analisadaily.com
Polemik sastra dan politik dalam ranah sastra Sumatera Utara, sepertinya memang dalam tahap pengenalan. Diskursus yang semula diharapkan memberi peluang agar sastra di Sumut memberi peran yang lebih berarti akhirnya dipahami dalam bingkai sederhana. Sejumlah tulisan di harian ini dalam sebulan terakhir mengisyaratkan adanya perubahan cara pandang dari beberapa orang dalam menyimpulkan gagasan politik dalam sastra Sumut. Tentu saja cara pandang yang berbeda itu karena subjektivitas pemahaman dan itu sah dalam diskusi intelektual.
Semula saya berfikir gagasan dalam diskursus politik dalam karya sastra di Sumut akan dilihat dengan perspektif keberpihakan yang hakiki, bukan keberpihakan yang semu. Teks-teks sastra yang dilihat sayangnya diletakkan pada batas-batas yang samar dan kabur. Bahkan tulisan T Agus Khaidir secara sederhana memberi kesimpulan akhir, sastra dan politik di daerah ini bermuara kepada realitas kusam lembaga kesenian, semisal Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU).
Polemik sastra dan politik memang tidak pernah berujung. Jika dikaitkan dalam teks sastra di daerah ini, maka polemik itu akan berhenti kepada kesimpulan sementara: sastra di daerah ini hanyalah teks-teks semu tanpa makna. Teks semu itu ketika puisi, cerpen dan naskah drama menjauhkan diri dari kenyataan yang terjadi di sekitar lingkungan kepengarangan itu sendiri.
Saat membaca puisi Hasan Aspahani bertajuk Ke Medan dan Banyak Kemudian, yang ditemukan adalah teks semu sebagai simbolisasi puisi. Hasan menulis, Ia dengar gema/jazz mengapungi Selat Malaka/deretan toko-toko menawarkan bika//. Teks dalam puisi M Raudah Jambak bertajuk Medan Putri tidak lain adalah rangkaian teks semu yang hanya memberikan penjelasan tentang sejarah kota yang tinggal kenangan. Apa yang hendak kita petik saat membaca teks seperti ini: Oooi/Akulah si Guru Patimpus/semua duri kubuat hambus/semua onak kubuat mampus/dan/kepadamu aku bercerita/di tanah deli ini medan putri berdiri/maka/kepadamu aku serahkan/sebagai catatan dalam ingatan//.
Teks semu dalam sastra diibaratkan sebagai cerminan akrobat kata-kata. Teks dituangkan dalam gagasan tanpa dipahami bahwa teks harus memberi pesan. Polemik Hamsad Rangkuti dengan F Rahardi dalam tajuk akrobat kata-kata pernah jadi trend yang asyik dicermati. Terlepas bahwa polemik itu berhenti pada batas wacana, tetapi hal itu memberi satu pesan bahwa teks sastra seharusnya tidak berhenti pada kata. Hamsad Rangkuti menulis, sastra adalah kebohongan. Beberapa puisi Ilham Wahyudi yang terbit di harian ini bisa dikategorikan sebagai bentuk akrobat kata-kata itu. Puisi-puisinya adalah narasi kehidupan dalam keseharian kita yang juga kadang semu.
Sastra memang karya imajinatif dan dimulai dari sebuah khayalan. Sastra bukan kebohongan meski lahir dari proses kontemplasi batin. Sayangnya jika dikaitkan dengan proses transformasi teks ke dalam sikap dan tindakan, seringkali kata-kata hanya kebohongan yang terlanjur dianggap sebagai kebenaran.
Praktik kebohongan itu dibungkus dalam beberapa fakta seperti sastrawan yang tidak peduli dengan nasib sesama. Beberapa kenyataan di sekitar kita dalam kantong-kantong kesenian di daerah ini memberi fakta tentang itu semua. Pertanyaan kita, apakah sastrawan di daerah ini jujur dalam berkarya?
Teks sastra yang diciptakan sastrawan di Sumut perlu dikritisi dalam bingkai kejujuran tersebut. Problemnya tidak sederhana kita memahami teks dalam bingkai penciptaan karya secara kontinu dan berkesinambungan saja. Saya tidak pernah bisa yakin, kuantitas penciptaan selalu jadi ukuran keberhasilan sastra di daerah ini. Kualitas pun tentu juga harus dilihat dengan perspektif penafsiran kaum akademik yang justru terkadang hanya melihat teks secara parsial. Peran kaum akademik hanya memarkirkan sastra ke dalam ruang-ruang pustaka. Dalam perspektif teori new historicism, sastra tak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik karena dia ikut mengambil bagian di dalamnya.
Asep Sambodja menulis, dengan demikian, pemisahan antara luar-dalam, ekstrinsik-intrinsik, tak bisa dipertahankan lagi. Karena semua teks, baik sastra maupun nonsastra, merupakan produk dari zaman yang sama dengan berbagai pertarungan kuasa dan ideologi, maka berbeda dari new criticism yang hanya meneliti karya sastra, new historicism mengaitkan antara teks sastra dan nonsastra.
Berbeda dengan new criticism yang membedakan antara karya sastra yang adiluhung dan yang picisan dengan suatu standar estetika yang dianggap universal dan baku, new historicism melihat pembedaan semacam itu sebagai contoh bagaimana kekuatan sosial bermain di ruang estetik. Dalam hal ini new historicism merevisi asumsi new criticism dengan menunjukkan bahwa semua yang dianggap universal, tak terjamah waktu dan natural sebetulnya bersifat lokal, terbentuk oleh sejarah dan merupakan bentukan sosial.
Pada konteks yang lebih sederhana, sastra harus dikaitkan dengan unsur di luarnya. Kajian tekstual sejatinya mengaitkan karya lokal di daerah ini dengan faktor-faktor luar yang terjadi dalam dinamika masyarakat Sumut. Apakah sastrawan di daerah ini mampu mengambil realitas itu untuk kemudian dituangkan dalam teks sastra? Saya tidak ingin menyimpulkan satu kenyataan pahit bahwa sastrawan di daerah ini terlalu asyik dengan keindahan yang hanya dipahami sebagai sebuah teks yang semu.
Petikan puisi dan cerpen yang terlahir di berbagai media di daerah ini seringkali terkungkung dalam batas-batas keindahan sebuah karya imajinatif. Terperangkap dengan defenisi dan pengertian seperti itu membuat sastra tidak memberi ideologi pencerahan kepada pembacanya, terlebih terhadap si pengarangnya sendiri.
Komunitas sastra di daerah ini dengan seperangkat model pencapaian estetikanya selalu mengandalkan keindahan dengan metode satu atau dua batasan tentang sastra. Ironisnya batasan itu justru lahir dari sikap ’alergi’ politik dalam sastra. Alhasil yang lahir dari komunitas tersebut tidak lain adalah dunia imajinatif tanpa hasil. Teks sastra kemudian hamparan ’kebohongan’ yang tidak lebih dan kurang cuma semu.
Teks semu yang diciptakan sastrawan di Sumut telah berlangsung cukup lama tanpa kesanggupan untuk mengkritisinya. Teks tersebut dibenarkan karena dianggap sebagai bagian dari proses kreativitas sastra yang perlu diapresiasi secara positif. Jika kreativitas itu lahir dari pengarang ’pemula’ mungkin pada titik tertentu kita tidak perlu mempersoalkan adanya teks semu. Akan tetapi yang terjadi secara terus menerus di daerah ini adalah praktik semu yang dibungkus oleh idiom-idiom kebenaran atasnama keindahan sastra.
_________30 Okt 2011
*) Penulis, Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU. http://sastra-indonesia.com/2012/02/teks-teks-semu-pada-karya-sastra-sumut/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar