Rabu, 25 Agustus 2021

Teks-teks Semu pada Karya Sastra Sumut

Yulhasni
analisadaily.com
 
Polemik sastra dan politik dalam ranah sastra Sumatera Utara, sepertinya memang dalam tahap pengenalan. Diskursus yang semula diharapkan memberi peluang agar sastra di Sumut memberi peran yang lebih berarti akhirnya dipahami dalam bingkai sederhana. Sejumlah tulisan di harian ini dalam sebulan terakhir mengisyaratkan adanya perubahan cara pandang dari beberapa orang dalam menyimpulkan gagasan politik dalam sastra Sumut. Tentu saja cara pandang yang berbeda itu karena subjektivitas pemahaman dan itu sah dalam diskusi intelektual.
 
Semula saya berfikir gagasan dalam diskursus politik dalam karya sastra di Sumut akan dilihat dengan perspektif keberpihakan yang hakiki, bukan keberpihakan yang semu. Teks-teks sastra yang dilihat sayangnya diletakkan pada batas-batas yang samar dan kabur. Bahkan tulisan T Agus Khaidir secara sederhana memberi kesimpulan akhir, sastra dan politik di daerah ini bermuara kepada realitas kusam lembaga kesenian, semisal Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU).
 
Polemik sastra dan politik memang tidak pernah berujung. Jika dikaitkan dalam teks sastra di daerah ini, maka polemik itu akan berhenti kepada kesimpulan sementara: sastra di daerah ini hanyalah teks-teks semu tanpa makna. Teks semu itu ketika puisi, cerpen dan naskah drama menjauhkan diri dari kenyataan yang terjadi di sekitar lingkungan kepengarangan itu sendiri.
 
Saat membaca puisi Hasan Aspahani bertajuk Ke Medan dan Banyak Kemudian, yang ditemukan adalah teks semu sebagai simbolisasi puisi. Hasan menulis, Ia dengar gema/jazz mengapungi Selat Malaka/deretan toko-toko menawarkan bika//. Teks dalam puisi M Raudah Jambak bertajuk Medan Putri tidak lain adalah rangkaian teks semu yang hanya memberikan penjelasan tentang sejarah kota yang tinggal kenangan. Apa yang hendak kita petik saat membaca teks seperti ini: Oooi/Akulah si Guru Patimpus/semua duri kubuat hambus/semua onak kubuat mampus/dan/kepadamu aku bercerita/di tanah deli ini medan putri berdiri/maka/kepadamu aku serahkan/sebagai catatan dalam ingatan//.
 
Teks semu dalam sastra diibaratkan sebagai cerminan akrobat kata-kata. Teks dituangkan dalam gagasan tanpa dipahami bahwa teks harus memberi pesan. Polemik Hamsad Rangkuti dengan F Rahardi dalam tajuk akrobat kata-kata pernah jadi trend yang asyik dicermati. Terlepas bahwa polemik itu berhenti pada batas wacana, tetapi hal itu memberi satu pesan bahwa teks sastra seharusnya tidak berhenti pada kata. Hamsad Rangkuti menulis, sastra adalah kebohongan. Beberapa puisi Ilham Wahyudi yang terbit di harian ini bisa dikategorikan sebagai bentuk akrobat kata-kata itu. Puisi-puisinya adalah narasi kehidupan dalam keseharian kita yang juga kadang semu.
 
Sastra memang karya imajinatif dan dimulai dari sebuah khayalan. Sastra bukan kebohongan meski lahir dari proses kontemplasi batin. Sayangnya jika dikaitkan dengan proses transformasi teks ke dalam sikap dan tindakan, seringkali kata-kata hanya kebohongan yang terlanjur dianggap sebagai kebenaran.
 
Praktik kebohongan itu dibungkus dalam beberapa fakta seperti sastrawan yang tidak peduli dengan nasib sesama. Beberapa kenyataan di sekitar kita dalam kantong-kantong kesenian di daerah ini memberi fakta tentang itu semua. Pertanyaan kita, apakah sastrawan di daerah ini jujur dalam berkarya?
 
Teks sastra yang diciptakan sastrawan di Sumut perlu dikritisi dalam bingkai kejujuran tersebut. Problemnya tidak sederhana kita memahami teks dalam bingkai penciptaan karya secara kontinu dan berkesinambungan saja. Saya tidak pernah bisa yakin, kuantitas penciptaan selalu jadi ukuran keberhasilan sastra di daerah ini. Kualitas pun tentu juga harus dilihat dengan perspektif penafsiran kaum akademik yang justru terkadang hanya melihat teks secara parsial. Peran kaum akademik hanya memarkirkan sastra ke dalam ruang-ruang pustaka. Dalam perspektif teori new historicism, sastra tak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik karena dia ikut mengambil bagian di dalamnya.
 
Asep Sambodja menulis, dengan demikian, pemisahan antara luar-dalam, ekstrinsik-intrinsik, tak bisa dipertahankan lagi. Karena semua teks, baik sastra maupun nonsastra, merupakan produk dari zaman yang sama dengan berbagai pertarungan kuasa dan ideologi, maka berbeda dari new criticism yang hanya meneliti karya sastra, new historicism mengaitkan antara teks sastra dan nonsastra.
 
Berbeda dengan new criticism yang membedakan antara karya sastra yang adiluhung dan yang picisan dengan suatu standar estetika yang dianggap universal dan baku, new historicism melihat pembedaan semacam itu sebagai contoh bagaimana kekuatan sosial bermain di ruang estetik. Dalam hal ini new historicism merevisi asumsi new criticism dengan menunjukkan bahwa semua yang dianggap universal, tak terjamah waktu dan natural sebetulnya bersifat lokal, terbentuk oleh sejarah dan merupakan bentukan sosial.
 
Pada konteks yang lebih sederhana, sastra harus dikaitkan dengan unsur di luarnya. Kajian tekstual sejatinya mengaitkan karya lokal di daerah ini dengan faktor-faktor luar yang terjadi dalam dinamika masyarakat Sumut. Apakah sastrawan di daerah ini mampu mengambil realitas itu untuk kemudian dituangkan dalam teks sastra? Saya tidak ingin menyimpulkan satu kenyataan pahit bahwa sastrawan di daerah ini terlalu asyik dengan keindahan yang hanya dipahami sebagai sebuah teks yang semu.
 
Petikan puisi dan cerpen yang terlahir di berbagai media di daerah ini seringkali terkungkung dalam batas-batas keindahan sebuah karya imajinatif. Terperangkap dengan defenisi dan pengertian seperti itu membuat sastra tidak memberi ideologi pencerahan kepada pembacanya, terlebih terhadap si pengarangnya sendiri.
 
Komunitas sastra di daerah ini dengan seperangkat model pencapaian estetikanya selalu mengandalkan keindahan dengan metode satu atau dua batasan tentang sastra. Ironisnya batasan itu justru lahir dari sikap ’alergi’ politik dalam sastra. Alhasil yang lahir dari komunitas tersebut tidak lain adalah dunia imajinatif tanpa hasil. Teks sastra kemudian hamparan ’kebohongan’ yang tidak lebih dan kurang cuma semu.
 
Teks semu yang diciptakan sastrawan di Sumut telah berlangsung cukup lama tanpa kesanggupan untuk mengkritisinya. Teks tersebut dibenarkan karena dianggap sebagai bagian dari proses kreativitas sastra yang perlu diapresiasi secara positif. Jika kreativitas itu lahir dari pengarang ’pemula’ mungkin pada titik tertentu kita tidak perlu mempersoalkan adanya teks semu. Akan tetapi yang terjadi secara terus menerus di daerah ini adalah praktik semu yang dibungkus oleh idiom-idiom kebenaran atasnama keindahan sastra.
 
_________30 Okt 2011

*) Penulis, Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU. http://sastra-indonesia.com/2012/02/teks-teks-semu-pada-karya-sastra-sumut/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita