, tali-tali mulai diikatkan di kedua kaki dan tangannya, dan dalam kelelahan, dia berjalan masuk ke benteng dengan iringan lagu Indonesia Raya dari tape, menuju ke tempat di mana P. Diponegoro pernah tinggal. Di situ, dilakukan prosesi tabur bunga bagi sang pahlawan.
 
Sabtu siang di Mal Ratu Indah. Sebuah performance mulai dimainkan oleh Yanto berdasarkan ide dan gagasan Yudi A. Tadjuddin, sutradara Teater Garasi Yogya. Dia menawarkan pada pengunjung mal untuk membantunya meniupkan balon, “Karena aku orang asing di kota itu, dan aku selalu merasa takut dengan segala yang terjadi di kota itu. Maka aku butuh penanda untuk melihat diriku. Balon itulah penanda diriku. Jika aku melihat orang membawa balon, maka aku tahu, itulah diriku”.
 
Yanto terus mencari orang yang mau menolongnya untuk meniupkan balon yang dia bawa dan diikatkan ke tubuhnya. Di mal, di warung rokok, di angkutan umum, jalanan, di kantor polisi, di taman. Dan dia kembali ke benteng FR dengan balon-balon yang bergelantungan di tubuhnya.
 
Di pantai BK, ada panggung kecil beratap yang tertancap di antara air pantai. Ada seseorang dengan biola di situ, memandang matahari. Di pasir, beberapa orang mulai memainkan kendang. Sabtu sore itu, pertunjukan outdoor terakhir acara JOMA 2003, repertoar panjang musik dari Maskur el Elief, pemusik dari Gowa. Matahari terus merambat turun tepat di atas Pulau Kahyangan, diantar gesekan biola dan rampak kendang dalam sebuah komposisi “Mengantar Matahari Terbenam: Fade I Will Find Spark In The Dark”. Senja telah tiba, pertanda selesailah pesta kesenian itu. Makassar mulai bersemburat cahaya merkuri.
 
Malam sudah meninggi. Jalanan kian riuh dalam suasana malam minggu. Pantai Losari penuh dengan orang-orang yang ingin menikmati desir malam di bibir kota.

*) Penulis adalah pekerja teater. http://sastra-indonesia.com/2010/07/tubuh-kota-dalam-representasi-seni-pertunjukan-outdoor/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita